Sedang Membaca
Harmoko Kampanye di Masjid Pesantren
Binhad Nurrohmat
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Darul Ulum, Jombang Jawa Timur

Harmoko Kampanye di Masjid Pesantren

Peristiwa 1965 telah berlalu dan rezim militer Soeharto telah menjalankan agenda-agenda nasional kekuasaannya. Stabilitas ekonomi dan politik menjadi agenda utama rezim Soeharto yang kebijakan-kebijakan resminya dikawal dengan gaya diktator militer.

Yang menentang atau mengkritik rezim Soeharto, secara halus atau keras, banyak yang direpresi atau dipenjarakan. Kebebasan pers dikontrol ketat dan beberapa koran dibredel paksa oleh aparat pemerintah. Kekuatan kalangan Islam dicurigai oleh pemerintah sebagai rival politik yang berbahaya. Namun yang mendukung rezim ini akan menerima sejumlah bantuan misalnya pembangunan infrastruktur dan bantuan-bantuan lainnya.

Pada masa-masa itulah Kiai muda dari Jawa Tengah, Pardi Asrori namanya, merantau ke Batanghari di pinggiran kota Metro, Lampung. Komunitas orang Jawa telah menghuni dan beranak-pinak di kota ini sejak masa kolonial Hindia-Belanda. Kedatangan Kiai Pardi Asrori di Batanghari disambut antusias oleh warga yang tak berbeda latar agama dan budayanya itu lantaran pengetahuan dan keterampilannya di bidang agama.

Pada 1970-an, pada masa rezim Soeharto, ada gelombang orang-orang dari Jawa dan Bali mengikuti program transmigrasi swakarsa ke daerah Lampung.

Tak sedikit di antara mereka, menurut cerita orang-orang tua, adalah bekas simpatisan organisasi komunis misalnya BTI dan Pemuda Rakyat. Mereka disebut sebagai “orang eks” dan anak-anak mereka konon sukar untuk menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah.

Logat “ngapak” Kiai Pardi Asrori sangat kental meski ia berbicara dalam bahasa Indonesia. Di selatan aliran dam lebar yang berseberangan dengan bangunan besar penggilingan padi, sebuah pondok pesantren ia dirikan. Kemudian di pesantren ini juga dibangun madrasah.

Baca juga:  Gelar dan Panggilan Gus

Fulan belajar di pesantren Kiai Pardi Asrori di awal usia belasan pada dasawarsa 1980. Rezim Soeharto, yang Fulan dengar dari santri senior yang aktif di organisasi mahasiswa, katanya makin represif dan otoriter pada masa itu.

Fulan tak paham istilah-istilah yang digunakan oleh para seniornya itu. Yang Fulan tahu saat itu, orang-orang Islam di kampungnya mendukung PPP dan sinis kepada partai politik pemerintah rezim Soeharto yaitu Golkar.

Bendera PPP berwarna hijau dan berlogo bintang sebagai simbol-simbol Islam. PPP bernomor kontestan 1 dalam pemilu. Sebelumnya berlogo Ka’bah. Partai politik ini lahir di masa rezim Soeharto dan merupakan leburan dan wadah aspirasi politik ormas maupun kelompok yang berorientasi Islam.

Hanya tiga partai politik yang diakui oleh pemerintah yang berkuasa saat itu. PPP, Golkar, PDI. Ketiga partai politik ini bersaing ketat dan masing-masing punya massa pendukung yang fanatik.

Orang pemerintahan atau anteknya mendukung Golkar yang berlogo pohon beringin dan bernomor kontestan 2 dalam pemilu. Warna kuning identik dengan Golkar.

Orang-orang abangan atau “Islam KTP” yang bukan pegawai pemerintah umumnya menjadi simpatisan PDI. Kepala banteng dan merah adalah logo dan warna yang menandai partai politik bernomor kontestan 3 dalam pemilu ini.

