Soeharto itu bapak. Di keluarga, ia adalah bapak memiliki keteladanan. Ia pun bapak bagi Indonesia. Gelar pernah diributkan pada masa Orde Baru: “Bapak Pembangunan Nasional”. Dulu, Soeharto menampilkan diri sebagai bapak bijaksana. Ia sumber petuah untuk anak dan cucu.
Di buku berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) susunan G Dwipayana dan Ramadhan KH, ia gamblang memberi pengajaran keluarga “sempurna” di Indonesia: “Tidak ada di antara anak-anak saya yang saya ujo, yang saya manjakan.” Soeharto mendidik anak-anak bukan dengan kemanjaan. Pengakuan penting bila menilik masa lalu keluarga Soeharto di Kemusuk. Di Jalan Cendana, keluarga Soeharto terlalu berbeda dibandingkan masa kemelaratan dan prihatin. Pada suatu masa, kita malah terbiasakan memberi sebutan keluarga Cendana, keluarga sering menjadi sumber berita beragam hal. Soeharto dan Ibu Tien Soeharto menjadi tokoh utama.
Publik mengingat Orde Baru melalui program KB (Keluarga Berencana). Impian termuluk adalah mencipta keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Soeharto memiliki anak lebih dari dua. Jumlah belum bisa dijadikan masalah bagi kaum oposisi atau tukang kritik. Soeharto mengasuh dan mendidik anak-anak dengan anutan Jawa. Ia pun mengajarkan keindonesiaan, berharap anak-anak turut memikul tanggung jawab besar memajukan Indonesia. Misi suci pernah dimengerti publik tapi “berguguran” setelah mengetahui keluarga Cendana berpolitik dan berbisnis dicurigai melampaui batas.
Sekian tahun, keluarga-keluarga di seantero Indonesia ingin meniru keluarga Cendana. Keluarga itu bahagia, makmur, dan moncer. Soeharto mafhum makna keluarga dalam pembangunan nasional. Sekian kebijakan pun bertema keluarga. Kita membaca lagi pengakuan Soeharto: “Orang tua bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anaknya. Untuk mendidik mereka sedemikian rupa sehingga mereka juga menjadi orang-orang yang takwa, yang beriman kepada Tuhan. Pengertian saya, takwa, iman kepada Tuhan adalah selalu berbuat baik. Baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarga maupun sesamanya. Saya membekali keluarga saya dengan budi pekerti. Lantas dengan kepandaian. Saya lebih mementingkan hal itu daripada membekali mereka dengan harta benda.” Soeharto memang sosok bapak bijak. Pada masa berbeda, kalimat-kalimat itu mungkin meragukan.
Kita membandingkan dengan keluarga unik, memiliki ajaran dan ulah mungkin “oposisi” dari keluarga Cendana. Bukalah buku berjudul Oples: Opini Plesetan (1995) memuat cerita dan pendapat Emha Ainun Nadjib. Kita diajak bernostalgia keluarga masa 1970-an. Emha Ainun Nadjib bercerita: “Ayah saya memang terkenal royal hidupnya. Terlalu suka berfoya-foya dengan orang banyak. Misalnya, uang yang susah payah ia cari, malah dipakai untuk membangun gedung sekolah, membuka lapangan sepakbola, badminton, masjid, dan lain-lain. Belum lagi segala macam keperluan olah raga dan kesenian pemuda-pemudi dusun kami. Terlebih-lebih lagi, setiap datang saat peringatan hari besar Islam, ia mengumpulkan orang sekampung, disembelihkan kambing-kambing dan makan beramai-ramai.” Keluarga tanpa kelimpahan tapi melakukan aksi-aksi berbagi terlalu berisiko. Utang keluarga menumpuk. Ibu sering trauma bila kedatangan tamu, mengira itu penagih utang dari bank. Emha Ainun Nadjib mengenang secara emosional.
