Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Juni dan Penggubah Puisi (2): Taufiq Ismail; Kelucuan dan Pujian

Whatsapp Image 2021 06 29 At 21.06.32 (3)

Di hadapan para seniman, Taufiq Ismail mengisahkan diri: “Tahun tujuh puluhan berlangsung biasa, tapi terasa cepat sekali. Tiba-tiba saya sudah lewat empat puluh, menuju lima puluh. Hari sudah lewat tengah hari, tapi matahari saya bisa saja tenggelam pukul tiga tiga puluh nanti sore. Tiba-tiba saya merasa ngeri.”

Ia mengucapkan pada 1982. Ia merasa menua, mengaku “ngeri” dengan biografi, situasi, dan mungkin puisi. Di Indonesia, ia sudah sah sebagai tokoh dalam puisi mendokumentasi sejarah masa 1960-an, disusul sejarah 1998. Puisi-puisi digubah hadir dalam keramaian dan turut berperan saat demonstrasi-demonstrasi diselenggarakan di Indonesia.

Pada 25 Juni 2021, Taufiq Ismail sepuh. Ia berulang tahun dalam “ngeri”. Indonesia sedang “ngeri” akibat wabah. Duka belum reda. Di situasi “ngeri”, orang-orang masih menulis dan membaca puisi. Kita menduga Taufiq Ismail pun berpuisi. Ia lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Pada saat bocah, remaja, dan dewasa, ia membentuk biografi di kota-kota dalam peta Jawa. Pada saat tenar, ia mengingat dan ingin memuliakan kampung halaman. Kini, kita tetap mengingat Taufiq Ismail dengan Tirani (1966) dan Benteng (1966). Sekian orang mengingat ketokohan dan peran menggerakkan majalah Horison.

Data diri dimuat dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1983) susunan Pamusuk Eneste memastikan Taufiq Ismail adalah pengarang kondang. Pada 1970, ia menerima Anugerah Seni dari pemerintah. Ia telah mendatangi kota-kota di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia bermisi sastra. Buku-buku telah terbit. Ia dibicarakan kaum sastra, kaum demonstran, dan kaum politik. Ia pun mulai berdakwah dengan sastra.

Ia membuktikan sesumbar saat remaja. Kita mengutip dari buku Dua Puluh Sastrawan Bicara (1984). Taufiq Ismail mengatakan: “… bersyair-syair dan bercerpen-cerpen merupakan urusan penting, saya kirimlah syair-syair dan cerpen-cerpen saya ke Jakarta dari Pekalongan. Seingat saya hampir tiga tahun lamanya karya-karya besar saya ditolaki HB Jassin. Dikirim, ditolak. Dikirim, ditolak. Dikirim, ditolak.

Baca juga:  Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Pendekar Chicago

Hal ini membuktikan bahwa HB Jassin memang bukan ayah saya. Sebagai pengarang muda di daerah, yang tidak pernah diperhatikan orang ibu kota, dengan penuh kesumat saya menyimpan sebuah tekad. Saya harus jadi penulis. Jadi semua langkah harus diperhitungkan dengan cermat. Strategi disusun, taktik dirahasiakan. Saya harus jadi sastrawan.” Ia membuktikan dan lestari dalam ingatan publik sebagai sastrawan. Ia berada di masa bersejarah: revolusi dan malapetaka 1965. Dulu, ia memang menggubah puisi-puisi protes. Ia pun rajin menulis puisi-puisi lucu, tak lupa mengurusi tema keagamaan.

Di buku pelajaran bahasa Indonesia, Taufiq Ismail sering tercantum dengan puisi-puisi politis. Di telinga publik, orang mengingat lagu-lagu dibawakan Bimbo. Di kebijakan pengajaran sastra, Taufiq Ismail dan Horison dikenang dengan nafsu mendatangkan Horison ke sekolah-sekolah dan pesantren-pesantren. Ia memang tenar. Taufiq Ismail menjadi pujaan, tak cuma di Indonesia. Puisi-puisi gubahan Taufiq Ismail diterjemahkan ke beragam bahasa, termasuk bahasa Arab.

Pada 1965, Taufiq Ismail menggubah puisi berjudul “Jawaban Pos Terdepan”, mewujud sebelum mengerti bakal terjadi gegeran 30 September dan 1 Oktober 1965. Taufiq Ismail mewartakan nasionalisme: Tidakkah engkau bisa menempatkan diri/ sebentar, di tempat kami/ Memikirkan bahwa ibumu tua diungsikan/ tersaruk-saruk berdjalan kaki/ Setelah rumah-rumah di kampungmu dibakari/ setelah adik kandungmu ditembak mati…. Di seberang sini berdjaga pengawalan/ Tanpa gardu dan kemah, berbadju lusuh dalam semak/ Dialah jang terdepan dengan seputjuk Lee & Field/ Dialah huruf pertama dari republik.

