Sedang Membaca
Juni dan Penggubah Puisi (1): Abdul Hadi WM; Penggubah, Penerjemah, Penafsir
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Juni dan Penggubah Puisi (1): Abdul Hadi WM; Penggubah, Penerjemah, Penafsir

abdul hadi

Di halaman 2 dalam buku berjudul Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1983) susunan Pamusuk Eneste, kita melihat foto lelaki agak gondrong. Ia masih tampak kurus dan garang. Lelaki tercatat dalam sastra Indonesia bernama Abdul Hadi WM, lahir di Sumenep, 24 Juni 1946.

Ia lahir saat orang-orang Indonesia diajari Soekarno dan para penggerak bangsa dengan pekik: “Merdeka!” Pada masa berbeda, Abdul Hadi WM tak memilih pekik tapi puisi. Sekian puisi pernah dibacakan di pelbagai kota di Indonesia dan kota-kota di pelbagai negara, tetap memiliki kekaleman ketimbang teriak.

Ia rajin menggubah puisi. Abdul Hadi pun menetapi hasrat pengetahuan dengan kuliah-kuliah sampai menjadi doktor. Ia menempuhi jalan seni dan intelektual berpijak Islam. Di buku susunan Pamusuk Eneste, terbaca: “Sajaknya yang berjudul ‘Madura’ mendapat pujian dari redaksi Horison untuk sajak-sajak yang dimuat di majalah itu tahun 1968.” Ia mulai tenar. Puisi-puisi mendapat ulasan para kritikus sastra di Indonesia dan negara-negara asing. Sekian buku terbit, persembahan bakal terbaca sebagai ketekunan menulis puisi-puisi religius mengarah tasawuf.

Pada 24 Juni 2021, Abdul Hadi bertambah usia berlatar Indonesia berwabah. Ia terakui berpengaruh dalam perpuisian, tak lupa memberi sodoran melimpah untuk esai-esai bertema sastra dan tasawuf. Kita memberi ucapan dan penghormatan dengan membaca puisi-puisi digenapi mengutip esai-esai ditulis Abdul Hadi, dari masa ke masa. Ia telah menempuhi jalan puisi: jauh dan jauh. Pada usia tua, ia belum lelah.

Pada 1975, terbit buku puisi berjudul Cermin. Di halaman awal, terbaca persembahan: “Untuk ulangtahunku dan Martina.” Abdul Hadi menghadiahi diri dengan buku memuat puisi-puisi ditulis selama 1972-1975. Kita simak puisi berjudul “Hidup” mengacu bacaan filsafat dan tasawuf.

Baca juga:  Potret Tiga Serangkai dari Tegal (3): Zaldi SA Sang Pionir Master of Ceremony

Puisi dengan bait-bait rimbun: Di daerah orang buta, di suatu siang yang panas, datanglah/ seseorang membawa obor. “Saudara-saduara yang budiman, nyala-/ kanlah semua lampu!” teriaknya. “Aku ingin siang lebih terang/ dari siang sebelumnya!” suaranya gemetar. Merasakan suatu keha-/ ngatan orang-orang buta itu bangkit dari tempatnya, ketawa dan/ menari dalam ekstase// “Ambil sajalah matahari yang di puncak menara itu!” kata/ mereka di akhir tariannya. “Dan benamkan ke dalam lautan!”/ “Malam haripun panas seperti siang dan siang haripun hitam se-/ perti malam.”

Puisi itu konsekuensi dari studi Abdul Hadi dalam filsafat, sastra, dan agama. Ia menempuh studi akademik, selain mengalami pergaulan dengan para pengarang dan kaum sufi. Puisi demi puisi tak lekas menguat dalam tasawuf tapi pembaca mengetahui tahun-tahun berlalu menempatkan Abdul Hadi sebagai juru bicara. Ia menulis puisi, menerjemahkan puisi, dan memberi tafsir dalam esai-esai. Pertanggungjawaban akademik pun diajukan dengan terbitan disertasi. Abdul Hadi dalam pergulatan tak selesai-selesai.

“Tahun-tahun belakangan ini di Indonesia mulai sering dibicarakan tentang sastra sufi dan kecenderungan sufistik dalam sastra Indonesia, khususnya sehubungan dengan apa yang dinamakan Angkatan 70 atau sastra 70-an,” tulis Abdul Hadi dalam buku berjudul Sastra Sufi, terbitan Pustaka Firdaus, 1985. Abdul Hadi melakukan pengumpulan, pemilihan, dan penerjemahan atas teks-teks sastra sufi warisan Rumi, Ibn Arabi, Al Hallaj, Fariduddin Attar, Sa’di. Hafiz, Jami, Mohamad Iqbal, dan lain-lain.

