Pada akhir 2020, wabah masih memberi ketakutan kolosal. Buku-buku bertema wabah sedang ditulis oleh para pakar. Sekian buku terbit dalam edisi bahasa Inggris, berlanjut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Di luar tema wabah, terbit buku terjemahan: besar dan tebal. Buku itu berjudul Kanker: Biografi Suatu Penyakit susunan Siddhartha Mukherjee. Buku mengejutkan! Pembaca bisa terharu, marah, ngambek, bertobat, dan lain-lain. Buku terbaca setelah orang-orang khatam buku berjudul Gen. Buku mengisahkan-menjelaskan kanker, dari masa ke masa. Beragam kutipan bermunculan dari kitab suci, buku biografi, novel.l, sejarah, sains, kedokteran, dan lain-lain. Kanker itu menakutkan dan mematikan!
Buku tebal sulit dikhatamkan setelah pembaca berdebar. Siddhartha Mukherjee dengan Kanker memberi kesadaran besar atas sejarah sakit dan kematian di dunia, sekian abad. Buku itu mendapat “teman” berjudul Penyakit Sebagai Metafora (2021) garapan Susan Sontag. Buku berart terbaca saat wabah masih membikin dunia amburadul. Pembaca ingin mengerti tapi “takut”. Susan Sontag menjelaskan: “Gagasan-gagasan punitif tentang penyakit memiliki sejarah yang panjang, dan gagasan-gagasan semacam itu sangat lekas menjalar berkenaan dengan kanker. Ada ‘pertarungan’ atau ‘perang salib’ melawan kanker. Kanker adalah penyakit ‘pembunuh’. Orang-orang yang menderita kanker adalah ‘korban-korban kanker.” Tampaknya penyakit adalah pelaku.”
Kita menginta dua buku baru untuk membaca puisi gubahan Rayani Sriwidodo berjudul “Jangan Palingkan Muka.” Puisi kesedihan dan biografi bagi “korban kanker”. Kita membaca: Jangan palingkan muka, renik semesta/ saksikan pertunjukan regang nyawa/ bukan ibumu itu yang dililit kanker ganas/ cuma sebutir debu pengetahuan manusia yang terbatas. Sakit lekas mengajak orang berpikiran kekuasaan dan kasih Tuhan. Sedih dan marah mungkin meluap bila sakit itu membuat orang-orang tercinta pamitan dari dunia, setelah lama menanggung derita. Orang sakit berurusan dengan Tuhan dalam proses ingin sembuh atau pasrah. Doa-doa tak henti terucapkan dan terbatinkan, selain mengikuti petunjuk-petunjuk dokter.
Pada bait berbeda, kita makin merasakan dampak kanker: Kami pun duduk lurus di depan ibu/ amati lapisan daging makin melisut/ dari hari ke hari, dimeriahi benjolan kelenjar/ berbulan, di sela bisik lirih “Allah mengapa”/ setiap ibu sadar alam rapat makin menjerat. Pengisahan ibu menempatkan pembaca turut mengalami waktu derita dalam perawatan. Derita ingin dipercakapkan dengan Tuhan. Segala cerita dan omongan bersama keluarga agak meringankan tapi kanker sering mematikan. Penderita berdoa dan berdoa untuk tak terpuruk.
Sosok ibu, sosok ingin dikasihi Tuhan dengan sakit sering tak tertanggungkan. Rayani Sriwidodo mengisahkan secara dekat: dan ibu mendesak ambil wudhu/ sholat setiap terbeku/ di ujung kepungan sembilu/ di ujung pergulatan khasnya yang tak terlacak// Sungguh, ibu tak mau Tuhan meragukannya/ makin gencar siksa/ makin didekap kakiNya:/ Allah, aku telah siap, jangan ditunda. Puisi itu wajib terbaca bagi kita di pelbagai masa saat masih “ditakuti” kanker sebagai “pembunuh” di dunia. Puisi pantas dikutip dalam berbagi semangat dan ketulusan mendoakan bagi orang-orang menderita akibat kanker. Kita pun ingat bila Siddhartha Mukherjee dan Susan Sontag rajin mengutip sastra dalam mengisahkan dan menafsir kanker.
Kita tersentuh dan terharu: Demikianlah Tuhan mendera/ karena ibu tetap tak jera/ pertunjukan ketegaran saling berbayangan/ antara berdaulat atas kasih/ dan hamba pendambaNya. Detik-detik derita dan keinginan dekat dengan Tuhan. Kuasa dan kasih Tuhan diinginkan dalam kekuatan dan ketabahan penderita bersama keluarga. Kita mengikuti kesaksian dalam puisi agak panjang, terbaca setelah tumpukan pengetahuan dan imajinasi kanker. Di Indonesia, kanker masih saja dijelaskan dengan bahasa-bahasa keumuman, ketimbang rajin dimunculkan dalam gubahan sastra. Begitu.