Saat Ramadan, bocah dan remaja menjalani menit demi menit dengan bujukan berada di depan televisi. Bujukan ampuh pun menempatkan mereka sebagai penikmat gawai. Pembuat acara-acara di televisi sudah berharap mendapatkan jumlah penonton jutaan dengan suasana atau selera keagamaan. Orangtua kadang merestui bocah atau remaja menonton televisi dalam sekian jam. Di kotak berpendaran warna dan cerita, mereka sedang menonton sinetron atau acara lomba bercap Islam. Waktu pun berlalu dengan maksud mereka merampungi hari dan menambahi iman.
Gawai-gawai jadi idaman. Raga berbaring atau duduk memberi ketakjuban pada bocah atau remaja. Sekian menu atau permainan membuat mereka betah. Orangtua mungkin memberi izin atau pasang peringatan meski bergawai sulit dihentikan saat detik demi detik dianjurkan beribadah. Ramadan sering hari-hari dilema bagi bocah dan remaja menempuhi pagi sampai malam. Konon, mereka sudah beribadah dan bersekolah. Mereka pun menginginkan hiburan berdalih “melupakan” haus dan lapar. Hiburan kadang diselipi kemauan mengerti agama.
Apakah orangtua berani suguhkan setumpuk komik ke bocah dan remaja selama Ramadan? Tantangan itu terkesan remeh, berjarak jauh dari petuah-petuah bijak dalam khotbah malam atau pagi di masjid. Komik pantas disuguhkan tanpa perlu dibandingkan faedah dengan televisi atau gawai. Nalar membandingkan kadang menjerumuskan ke urusan-urusan pelik dan melelahkan pikiran. Suguhkan komik ke mereka! Berikanlah hak mereka bergirang dan merenungi keimanan!
“Buku ‘Seri Komik Islam’ ini adalah salah satu bentuk alternatif lain untuk menarik minat baca di kalangan anak-anak dan remaja, juga memperkenalkan kisah-kisah teladan lebih dalam lagi, karena diolah dari berbagai sumber buku yang dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, disajikan ke dalam bentuk yang lebih ringan, mudah dicerna dan imajinatif,”
kalimat panjang buatan Nur Wahidin di buku komik berjudul Kisah Nabi Muhammad SAW: Perang di Jalan Allah (1998). Buku terbitan Mizan itu mengawali janji menerbitkan Serik Komik Islam.
Komik mengajak pembaca semakin mengenali Nabi Muhammad dan merenungi iman. Ajakan itu termasuk baru dan terlambat dalam ketersediaan bacaan bagi bocah dan remaja di Indonesia. Komik-komik beragam jenis sudah telanjur berlimpahan di Indonesia, sejak puluhan tahun silam. Pengecapan komik Islam tentu terlambat, terpaut waktu dalam penciptaan selera, setelah orang-orang menggemari komik asing dari pelbagai negeri.
Di Indonesia, komik telalu lama dan ramai dalam perdebatan moral. Kalangan beriman pun sempat menolak komik berdalih agama. Selama puluhan tahun, komik gemar dimusuhi dan ditaruh dalam bacaan hiburan. Pengertian itu perlahan berubah tapi pembuatan ulang peran dan faedah tampak tercecer.
Pengakuan Nur Wahidin: “Kami sadar banyak kekurangan dalam menyusun buku komik ini, oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelalaian atau kesalahan yang terjadi, hanya semata keterbatasan dari pengetahuan yang masih sangat sempit dan sifat manusia yang tidak luput dari segala kesalahan yang diperbuatnya.” Deretan kata klise tapi memastikan keinginan menghadirkan komik Islam demi keimanan.
Komik itu termasuk laris di pasar. Kita mungkin pantas memuji meski harus membuka lagi sejarah komik di Indonesia untuk mengerti kebermaknaan komik Islam. Buku terpenting tentu Komik Indonesia (1998) garapan Marcel Bonneff. Buku memuat pelbagai hal mengenai komik di Indonesia, dari masa ke masa. Pembahasan paling mentok pada masa 1970-an. Kemunculan komik Islam belum masuk pembahasan atau mendapat perhatian sebagai “belokan” dari kecenderungan industri komik.
Dulu, komik didaktis pernah diadakan agar pembaca tak terperosok ke hiburan murahan. Komik sempat dimuat di majalah-majalah anak. Kerja itu belum sampai ke penentuan bakal ada kaitan komik dan iman. Produksi komik-komik bertema agama agak terlambat dari pasar meriah komik. Sejak puluhan tahun lalu, komik sering memuat pengisahan dari epos, cerita masa kerajaan di Nusantara, dan ksatria lokal. Komik lekas digemari pembaca, mencipta ketagihan tanpa ujung meski pemerintah membuat siasat mengawasi dan orang-orang berseru moralitas.
Marcel Bonneff mencatat ada kecenderungan utama dalam komik Indonesia. Menu paling digandrungi pembaca: komik wayang, komik silat, komik humor, roman-remaja. Komik-komik tertuduh pelarian dari kehidupan faktuak keseharian. Pelarian di gambar dan kata, menggerakkan imajinasi ke tempat-tempat terjauh. Komik pun diminta memberi pemuasan ke pembaca agar merasa tak sia-sia memiliki “dunia lain.” Afrizal Malna dalam puisi berjudul “Kesibukan Melarikan Diri” sempat menaruh komik dalam perekaman masa lalu. Afrizal Malna (1995) menulis: Padahal itu bahasa/ yang disembunyikannya, sejak menyaksikan: anakanya kupu-/ kupu plastik, komik seharaga 15 ribu dalam kantong-/ kantong itu, dalam bahasa seperti itu.
Pada masa 1990-an, penerbitan komik Islam belum tercatat atau memungkinkan perdebatan panjang melibatkan para komikus, ulama, cendekiawan, dan kritikus sastra. Masa itu terasa damai. Pemunculan komik Islam mungkin kelumrahan menilik situasi Indonesia sedang dikutuk krisis demi krisis. Komik Islam anggaplah jawaban kecil disodorkan ke bocah dan remaja dengan restu orangtua. Komik mulai berurusan iman, menjauh dari hiburan “merusak” moral atau “pelarian” tak bermutu.
Pembaca komik Islam bertemu lagi dengan garapan Nur Wahidi dalam buku berjudul Kurban Terakhir (2006). Komik bercerita Nabi Ibrahim. Janji pembuatan Serik Komik Islam terbukti. Buku memuat dalih-dalih penerbitan komik: “Bagi kami, komik bukan sekadar membawa pesan edukasi dan bersifat hiburan. Melalui rangkaian gambar, komik mampu mengemas sesuatu yang sulit jadi mudah dicerna.” Suguhan itu berlanjut sambil menanti keputusan bocah dan remaja untuk menggemari komik. Kini, terbitan-terbitan komik itu bisa disuguhkan lagi berbarengan kegandrungan bocah dan remaja berada di depan televisi atau bergawai. Begitu.