Puisi itu terbaca tapi bukan pilihan utama bagi panitia lomba puisi di sekolah atau perguruan tinggi. Puisi-puisi gubahan Taufiq Ismail sering masuk daftar sebagai puisi wajib atau puisi pilihan dalam lomba-lomba baca puisi atau deklamasi.

Baca juga:  Abdulrazak Gurnah: Kisah Yusuf dan Nobel Sastra

Pendapat Suminto A Sayuti (2005) mengungkap kesadaran pilihan tema dan sikap kesusastraan Taufiq Ismail, sejak masa 1950-an. Wajah, penampilan, dan tutur kata Taufiq Ismail santun tapi dalam berpuisi ia berani melawan dan keras. Kritikus sastra itu menjelaskan: “Taufiq Ismail adalah tipe penyair yang sadar bahwa ketika kritik tajam dibungkam di media massa, ketika budaya akal sehat dikebiri, ketika pengawasan melekat digalakkan bersamaan dengan korupsi melekat, ketika berbagai hal dibuat univokal dan polifoni diharamkan, ketika kebhinekaan dan pluralitas dibuat tidak berdaya, maka daya kreatif harus dapat diwujudkan lewat dan dalam seni (puisi).” Tahun demi tahun, Taufiq Ismail terus menulis dan membacakan puisi dalam beragam acara. Ia bukan manusia gampang letih dan bosan membawakan puisi untuk kesadaran keindonesiaan dan keagamaan.

Pada 1963, ia menggubah puisi pendek berjudul “Doa Si Ketjil”. Kita mungkin tak menjadikan itu puisi penting setelah mengetahui puisi-puisi politis. Taufiq Ismail menulis: Tuhan Yang Kaya/ Beri mama kasur tebal di surga// Tuhan Yang Pemurah/ Belikan ayah pipa yang indah// Amin. Taufiq Ismail sering melucu dalam puisi dan esai-esai. Para pembaca esai Taufiq Ismail di majalah Horison dan Tempo sering tertawa.

Ia berani menulis esai bercorak lucu, menghibur, dan mengingatkan. Kelucuan jarang dimengerti para pembaca mutakhir gara-gara melihat Taufiq Ismail sudah tua. Pada saat sudah tenar dan menua, Taufiq Ismail lazim tampil dengan nasihat-nasihat ketimbang lelucon, bergerak dari masalah kritik sosial sampai religiositas.

Sejak awal menekuni sastra, Taufiq Ismail tak lekas menggarap tema-tema keagamaan. Pada masa berbeda, para pembaca mengerti bila puisi-puisi mengandung pesan keagamaan menjadikan Taufiq Ismail berlimpahan idiom-idiom mengajak orang beriman dan bertakwa. Ia tetap memiliki sikap kritis dalam babak-babak sejarah Indonesia tapi masalah keagamaan perlahan menguat.

Baca juga:  Ulama Banjar (6): Syech Abdurrahman Siddiq

Kita mendingan melacak gejala-gejala sastra keagamaan menguat di Indonesia setelah Perang Dunia II. Goenawan Mohamad (1964) berpikiran: “Dari sinilah mutu sastra keagamaan bisa diperbaiki, sebab prinsip tersebut sesuai dengan kodrat kesusastraan. Jakni demokratis. Sehingga pada perkembangan selandjutnja sastra keagamaan tidak identik dengan chotbah-chotbah jang dibungkus dalam sadjak, novel ataupun repertoir.”

Pada masa 1960-an dan 1970-an, Taufiq Ismail condong berada di kancah sastra berselera politik dan protes sosial. Dulu, Goenawan Mohamad pun berpendapat: “Sedjarah akan tjenderung mengikis sektarisme, fanatisme, djuga kekolotan. Dan berbahagialah sastra keagamaan apabila ia sadar akan kehendak sedjarah ini.”

Taufiq Ismail memang tak gamblang berurusan tema agama. Di puisi berjudul “Bagaimana Kalau”, ia malah menulis kocak: Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam/ tapi buah alpukat. Puisi ditulis pada 1971: unik dan menggelitik. Pada masa dan latar berbeda, Taufiq Ismail mengingatkan tokoh pendakwah asal Nusantara berada jauh di Afrika Selatan. Tokoh bernama Syekh Yusuf.

Kita membaca puisi berjudul “Tanjung” menilik sejarah dan dakwah: Turunlah Syekh Yusuf di benua selatan/ Pengembara ilmu dari Makassar, Imam di Masjidil Haram/ Lelaki pemberani yang menjalani pembuangan/ Pemikir dalam sunyi yang mengguratkan tulisan/ Ditakuti ketika memimpin pertempuran/ Di Banten dan hutan belantara Jawa Barat/ Ditakuti ketika sudah jadi tulang-belulang/ Ya, Syekh Yusuf, apa gerangan gumam zikirmu/ Yang sepanjang butir tasbihmu gemerlapan 300 tahun. Ia telah memberi pujian atas dakwah bergerak di pelbagai negeri. Taufiq Ismail mungkin belum merasa cukup dalam berpuisi keagamaan. Begitu.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top