Sedang Membaca
Novel Cap Pare
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Novel Cap Pare

Onar

Pada suatu hari, orang-orang asal Amerika datang ke Mojokuto. Konon, Mojokuto itu nama samaran untuk Pare (Jawa Timur). Bahasa Inggris pun ikut datang ke Pare. Para intelektual itu mengalami hidup di negara berbahasa Inggris. Mereka menekuni studi dengan bahasa Inggris diimbuhi bahasa Indonesia dan Jawa untuk mengerti segala hal tentang Jawa.

Sekian tahun mereka di Pare. Jawa terbaca saat Indonesia belum tenang dan berbahagia. Mereka mengusut pelbagai hal: cermat dan tabah. Tulisan-tulisan dihasilkan bersumber Pare. Mereka menerbitkan tulisan-tulisan di negara jauh, sebelum hadir dalam terjemahan bahasa Indonesia agar kita turut membaca.

Buku moncer ditulis oleh Clifford Geertz (1926-2006). Buku dianggap babon bagi orang-orang ingin mengerti Jawa. Buku mengenai Jawa mengacu priyayi, santri, abangan itu telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, disuguhkan kepada sidang pembaca melalui dua penerbit: Pustaka Jaya dan Kobam. Kita pun mengingat Pare dengan sosok peneliti ampuh bernama Hildred Geertz (1927-2022). Ia menulis buku berjudul Keluarga Jawa. Semula, buku terbit dalam bahasa Inggris. Edisi terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan Grafiti. Pada masa berbeda, buku itu terbit lagi oleh Mata Bangsa.

Sekian hari lalu, Hildred Geertz pamitan. Ia meninggalkan dunia dan kita. Warisan untuk terbaca lagi: Keluarga Jawa. Ia pun menulis sekian artikel penting mengenai beragam hal, tak selalu Jawa. Kita mengingat saja bahwa ia dan bahasa Inggris pernah tiba dan tinggal di Pare. Kita tak memastikan mereka berada di Pare seperti Pare terlalu diceritakan dengan ribuan lembaga kursus bahasa Inggris. Mereka mungkin di tempat atau sisi berbeda.

Pada masa berbeda, Pare moncer dan ramai gara-gara bahasa Inggris. Pare bukan sekadar tempat teringat setelah kita membaca buku-buku persembahan Clifford Geertz dan Hildred Geertz. Di sana, bahasa Inggris dipelajari bergairah dan mencipta seribu cerita. Selama puluhan tahun, ribuan orang berdatangan dari desa dan kota di seantero Indonesia. Mereka datang dan tinggal demi belajar bahasa Inggris. Mereka mungkin tak berurusan dengan buku-buku mengacu Pare tapi merasa turut menggerakkan sejarah berselera unik. Pusat atau titik temu mereka itu bahasa Inggris. Kita belum bisa memastikan mereka di sana terpikat buku atau menghasilkan buku-buku.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (74): Nawadhir al-Iyk, Ketika Al-Suyuthi Bicara Ranjang

Pada 2021, terbit novel berjudul Onar gubahan Panji Sukma. Cerita mengenai Pare, bahasa Inggris, buku, asmara, ideologi, dan lain-lain, Novel tak berurusan buku-buku berdasarkan riset para antropolog asing, sejak masa 1950-an. Panji Sukma menghadirkan masa dan masalah berbeda. Ia bukan berlagak sebagai peneliti, mencukupkan diri sebagai pengisah.

Ia datang ke Pare. Di sana, ia menulis cerita mengenai Pare. Pulang ke rumah dan melakoni hidup dengan seribu masalah, Panji Sukma sodorkan novel berjudul Onar berharap terbaca publik. Novel cap Pare.

Panji Sukma memberi keterangan mungkin berdasarkan pengalaman kedatangan ke Pare, sekian tahun lalu: “Kampung Inggris, lingkungan yang bahkan penjual ciloknya saja menggunakan bahasa Inggris saat melayani pembeli.” Pare telanjur mendapat julukan moncer: Kampung Inggris. Di sana, orang-orang “berpesta” bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia atau Jawa. “Pesta” dengan dalih kepentingan studi dan pekerjaan. Konon, bahasa Inggris terlalu penting untuk abad XXI.

Pengisah mengira semua orang di Pare fasih dan mengerti bahasa Inggris. Anggapan perlahan berubah. Ribuan mahasiswa memang berdatangan untuk belajar bahasa Inggris tapi belum tentu warga setempat atau sekitar turut bernafsu belajar bahasa Inggris.

Kehadiran sekian ham sudah memberi pikat. Si pengisah bernama Leonard atau Onar mendapat kejutan-kejutan dan godaan-godaan agar betah di Pare. Kita mengutip: “Malam ini aku mengetahui fakta baru tentang Kampung Inggris, dan fakta itu aku dapat dari cerita Mas Abbas, pemilik tempat persewaan sepeda yang ada di sebelah barat camp-ku. Mas Abbas adalah warga lokal. Sudah lebih dari lima tahun dia menyewakan sepeda sebagai mata pencaharian. Dia banyak bercerita tentang perjalanan Kampung Inggris, dari waktu ke waktu.” Onar berpikiran hal-hal di Pare, tak lagi serius belajar bahasa Inggris.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (89): Tadzkirotu as-Sami’ wa al-Mutakallim, Kitab Pedoman Belajar-Mengajar

Onar sengaja menjadikan puluhan halaman memuat segala keterangan diperoleh dari orang-orang setempat dan orang-orang sedang belajar bahasa Inggris. Ia menjadi juru bicara bersifat cerita dan penjelasan bagi para pembaca ingin mengetahui “dulu” mengenai Pare, sebelum sampai ke Pare untuk belajar atau piknik. Panji Sukma sadar bila sekian informasi penting disampaikan di pengisahan, siasat mengandung “reportase” atau pengamatan meski sekejap.

