Sedang Membaca
Gus Dur: Koma dan Dua Halaman 
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Gus Dur: Koma dan Dua Halaman 

Img 20230120 Wa0001

Terpujilah orang-orang mau membaca buku dan membuat resensi meski wagu! Buku dikhatamkan, pendapat dituliskan! Orang-orang mau menulis resensi buku agak “sederajat” dengan Abdurahman Wahid, atau Gus Dur.

Pada masa lalu, ia memang sudah moncer sebagai pembaca buku. Ia pasti suka mengomentari buku dengan cara membuat coretan di buku saat jeda membaca atau menulis di kertas berbeda. Komentar seru tentu berupa omongan di hadapan teman atau jamaah.

Kita mungkin harus meminta izin keluarga atau pelbagai pihak untuk membuka lagi buku-buku pernah dibaca Gus Dur. Di situ, kita ingin menandai coretan-coretan dibuat, lipatan sebagai tanda, atau lembaran-lembaran kertas berisi komentar-komentar. Ikhtiar mendefinisikan Gus Dur sebagai pembaca dan peresensi buku dengan bukti-bukti cetak. Sekian bukti bisa dikumpulkan mesti lekas dipindai atau dipotret.

Dulu, Gus Dur membaca buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib terbitan LP3ES mungkin cetakan pertama: 1981. Buku terbit, Gus Dur membeli atau dihadiahi agar dibaca sampai selesai. Kita menduga pula buku itu pinjaman. Pembuktikan dilakukan dengan menemukan buku, berharap Gus Dur memberi tulisan (tanggal pembelian atau nama pemberi hadiah) dan tanda tangan di halaman awal. Gagal memperoleh buku pernah dibaca, kita masih mungkin mengetahui jejak dengan membaca Pergolakan Pemikiran Islam edisi cetak ulang.

Kita membuka cetakan keenam, 2003. Cetak ulang kerja sama dengan Freedom Institute. Buku dicetak masih bersampul warna hijau. Jenis kertas isi berbeda dari edisi awal. Jumlah halaman pun berubah. Buku makin tebal akibat penambahah komentar-komentar.

Di halaman 354-358, kita membaca tulisan Gus Dur berjudul “Bak Tukang Batu Menghantam Tembok”. Tulisan dicetak di atas kertas putih. Kita membaca sekian menit. Mengerti! Gus Dur tampail sebagai peresensi buku, tak membiarkan buku tertutup selesai rampung dibaca. Ia memerlukan memberi penghormatan dan tanggapan atas buku, tak lupa berurusan penulis buku.

Baca juga:  H.B. Jassin dan Islam Sastrawi

Tulisan memiliki asal: Tempo, 19 September 1981. Orang-orang mungkin sering membaca edisi dalam Pergolakan Pemikiran Islam. Tulisan tetap sama dengan edisi di Tempo. Judul pun sama. Pembaca memiliki Tempo bakal mengetahui: tulisan Gus Dur saat dicetak dalam Pergolakan Pemikiran Islam kehilangan sekian koma. Pengetik atau editor mungkin sengaja menghilangkan koma-koma. Kita tak perlu bersedih meski bingung dalih penghilangan koma.

Kita buktikan tanpa harus membuat tuntutan ralat. Di edisi buku (20023), kita membaca kalimat: “Bagi pembaca yang tidak mengenalnya secara pribadi sulit mendapatkan kesan utuh tentang diri Ahmad Wahib hanya dari bukunya ini.” Kita mengutip edisi pemuatan resensi di majalah Tempo, kalimat masih memiliki koma: “Bagi pembaca yang tidak mengenalnya secara pribadi, sulit mendapatkan kesan utuh tentang diri Ahmad Wahib hanya dari bukunya ini.” Satu koma hilang. Di kalimat-kalimat lanjutan, kita kehilangan koma-koma dalam edisi buku.

Gus Dur mungkin ikhlas. Kita sebagai pembaca malu bila menangis gara-gara penghilangan koma-koma. Pembaca dan penulis mengerti bahasa mungkin sebal. Kita menduga Gus Dur saat menulis resensi sadar menekan tombol koma. Editor di majalah Tempo mungkin membenarkan penggunaan koma atau turut memberesi sekian tanda baca dalam resensi. Pada pemuatan lagi dalam buku Pergoalakan Pemikiran Islam, koma-koma hilang tanpa ada keterangan dari pihak editor. Kita berharap koma-koma itu mengandung faedah sebelum hilang.

