Sedang Membaca
Pemetik Puisi (1): Sajadah dan Tanah
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pemetik Puisi (1): Sajadah dan Tanah

Ibadah, peristiwa hamba bertemu Tuhan. Kita mengartikan pertemuan  teringinkan dalam waktu sakral dan tempat suci. Tata cara untuk beribadah diamalkan berharap hamba memenuhi kaidah-kaidah memberi pujian, meminta ampun, dan mengeluh. Hamba beribadah mula-mula kewajiban, sebelum ia menikmati atau ketagihan. Konon, ibadah terbedakan dari peristiwa-peristiwa keseharian. Ibadah bisa pokok atau jeda. Pilihan pemahaman itu memiliki selisih kada kesungguhan. Ibadah pun menghendaki pilihan pengalaman: sendiri atau jemaah. Di situ, orang beribadah bakal sadar faedah-faedah setelah ibadah, menuruti kemauan sendiri dengan menumpuk keberlimpahan tak mau terbagikan. Ia bisa juga membuktikan faedah dalam pertautan dengan sesama, membawa percik-percik hikmah.

Di puisi berjudul “Sujud” gubahan Mustofa Bisri, kita membaca perbandingan telak. Puisi bergelimang sindiran atas kemauan memamerkan ibadah, hasrat meraup untung berdalih Tuhan. Puisi digubah pada 15 Mei 1993. Pembaca mungkin diajak menaruh puisi berlatar kemunculan orang-orang mengaku saleh dalam sandiwara bertema Orde Baru. Konon, para pejabat dan pengusaha mulai menampilkan kesalehan dan fasih mengucap idiom-idiom agama dalam kesuksesan pembangunan nasional. Mereka bermain predikat menghindari tuduhan-tuduhan buruk. Mustofa Bisri atau Gus Mus menulis: bagaimana kau hendak bersujud/ pasrah/ sedang wajahmu yang bersih/ sumringah/ keningmu yang mulia/ dan indah/ begitu pongah/ minta sajadah/ agar tak menyentuh tanah. Bait tanpa tanda seru. Kita menerima itu sindiran atas pemahaman ibadah dan sajadah. Benda bernama sajadah bermasalah.

Baca juga:  Gaya Hidup Orang Kaya: Belajar dari Sadio Mane dan Gus Dur Tentang Arti Kesederhanaan

Orang-orang di kota lama tak melihat tanah. Kaki telanjang berada di tanah mungkin keajaiban. Kebiasaan beralas kaki tak memungkinkan sentuhan dengan tanah. Tatapan mata ke sembarang arah sulit menemukan tanah-tanah  mengembalikan keinsafan hidup. Tanah-tanah ditutupi aspal, semen, keramik, dan lain-lain. Di tempat ibadah, kita melihat lantai-lantai elok pun ditutup karpet-karpet. Di situ, orang-orang bersujud saat salat. Sekian orang membawa sajadah, digelar di atas karpet atau lantai. Episode makin tak mengingat tanah. Kelumrahan tanpa perlu seribu bantahan atau demonstrasi menggunakan dalil-dali agama, politik, ekologi, atau teknologi. Pada sajadah, Gus Mus memerkarakan hubungan manusia dan tanah. Ada sesuatu menjadikan berjarak atau terhalangi.

Petuah agak gamblang: apakah kau lupa/ bahwa tanah adalah bapa/ dari mana ibumu dilahirkan/ tanah adalah ibu/ yang menyusuimu/ dan memberi makan. Jeda dari kebiasaan orang-orang mengalami hari-hari tak bertanah. Gus Mus seperti mengundang lagi suara-suara para leluhur atau kaum bijak masa lalu. Mereka hidup bertanah, melakoni pelbagai peristiwa dan mengerjakan pemaknaan bertumpu tanah. Sujud sebagai adegan terindah masih memungkinkan “bersentuhan” atau berjarak tipis dengan tanah. Pengajuan kiasan “bapa-ibu” itu menjerat pembaca dalam khianat atas awal dan akhir. Tanah itu awal dan akhir tapi manusia-manusia mulai menjauhi tanah dan membuat anggapan-anggapan keterlaluan atas tanah. Gus Mus memberi sindiran: paling jauh hanya/ lahan pemanjaan/ nafsu serakah dan tamak? Pada kiasan tanah adalah “bapa-ibu” kita dikembalikan menjadi manusia berterima kasih atas kelahiran dan makan(an). Tanah itu kehidupan, sebelum orang kembali ke tanah.

Baca juga:  Dongeng (Masih) Berkhasiat

Tanah-tanah untuk penguburan makin bermasalah di kota-kota. Tempat-tempat untuk beribadah atau bersujud masih gampang ditemukan tapi tempat berupa tanah untuk penguburan terlalu rumit dalam kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Episode mengembalikan raga ke tanah juga diribetkan administrasi dan duit. Kembali ke tanah tak bersujud. Seruan dari Gus Mus tentang manusia kembali ke tanah: yang memelukmu dalam kesendirian/ dalam perjalanan panjang/ menuju keabadian? Kita diajak merindukan dan menginginkan tanah. Awal dan akhir itu tanah. Begitu.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top