Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Membaca Adonis di Indonesia: 1983 dan 2018

Pada 1983, terbit buku berjudul Puisi Arab Modern. Puisi-puisi Arab hasil terjemahan Hartojo Andangdjaja. Buku itu termasuk laris, sering cetak ulang. Buku bersampul warna merah berhiaskan kaligrafi itu malah sempat dicetak dengan keterangan “milik negara, tidak diperdagangkan.” Buku disebar ke perpustakaan-perpustakaan seantero Indonesia.

Pada masa 1980-an, orang-orang di Indonesia mungkin melulu mengenali Arab berkaitan agama, perang, atau revolusi. Berita-berita dan cerita-cerita mengenai Arab sering mendebarkan dan meminta haru. Arab itu referensi pelbagai perkara meski masih jarang tersampaikan ke Indonesia berupa puisi-puisi mutakhir.

Hartojo Andangdjaja, pujangga asal Solo, menekuni penerjemahan puisi-puisi dari Arab. Penerjemahan tak langsung dari bahasa Arab tapi edisi bahasa Inggris. “Meskipun demikian, dengan bekal pengenalan bahasa Arab yang ada sekadarnya pada penterjemah, dilakukan juga pembandingan dengan teks aslinya dalam bahasa Arab.”

Kerja penerjemahan itu terakui turut mengantarkan sastra Arab modern ke publik pembaca di Indonesia, setelah sering mendapat terjemahan sastra dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Tiongkok, Rusia, Jerman, Prancis, dan Amerika Latin. Pembaca mulai mengenali atau menggandrungi puisi-puisi gubahan Ibrahim Al “Arid, Jabra Ibrahim Jabra, Ali Muhammad Luqman, Nizar Qabbani, Salah Labaki, Harun Hashim Rashid, ‘Abdl Al Rahman Shukri, Khalil Mutran, dan Ali Ahmad Sa’id (Adonis).

Satu buku Adonis yang layak baca

Nama terakhir itu pantas mendapat perhatian. Ia lahir di Suriah, 1930. Adonis menggubah puisi-puisi pada masa 1950-an, bermula dengan tema politik. Ketekunan dalam sastra dan keintelektualan menjadikan Adonis mengembara ke Lebanon dan Paris (Prancis). Di buku berjudul Puisi Arab Modern, kita membaca 5 puisi terjemahan. Puisi-puisi dianggap bukti pengaruh Adonis dalam kesusastraan kontemporer di Arab.

Baca juga:  Diruwat Agar Tidak Ruwet

Kita simak puisi berjudul “Menara”, pendek dengan tiga larik: Menara itu menangis/ Ketika orang asing datang, membelinya,/ Dan mendirikan di atasnya sebuah cerobong. Sebutan menara belum memastikan itu menara masjid atau menara di istana dan hunian. Kita menafsir saja bakal terjadi perubahan bentuk dan peran, dari menara ke cerobong. Arsitektur berubah dengan pamrih-pamrih teknis dan pemaknaan tak lagi mengacu ke rupa lama.

Puluhan tahun berlalu dari terjemahan Hartojo Andangdjaja, kita mendapat buku berjudul Panggung dan Cermin (2018), berisi puisi-puisi Adonis, 1965-1967. Buku puisi itu diterjemahkan oleh Fazabinal Alim dari edisi bahasa Arab.

Di halaman 2012, kita temukan puisi pendek berjudul “Menara Masjid”. Hasil terjemahan terbaru dalam bahasa Indonesia: menara masjid menangis/ ketika datang seorang asing untuk membelinya/ dan akan membangun cerobong asap di atasnya.

Penghadiran dua hasil terjemahan memberi kesan berbeda. Pembaca mungkin lekas mengetahui ada “kelengkapan” di terjemahan  Fazabinal Alim.

Menara dalam terjemahan lama tak menjelaskan masjid. Pada terjemahan edisi 2018, pembaca memastikan itu menara masjid. Menara sebagai tanda di tempat ibadah. Nasib menara bakal merana akibat nalar jual-beli. Menara dibeli orang asing untuk dihilangkan berganti ke bangunan dengan bentuk berbeda: cerobong.