Pemuatan dalam buku memerlukan 4 halaman. Pemuatan resensi di Tempo cuma dua halaman, tak penuh. Halaman kedua berdampingan iklan Sakatonik memuat penjelasan: “Apakah anda merasa badan lemah, mudah lelah, kurang darah, tidur susah? Cobalah minum…” Iklan mungkin untuk orang-orang keranjingan membaca buku dan menulis resensi mengakibatkan lemah, lelah, dan susah.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (16): Hidayat al-Zaman min Ahadis Akhiri al-Zaman Karya Tuan Guru Muhammad Sya'rani Arif al-Banjari

Kita mengingat Gus Dur sebagai penulis resensi. Selama puluhan tahun, ia mungkin membaca ribuan buku, tak semua dibuatkan resensi berbentuk tulisan dan dimuat di majalah atau koran. Ia tetap peresensi meski omongan-omongan saja.

Kita mengandaikan saat ia memimpin NU membuat kebijakan besar agar digencarkan membaca buku dan meresensi buku. Kebijakan itu dipatuhi tentu menjadikan NU sebagai “ormas perbukuan”. NU dan buku itu menggerakkan sejarah meski terlambat. Gus Dur dalam ceramah-ceramah bisa menjelaskan tata cara membaca dan meresensi buku. Ia pun berhak membuat buku panduan meresensi buku. Pengandaian tak mewujud sampai sekarang.

Pembuat buku petunjuk meresensi justru Gus Muh (Muhidin M Dahlan). Konon, buku berjudul Inilah Resensi (2020) laris saat Gus Muh kurang rajin menulis resensi di koran dan majalah. Buku telanjur dipelajari orang-orang masih bergairah dengan buku. Buku sakti memberi godaan menulis resensi.

Sekian tahun sebelum buku terbit, kita mengetahui kaum muda NU rajin menulis resensi di Kompas, Tempo, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, dan lain-lain. Kita pernah mencatat kaum muda NU menggirangkan Indonesia melalui persembahan ratusan resensi. Mereka mungkin berguru dengan resensi-resensi Gus Dur meski sedikit. Mereka mungkin mematuhi kaidah-kaidah meresensi diajukan Gus Muh.

Kita kangen kaum muda NU sekian tahun lalu bernafsu membaca buku, meramaikan rubrik-rubrik resensi buku di koran dan majalah. Kini, mereka bertambah usia. Mereka mungkin masih membaca buku, belum tentu tetap meresensi buku. Mereka berdalih sibuk studi, riset, atau bekerja.

Baca juga:  Imajinasi Kiai Asyhari Marzuki tentang Perpustakaan

Kini, kita menantikan kaum muda NU berkomplot melakukan pendokumentasian resensi-resensi Gus Dur dan orang-orang NU pernah tebar pengaruh dalam media dan perbuakan di Indonesia, dari masa ke masa. Mereka bertugas membuat sejenis “petunjuk-petunjuk” meresensi buku. Hasil dokumentasi dan penjelasan-penjelasan bisa diterbitkan menjadi buku tanpa harus bersaing dengan buku susunan Gus Muh.

Usul sembrono boleh diajukan ke petinggi-petinggi NU: mengadakan kongres atau muktamar perbukuan NU. Acara itu memuat masalah NU dan resensi buku. Acara bisa memicu pendokumentasian lengkap dan “mengesahkan” orang-orang NU masuk daftar peresensi-peresensi ampuh di Indonesia sepanjang masa.

Resensi Gus Dur di majalah Tempo itu contoh. Resensi mengandung pujian dan kritik. Gus Dur membaca cermat, menghasilkan resensi pendek tapi berkhasiat. Kita membaca resensi dan khatam Pergolakan Pemikiran Islam boleh mengangguk. Gus Dur memang peresensi bisa menjadi panutan, tak cuma di kalangan NU. Ia meresensi dengan keinsafan dan ketangguhan.

Kita memberi catatan kecil. Resensi di majalah Tempo mungkin menghasilkan honor bisa digunakan berbelanja kebutuhan pokok keluarga atau dibawa ke toko buku. Rezeki dari meresensi mengandung cerita-cerita mengesankan meski kita belum mengetahui dari Gus Dur atau penceritaan pihak keluarga.

Di majalah Tempo, 19 September 1981, Gus Dur mendapat dua honor. Satu untuk resensi buku dan satu untuk kolom. Tempo sedang memanjakan Gus Dur: dua tulisan tampil dalam satu edisi. Kolom cuma tujuh paragraf itu berjudul “Serba Tunggal”. Gus Dur memang sakti, sanggup membuat dua tulisan dalam waktu hampir bersamaan. Kolom itu mengulas partai politik, bukan partai buku atau partai peresensi buku. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top