Tiba-tiba tersiar kabar bahwa Harmoko, pentolan Golkar pada masa itu, akan bersafari Ramadhan ke pesantrennya Kiai Pardi Asrori. Beberapa bulan sebelumnya, masjid pesantrennya Kiai Pardi Asrori dirombak total, diperlebar dan bangunannya dari beton yang kokoh. Muncul desas-desus dana pembangunannya dari pemerintah.

Baca juga:  Khalifah Bumi ala Santri Milenial

Fulan sudah kadung tak simpatik kepada Golkar. Keluarga dan warga kampungnya serta para santri senior yang menjadi aktivis di kampusnya telah membentuk persepsi dan pengetahuan yang buruk tentang Golkar. Harmoko adalah “anak emas” dan orang kepercayaan Soeharto pada masa itu.

Fulan tak antusias menyaksikan umbul-umbul Golkar berjajar dan berkibar di tepi jalan sejak dari gerbang depan hingga memasuki kompleks pesantren. Para santri dihimbau menyambut kehadiran Harmoko di masjid yang baru dirombak itu. Fulan tak berani membangkang.

Harmoko dan rombongan datang sebelum Maghrib. Dia berpeci hitam, berjaket kuning. Senyumnya lebar sumringah. Setelah berbuka, shalat maghrib, shalat Isya dan shalat tarawih, Harmoko berceramah di masjid di hadapan santri dan kiai.

Harmoko mengatakan saat itu bahwa bagi setiap warga yang telah punya hak pilih dalam pemilu, yang paling pertama kali harus mereka lakukan saat pemilu adalah mendatangi TPS (tempat pemungutan suara). Ceramah Harmoko itu sebenarnya berisi kampanye Golkar.

“Soal partai politik apa yang dicoblos, itu hanya urusan nomor 2,” ujar Harmoko di mimbar masjid. Telunjuk dan jari tengah tangan kanannya teracung seperti huruf “V”. Dalam pemilu, Golkar bernomor kontestan 2.

Kiai Pardi Asrori tak dikenal sebagai politikus. Ia bukan orang partai politik atau anggota parlemen. Penampilan sehari-hari beliau sangat salaf, sering menyebut nama Mbah Mangli di sela pengajian. Setiap hari, sejak dini hari hingga Subuh, beliau bermujahadah di masjid bersama para santrinya. Lalu pada bakda Subuh mengisi pengajian kitab kuning.

Kiai Pardi sering terlihat keluar dari kompleks pesantren dengan berboncengan sepeda motor di luar waktu pengajian pesantren. Lurah pondok selalu mengantarkan beliau dengan berkendara sepeda motor

Saat keluar dari pesantren dengan dibonceng sepeda motor, Kiai Pardi berpeci hitam, berjas, berpantalon dan bersepatu kulit hitam. Tas kulit persegi empat terjepit lengan kanannya. Yang pernah Fulan dengar, beliau keluar untuk bertemu pejabat atau “orang penting”. Entah siapa. Fulan tak tahu dan tak pernah ingin tahu.

Baca juga:  Gus Dur, Politik, dan Sepak Bola

Pesantrennya Kiai Pardi Asrori berkategori pesantren kecil. Dengan jumlah santri di bawah 500 dan tak semuanya bersekolah di madrasah milik pesantren, pendapatan dari mengelola semua ini sangat terbatas untuk pengembangan pesantren.

Yang bisa diandalkan sebagai sumber penopang yang besar bagi pengembangan pesantren adalah bantuan pejabat pemerintah, dan dengan kadar yang lebih kecil juga bisa bersumber dari bantuan pengusaha dan orangtua santri yang kaya

Ada pola umum pada masa itu bahwa para kiai menjadi jurkam atau anggota parlemen partai pemerintah, Golkar. Ini sebagai siasat meraih akses bantuan dari pemerintah meski risikonya menimbulkan sikap antipati, sinisme dan permusuhan dari kalangan pesantren sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top