Kita memilih mengurusi buku dan toko buku saja setelah khatam Onar. Pare memiliki toko buku, tak cuma warung makan dan kafe. Ribuan mahasiswa di sana diharuskan memiliki buku-buku dalam belajar bahasa Inggris. Onar berkisah: “Hari ini kami diwajibkan tutor untuk memiliki buku pegangan selama belajar di Kampung Inggris. Semacam buku wajib peserta bimbingan yang entah secara resmi atau tak resmi disepakati semua lembaga belajar di Kampung Inggris. Buku itu bisa dibeli melalui lembaga maupun beberapa toko buku yang ada di sana.

Peristiwa membeli toko buku lekas menjadi pokok (konflik) bagi Panji Sukma. Pembaca diajak memberi perhatian hubungan buku, toko buku, kekuasaan, ideologi, agama, dan lain-lain. Pare menjadi latar. Si Onar mengetahui ada toko buku di Pare “bermasalah” di mata pemerintah dan sekian pihak. Ia berbagi cerita dengan pilihan membeli buku untuk belajar bahasa Inggris ke toko buku: “Ya, toko buku yang semalam digrebek. Aku masih menyimpan penasaran. Aku heran, alasan macam apa yang membuat sebuah toko buku digerebek oleh aparat. Menurutku tidak ada satu pun alasan yang memperbolehkan sebuah toko buku digerebek karena itu sebuah kemunduran dalam dunia pendidikan. Konyol sekali. Sudah tahu minat baca di negeri ini tergolong rendah, kenapa masih harus ditambah keribetan macam itu.”

Urusan itu memicu Panji Sukma tergesa mengajukan opini umum dan mengulang hal-hal klise. Pengisahan Pare tak terhenti dengan bahasa Inggris. Onar justru berpikiran situasi pelik di Indonesia berkaitan dengan gerakan agama, semaian ideologi, industri perbukuan, dan nalar kekuasaan. Kita diingatkan buku-buku bertema “kiri” dan “radikalisme” pernah menjadi momok bagi penguasa dan pihak-pihak mengaku (paling) beriman dan memuliakan Indonesia. Buku-buku “tertentu” dimusuhi. Di hadapan mereka, buku-buku dianggap boleh dilarang, dibakar, atau dihancurkan dengan dalih-dalih picik. Orang-orang terlibat dengan buku-buku “bermasalah” berhadapan dengan kaum penuh curiga, rajin memberi hujatan, dan pemberi hukuman.

Baca juga:  Sabilus Salikin (56): Melanggengkan Zikir, Pikir, dan Wirid

Kita sejenak memamah penjelasan Ignas Kleden termuat dalam buku berjudul Buku dalam Indonesia Baru (1999). Buku itu masalah penting selain politik tak pernah beres. Ignas Kleden sadar buku sering diabaikan tapi perlu diajukan terus untuk memuliakan Indonesia. Ia menjelaskan: “Buku adalah fenomena kebudayaan. Barangsiapa hendak mengurus buku, baik sebagai penulis, editor, penerbit, pustakawan, pemilik toko buku atau peresensi tidak dapat menjalankan tugasnya dengan cukup motivasi dan kecintaan, dengan kreativitas dan kesungguhan, kalau tidak dibimbing oleh suatu wawasan kebudayaan yang memadai.”

Panji Sukma berlagak serius dalam penulisan novel menguak masalah perbukuan dan nasib Indonesia. Ia memang mengisahkan Pare tapi bermisi besar tentang buku. Para pembaca digoda di halaman-halaman akhir memuat konklusi. Pemahaman dikuatkan dengan pencantuman di sampul buku bagian belakang: “Jika kitab suci dijadikan barang bukti tersangka terorisme, buku dijadikan barang bukti tersangka kerusuhan, maka bukan tidak mungkin kelak perpustakaan dianggap sebagai tempat berbahaya.” Para pembaca boleh menjadikan itu kutipan terpenting dari novel.

Di Pare, Panji Sukma datang dan belajar bahasa Inggris. Di sana, ia menulis Pare. Pengisahan oleh tokoh bernama Onar. Kini, novel berhak terbaca ribuan mahasiswa sedang berada di Pare. Novel bisa menjadi “bekal” bagi para mahasiswa di seantero Indonesia bila ingin berdatangan ke Pare. Kita pun mengerti bahwa Pare masih buku, setelah puluhan tahun lalu ada persembahan mengenai Mojokuto (Pare) dan beragam hal sebelum Pare bertumbuh dengan bahasa Inggris. Begitu.

 

Judul           : Onar

Penulis        : Panji Sukma

Penerbit      : Nomina

Cetak          : 2021

Tebal          : 118 halaman

ISBN           : 978 623 378 085 8

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top