Kita mengutip dari terjemahan puisi Sa’di berjudul “Bahagia Aku”. Puisi tak pelik tapi mengundang renungan: Bahagia aku di dunia hijau/ Dunia hijau karena dia/ Kucintai seluruh dunia/ Sebab seluruh dunia adalah dia/ Bernafaslah dengan nafas Isa, kawan/ Hidupkan lagi sanubarimu yang beku/ Kau akan hidup jika nafas itu adalah nafasnya/ Karena kebenaran itu tetap tak termiliki/ Oleh langit maupun malaikat. Puisi dari silam masih terbaca bagi orang-orang mengalami dan membaca tanda-tanda religius.

Baca juga:  Mbah Shodiq Kiai Sat-set (8): Kiai Tanpa Beban

Peran sebagai penerjemah dan pemberi tafsiran sastra sufi di Indonesia mungkin sulit ditandingi. Dulu, Abdul Hadi rajin mewartakan sastra sufi berbarengan ketekunan Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Danarto, dan lain-lain. Khazanah sastra sufi dibawa, dikenalkan, dan diresapkan di Indonesia. Kesanggupan itu disempurnakan dengan gubahan puisi-puisi religius. Abdul Hadi sempat turut dalam kehebohan puisi mbeling tapi sekian puisi teranggap kuat berpijak religius.

Pada akhir 1982, Abdul Hadi berpidato di Taman Ismail Marzuki. Ia mengajukan tulisan berjudul “Bertemu Saya dan Syeh Siti jenar”. Teks itu kelak diterbitkan dalam buku berjudul Dua Puluh Sastrawan Bicara (1984). Abdul Hadi memiliki rentetan pengalaman dalam berpuisi, mengerti situasi politik, sadar geliat kepongahan intelektual, dan paham nasib dunia.

Ia menjelaskan: “Dan memang, saya tak menulis untuk (memenuhi selera) sekelompok ideolog atau sosiolog yang lagi sibuk mengkotak-kotakkan masalah menjadi masalah yang relevan, aktual dan sebaliknya. Saya tak menulis ala penyair-penyair (romantis) revolusioner Rusia sebelum Revolusi Bolshevik yang ikut melahirkan diktator-diktator ala Lenin dan Stalin yang tega membunuh jutaan kader revolusi sendiri.”

Ia mengucap cukup lantang. Sikap disampaikan demi pengakuan bahwa diri bertanggung jawab pada nurani. Ia menulis sebagai “kebutuhan rohani” dan “panggilan” berdasarkan ketulusan, kesungguhan, dan kejujuran.

Kini, Abdul Hadi telah memberi berlimpahan tulisan. Kita membaca meski tak rampung untuk semua. Orang-orang masih membaca buku-buku Abdul Hadi. Sekian buku mulai sulit ditemukan. Buku lawas dan (ter)penting berjudul Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), memuat puisi-puisi digubah pada 1967-1971). Babak itu Abdul Hadi masih muda dan melakukan pengembaraan jauh.

Baca juga:  Ulama Banjar (124): Drs. H. M. Laily Mansur, LPh

Di puisi berjudul “Pertemuan”, kita membaca: Ada perjanjian gaib/ antara detik lonceng dan suara adzan waktu isya tiba/ Ada pertemuan gaib/ sewaktu risau. Sewaktu kau bertanya// Siapakah di mesjid jauh itu/ Sujud dan mendoa?/ Membacakan surat Yasin yang panjang. Waktu/ angin merendah/ Ia hilang di puncak. Puisi lama bertahun 1969. Puisi digubah saat Indonesia masih tak keruan gara-gara malapetaka 1965. Puisi di luar gemuruh politik dan keangkuhan kubu-kubu ingin menjadikan Indonesia bertema “baru”. Abdul Hadi dalam pengalaman dan pengucapan religius.

Abdul Hadi terus berpuisi. Tua itu urusan usia. Puisi mungkin berjalan terus, belum mau berhenti. Abdul Hadi pun kita hormati mengacu dari tafsiran  dalam buku berjudul Tasawuf yang Tertindas (2001). Ia menjelaskan: “… puisi merupakan jalan, tempat berpindah ke alam keabadian atau transendental. Di sini puisi berfungsi sebagai media transendensi atau kenaikan menuju hakekat segala hakekat.”

Pada masa remaja, Abdul Hadi keranjingan membaca buku, berpengaruh dalam kebetahan bersastra. Abdul Hadi (1983) mengingat: “Tapi urutan buku-buku yang paling saya sukai ialah puisi, filsafat, tasawuf, antropologi, sejarah, dan buku-buku tentang seni atau kebudayaan.”

Pada abad XXI, kita membaca dan membaca, perlahan memiliki pengertian: Abdul Hadi, puisi, dan sufi. Ia memberi puisi-puisi. Kita membaca dan menafsir. Pada masa 1980-an, Abdul Hadi pernah bimbang tapi lekas reda: “Penyair adalah orang yang tak dikenal dan sajak takkan pernah berhasil menjadi barang konsumsi massa, selama ia tetap merupakan fakta spiritual.” Kita menerima dan mengangguk. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top