Sedang Membaca
Kesaktian EYD dan Penerbitan Buku
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Kesaktian EYD dan Penerbitan Buku

Sejak masa 1950-an, Ajip Rosidi rajin menulis puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Puluhan buku terbit di pelbagai penerbit. Ia memiliki kemahiran berbahasa Indonesia. Tulisan-tulisan diterbitkan membuktikan selera dan penggunaan kaidah berbahasa Indonesia belum tentu sesuai kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ajip Rosidi memiliki kemauan besar untuk memberi kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah berkaitan bahasa dan sastra. Sekian kritik mujarab tapi ada konsekuensi-konsekuensi ditanggungkan. Pada suatu masa, “mengalah” bukan menerbitkan malu.

Pada 1972, pemerintah mengesahkan EYD. Ejaan baru dan disempurnakan diberlakukan demi kemajuan bahasa Indonesia. Pidato dan tanda tangan Soeharto memastikan kebijakan itu hebat. Orang-orang diharapkan mematuhi, tak perlu melawan dan mengumbar kritik. Kini, kita memperingati 50 tahun pemberlakuan EYD dengan segala capaian dan kesedihan.

Ajip Rosidi mengingat masa 1970-an. Ia menulis esai-esai menolak perubahan ejaan. Keberanian itu terkenang: “Alasan bahwa perubahan ejaan akan memperbaiki penggunaan bahasa Indonesia dalam masyarakat yang kian semrawut aku bantah. Aku bilang, pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat tidak akan menjadi baik hanya karena ejaan diperbaharui karena masalahnya bersumber pada pengajaran bahasa Indonesia yang tidak baik, karena tidak profesional.” Kritik dengan deretan argumentasi. Ajip Rosidi pun ingin bahasa Indonesia berkembang tapi bukan dengan memaksakan penerapan EYD. Ingatan itu ditulis dalam buku berjudul Hidup Tanpa Ijazah (2008).

Baca juga:  Berfilsafat dengan Cara Sederhana

Kritik dibalas ancaman. Pada masa 1970-an, Ajip Rosidi mengelola penerbit bernama Pustaka Jaya. Ajip Rosidi mengalah: “… kami diancam oleh Departemen P dan K bahwa kalau tetap bersikeras demikian, maka buku-buku Pustaka Jaya tidak akan diperbolehkan dibeli oleh pemerintah untuk perpustakaan sekolah. Terhadap ancaman tersebut aku terpaksa mengalah karena adalah menjadi keinginanku agar buku-buku Pustaka Jaya masuk ke perpustakaan-perpustakaan sekolah supaya dibaca oleh para pelajar.” Mengalah demi misi lebih besar.

Kebijakan EYD berdampak pula untuk penerbit di Solo: Tiga Serangkai. Pada masa 1970-an, Tiga Serangkai sedang membesar sebagai penerbit buku-buku pelajaran. Masa depan terimajinasikan terang. Buku-buku terbitan Tiga Serangkai digunakan di pelbagai daerah. Buku-buku pelajaran turut memajukan pendidikan di Indonesia.

Kebijakan pemerintah memberi “petaka”. Di buku berjudul Menguak Jendela Ilmu (2010) susunan Alberthiene Endah, ada pengakuan mengharukan dari penggerak Tiga Serangkai: Siti Aminah Abdullah. 1972 menjadi tahun kerugian. Siti mengingat: “Perubahan besar-besaran pernah terjadi saat ada pergantian ejaan bahasa Indonesia. munculnya EYD alias Ejaan Yang Disempurnakan membuat buku-buku terbitan kami terpaksa digudangkan dan kami harus mencetak ulang dengan ejaan baru yang berlaku. Inilah risiko yang mau tidak mau harus dihadapi penerbit.” Dulu, penerbit-penerbit memilih patuh ketimbang melawan. Mereka sadar dengan petaka-petaka berdatangan bila mengusik atau menentang kemauan-kemauan pemerintah.

Baca juga:  Memberi Ruang pada Santri-santri Pinggiran: Review Buku Santri Waria Karya Masthuriyah Sa’dan

Pemuliaan bahasa Indonesia untuk kebaikan, kehormatan, dan kemajuan. Pada masa 1970-an, urusan ejaan dan tata bahasa baku menjadikan pemerintah bermisi muluk. Konon, kebijakan-kebijakan itu bukti tanggung jawab pemerintah dalam memastikan bahasa Indonesia berperan besar untuk pembangunan nasional. Peran tanpa melupakan sejarah. Pemerintah ingin mendapat pujian, bukan curiga dan kritik.

Pada 1973, terbit Ensiklopedi Umum oleh Penerbitan Jajasan Kanisius. Buku disusun sejak masa 1960-an, melibatkan 50 ahli. Kerja besar dan serius berhasil mewujud menjadi buku dengan 1.433 halaman. Pembuatan buku dengan anggaran besar. Dulu, Ensiklopedi Umum mungkin berharga mahal.

Buku itu masih menggunakan ejaan lama. Para pembaca telanjur mengikuti kebijakan pemerintah dan berusaha mematuhi EYD mungkin kebingungan. Mereka menghadapi buku baru tapi berejaan lama. Pihak penerbit dan percetakan tak sanggup menggubah ejaan mengacu pidato Soeharto bertema EYD, 16 Agustus 1972.

Keterangan terbaca di halaman XIII: “memakai edjaan lama karena naskah telah diset dalam bulan Desember 1969.” Perubahan ejaan merepotkan para pengelola percetakan. Mereka harus bersiasat dengan mesin cetak agar bisa memenuhi kemauan mencetak buku-buku sesuai EYD.

Masalah sulit pernah dialami oleh Ganaco (Massa Baru) dikelola Oejeng Soewargana. Ajip Rosidi mengingat: “Aku bisa mengerti mengapa Oejeng menolak perubahan karena kalau hal itu diberlakukan, maka entah berap ratus ribu bukunya akan teronggok tidak dibeli dan dia pun harus menyesuaikan mesin cetaknya dengan ejaan baru.” Kita mengerti kebijakan-kebijakan besar pada masa Orde Baru menimbulkan petaka-petaka. Pihak-pihak dirugikan diharap maklum. Mereka tak perlu melawan bila sadar risiko politik dan bisnis.

Baca juga:  Kitab Suci, Biografi, dan Matahari

Kita berlagak mengingat 50 tahun EYD. Kebijakan berdampak besar selama puluhan tahun. Konon, kebijakan demi kebaikan, kehormatan, dan kemajuan. Kita mengingat lagi babak awal EYD menimbulkan kritik dan kerugian penerbit-penerbit buku. EYD itu “sakti”. Orang-orang menolak atau melawan “kesaktian” EYD sering mendapat “ancaman” dan “hukuman”. Kepatuhan diperlukan ketimbang merugi dan terhukum. Begitu.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top