Pada suatu hari, penulis membeli Al-Marbawy: Qamoes-El-Djaib Arab-Melajoe Latin susunan M Idris Al-Marbawy Al-Azhari. Keterangan di data buku: “Tjita’an Al-Marbawy di Azhar, Masir.” Penulis senang banget. Buku dengan harga terjangkau. Buku bergantian dipeluk, dipandang, dan dielus. Buku berwarna merah. Kecil tapi memberi ketakjuban. Buku semakin memberi gairah sinau kamus-kamus dan menilik sejarah Nusantara dari kata-kata. Duh, gairah itu terasa sombong!
Penulis sulit berbahasa Arab. Dulu, ia memilih membolos, tidur, atau bertengkar dengan dosen saat pengajaran bahasa Arab di STAIN Surakarta. Penulis semakin tak mengerti bahasa Arab setelah merampungkan studi cuma 1 semester. Bahasa Arab itu sulit! Penulis pernah “takut” bila mahir berbahasa Arab bakal mengalami peningkatan iman dan takwa. Kini, penulis menunduk malu gara-gara males belajar bahasa Arab. Di hadapan kamus lawas, penulis simak penjelasan M Idris: “… dima’loemkan pada kaoem jang menggunakan Qamoes ini, bahwasanja telah dikarang akan dia dengan sehabis-habisnja ringkas, jaitoe dipilih taroeh disini akan kalimah-kalimah jang selaloe didjoempai dalam kitab-kitab ‘arab, serta dibanjakkan pengertiannja dengan gambar, bagi paedah ‘oemoem.”
Pada tahun berbeda, penulis membeli Kamus Arab-Indonesia-Inggeris (1953) susunan Abd bin Nuh dan Oemar Bakry, membeli pula edisi perubahan berjudul Kamus Arab-Indonesia (1971). Kamus laris di Indonesia. Pembuat kamus dan penerbit sengaja berharap laris dengan memuat pengantar dari empat tokoh: Hoesein Djajadiningrat, KH M Masjkur, Mohammad Natsir, dan M Rasjidi. Terbukti! Kamus itu berpengaruh bagi siswa, guru, dan mahasiswa di seantero Indonesia. Kamus bermisi “kepentingan bahasa Arab bagi bangsa Indonesia.” Kamus terbit setelah Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta beredar. Apa ada masalah?
Oh, kita mulai mendapat masalah pada masa 1980-an. Di Tempo, 20 Desember 1986, M Nur G Ibrahimy menulis komentar tentang bahasa Indonesia, kamus, TVRI, JS Badudu, dan lain-lain. Protes! Komentar berjudul “Bahasa Indonesia dan Kata-Kata dari Bahasa Arab.” Oh, penulis mulai mengerti ada rerasan atau perdebatan-perdebatan berlangsung lama tanpa ramai untuk penulisan, pengucapan, dan pemberian pengertian kata-kata dari bahasa Arab. Wah, masalah besar! Nur mengerti anjuran JS Badudu di TVRI dalam penulisan kata dari bahasa Arab sesuai kaidah bahasa Indonesia. Segala ragu dan perbedaan dikembalikan ke Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Nur berhak usul dan protes: “Sehubungan dengan imbauan Bapak Yus Badudu, agar masyarakat dalam segala hal rujuk kepada kamus Poerwadarminta, saya harap beliau tidak saja menampilkan kesalahan-kesalahan masyarakat dalam pemakaian bahasa Indonesia, tapi sekali-sekali menampilkan juga kesalahan-kesalahan Poerwadarminta yang mencapai puluhan buah dalam kamusnya itu. Yaitu yang menyangkut kata-kata yang berasal dari bahasa Arab agar masyarakat tidak menelan bulat-bulat kesalahan itu…” Nur emosional, lupa mengajukan acuan-acuan berbeda. Ia mungkin tak membaca Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954) susunan Sutan Mohammad Zain. Dua leksikograf bisa dibandingkan dalam mutu dan kaidah memuat entri-entri dari bahasa Arab. Sekian pembaca lekas saja mengaitkan dengan agama. Duh, sikap itu tergesa!
Pada tahun-tahun berbeda, masalah kata-kata dari bahasa Arab dan kaidah penulisan dalam bahasa Indonesia masih terus memiliki perdebatan-perdebatan. Penulis memilih menambahi nafsu berbelanja kamus-kamus dan buku-buku kebahasaan. Tahun demi tahun, kamus-kamus tak menjamin meningkatkan iman dan takwa. Penulis justru terbujuk dengan kemendadakan orang-orang mulai bergairah menulis, bertukar, dana mengedarkan pesan-pesan di gawai sering memunculkan istilah-istilah Arab dianggap menegaskan keislaman. Duh, penulis ingin menjadikan ratusan kamus di Bilik Literasi (Solo) berkhasiat dalam membuat jawaban. Sulit tapi menggirangkan. Begitu.