Kita lazim mengartikan cerobong berurusan dengan pabrik, tempat untuk menghasilkan pelbagai hal bernalar bisnis. Orang asing belum bernama meski mengarah ke jenis manusia pemuja duit ketimbang mengerti ibadah pada Tuhan.

Baca juga:  Film “ABRI Masuk Desa” Buka Kisah Sejarah Orba untuk Milenial

Hartojo Andangdjaja suguhkan terjemahan puisi berjudul “Darah Menyembur”. Puisi mencekam:

Aku bermimpi:/ Suara ini tak akan pernah menjadi/ Suaraku./ Kau mayat yang terlentang –/ Aku darah menyembur dari peradaban yang dibantai,/ Menyalakan api kematian,/ Memadamkan api kematian.

Puisi terpengaruh tatanan politik sering mewartakan kekerasan dan perang di Arab. Kawasan berdarah akibat sengketa ideologi-kekuasaan atau adu paham dalam beragama. Adonis menuliskan dengan tokoh dan peristiwa kematian. Pembaca saat menghadapi puisi itu pada masa 1980-an mungkin ingin menautkan ke berita-berita berasal dari Arab. Puisi terbaca dengan pengetahuan politik Arab ketimbang mendalami estetika.

Pada 2018, Fazabinal Alim sajikan hasil terjemahan berbeda, dijuduli “Darah yang Memuncrat.” Pilihan kata membedakan peristiwa terlihat mata: menyembur dan memuncrat. Kita membaca dalam situasi abad XXI:

aku berharap/ suara ini bukan/ suaraku/ engkau bangkai yang terdampar/ dan aku darah yang muncrat dari peradaban pembantaian/ darah yang menyalakan api kematian/ darah yang memadamkan api kematian.

Hasil terjemahan terbaru terasa menambahi kengerian. Kita membaca saat Irak, Suriah, dan pelbagai negara di Arab menanggungkan perang dan pembantaian dengan dalih-dalih politik dan agama. Cara membaca lekas politis. Adonis seperti memberi warta dari jauh menjadikan pembaca ada di kedalaman keharuan sambil merekonstruksi segala pengertian Arab, dulu dan sekarang.

Baca juga:  Inilah Kamus Jawa Kuno yang Tidak Terlalu Kuno

Perbedaan masih terasa dalam terjemahan puisi oleh Hartojo Andangdjaja dan Fazabinal Alim. Puisi terjemahan berasal dari buku Adonis berjudul Al Masrah wal Al Maraya. Pada puisi berjudul “Burung”, hasil terjemahan Hartojo Andangdjaja, pembaca menganggap burung itu seekor saja: Aku mendengarkan:/ Seekor burung di Gunung Sinnin/ Menyanyi hingga suaranya dibenam senyap/ Hingga nyanyiannya menjadi seperti/ Mata pisau/ Meratap parau, melukai/ Dingin Kota. Puluhan tahun berlalu dari terjemahan diperantarai bahasa Inggris, kita membaca terjemahan dari bahasa Arab oleh Fazabinal Alim. Perbedaan telak:

Kuperhatikan:/ burung-burung bertengger di atas sannin/ mereka begitu riuh agar tercipta ketenangan/ agar nyanyian menjadi/ seperti mata pisau/ melukai dingin kota dengan suara parau dan tangisnya.

Hartojo Andandjaja mengawali mengajak pembaca masuk ke puisi-puisi gubahan Adonis meski dengan terjemahan tak harus “mendekati” ke edisi bahasa Arab. Perubahan dalam penerjemahan itu wajar.

Dulu, pembaca mungkin tak wajib mengusut ketepatan atau kebenaran dalam penerjemahan. Penerimaan dan pembacaan atas puisi gubahan Adonis sudah teranggap imbuhan mengerti sastra Arab mutakhir. Penerbitan bukuPanggung dan Cermin semakin mengantar pembaca menikmati puisi-puisi Adonis dalam terjemahan bahasa Indonesia sambil sejenak mengetahui situasi mutakhir di Arab abad XXI. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top