Tahun demi tahun berlalu, Emha Ainun Nadjib mengerti tentang keluarga belum tentu dikehendaki rezim Orde Baru. Ia membuat renungan: “Istri Ayah saya adalah masyarakat: istri yang amat sangat disayanginya. Adapun istrinya sendiri, yakni Ibu saya, menjadi Ibu kami bersama-sama. Ibu saya adalah Ibu kami semua, Ibu saudara-saudara saya, Ibu Ayah saya, Ibu penduduk sedesa.” Kesadaran hidup bersama di desa. Bapak adalah pengasih dan membuktikan tanggung jawab tapi berisiko besar. Bapak di desa berbeda dengan bapak tinggal di Jalan Cendana, Jakarta. Keluarga Emha Ainun Nadjib itu aneh, berani, dan mulia. Kita sempat mendapat cuilan cerita keluarga Emha Ainun Nadjib meski tak pernah dijadikan patokan dalam penentuan nasib keluarga-keluarga di Indonesia melalui beragam kebijakan pemerintah dan petuah bijak Soeharto.
Soeharto mengasihi keluarga. Pada saat masih berkuasa, anak-anak perlahan bertebaran di pelbagai bisnis. Seoharto membuktikan keampuhkan diksi “makmur dan sejahtera”. Ia mungkin seret mengartikan “adil dan bijaksana”. Di majalah Tempo, 4-10 Februari 2008, kita membaca nasib anak dan cucu setelah ditinggalkan Ibu Tien Soeharto dan Soeharto. Tempo itu edisi khusus berjudul “Setelah Dia Pergi”. Soeharto sedang bermasalah dengan KKN. Anak-anak Soeharto masuk daftar nama diributkan bertema duit. Kita perlahan membantah petuah bijak Soeharto masa lalu: tak ingin membekali anak-anak cuma harta benda. Situasi politik rumit 1997-1998 justru menguak perduitan di keluarga Cendana dan kroni.
Kasus demi kasus bermunculan bertema KKN tapi lekas menghilang dan terlupakan. Keluarga termaknai amburadul. Soeharto tak lagi berpidato mengutip ajaran-ajaran leluhur. Di Indonesia, keluarga seperti diceritakan Soeharto itu sia-sia dan mengandung muslihat. Sejarah 1998 meminta lagi pemaknaan ulang keluarga setelah kesemrawutan politik dan bisnis. Rezim Orde Baru membesarkan keluarga bisnis dan keluarga politik. Pada masa berbeda, dua jenis keluarga itu langgeng sampai sekarang. Di Tempo, pembaca tersadarkan oleh kritik disampaikan Pramoedya Ananta Toer saat membalas surat dari Soeharto, bertahun 1973. Pram agak berkhotbah: “Orang tua mendidik saya untuk mencintai kebenaran, keadilan dan keindahan, ilmu pengetahuan, dan nusa bangsa.” Diksi duit dan politik tak ada di situ.
Nasib keluarga Soeharto atau keluarga Cendana agak dibela oleh Retnowati Abdulgani-Knapp dalam buku berjudul Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (2007). Soeharto memiliki tugas-tugas besar, tak mungkin secara penuh mengasuh dan mendidik keluarga. Penjelasan: “Salah satu masalah yang kemudian dihadapinya adalah ia tidak punya cukup waktu untuk lebih sering berkumpul dengan anak-anaknya setelah menjadi presiden, sesuatu yang merupakan masalah yang biasa dihadapi oleh banyak orang tua ternama. Hal inilah yang mungkin memudahkan bagi para golongan oportunis untuk memberi pengaruh negatif pada anak-anaknya.” Soeharto dianggap tak mutlak bersalah berkaitan keluarga kebablasan dalam bisnis dan politik.
Selama puluhan tahun, Soeharto memicu dilema: keluarga dan Indonesia. Kita agak terjelaskan bila khatam buku Saya Sasaki Shiraishi berjudul Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (2001). Pembesaran dan pelestarian bapak bermotif politik dan duit tampak berlangsung pada masa Orde Baru. “Bapak”, sebutan terlalu menghasilkan keuntungan dan kutukan dalam babak-babak rezim Orde Baru. Bapak gampang “berdosa” setelah tabir politik dan bisnis tersingkap memamerkan korupsi-korupsi. Begitu.