Sedang Membaca
Mocoan Lontar Yusup, Tirakat Masyarakat Osing Banyuwangi
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Mocoan Lontar Yusup, Tirakat Masyarakat Osing Banyuwangi

Lestari karsaning Sukma/kalingan tan lastari karseki/yen tan Sukma anudeweku/kalingan kawula/tan kuwasa adarbe peribadinepun/yen tan Sukma andulura/ing kawula nireng uni

Kalimat berbahasa Jawa Kuno itu, merupakan penggalan dari Lontar Yusup Banyuwangi, sebuah kitab kuna yang tertulis dengan aksara Pegon dan berisi tentang kisah Nabi Yusuf. Bentuknya berupa puisi tradisional yang terikat dalam aturan yang disebut pupuh.

Kisah yang sarat dengan nilai-nilai dakwah keislaman itu sendiri, terurai dalam dua belas pupuh yang terbagi dalam empat jenis. Kasmaran diulang tiga kali, Durma dua kali, Sinom tiga kali serta Pangkur ditulis sampai empat kali.

Sebagaimana namanya, isi kitab tersebut berkisah tentang Nabi Yusuf, salah seorang dari 25 Nabi dan Rosul yang wajib diimani. Kisahnya pun seperti halnya kisah-kisah yang menceritakan putra Nabi Ya’qub tersebut. Mulai kelahirannya, dibuang ke sumur, dipenjara, hingga di kemudian hari menjadi seorang raja Mesir. Tak perlu kiranya ditulis ulang bagaimana kisah tersebut. Sila berselancar di internet jika penasaran.

Generasi milenial turut membaca Lontar dengan khusyuk

Meski demikian, tak semua pupuh mengisahkan tentang cucu Ibrahim tersebut. Ada pula kisah-kisah lainnya. Di pupuh kedua (Durma) ada kisah tentang hewan-hewan yang menjadi penghuni surga.

Sedangkan di pupuh kelima (Sinom) memuat kisah tentang Nabi Musa yang memaksakan diri hendak berbicara langsung dengan Allah SWT. Ada pula di pupuh kesebelas (Sinom) yang bertutur tentang Sayyidina Ustman yang dermawan.

Penamaan Lontar Yusup dengan imbuhan Banyuwangi tersebut, untuk menjadi penanda. Karena, lontar dengan judul yang sama juga ditemukan di berbagai tempat. Ada yang menyebutnya lontar seperti di Banyuwangi, ada juga yang menyebutnya serat.

Titik Pudjiastuti menyebutkan tak kurang dari seribu naskah lontar/serat Yusup yang tersebar di Jawa Timur, Lombok, Madura dan sejumlah daerah lainnya. Baik yang ditulis dengan aksara Hanacaraka maupun dengan Pegon (Serat Yusuf: Peran, Fungsi, dan Manfaatnya, Wedatama Widya Sastra, 2018, halaman V).

Akan tetapi, ada satu kekhasan dengan Lontar Yusup di Banyuwangi. Lontar Yusup tak hanya sekadar sebuah teks yang mati. Namun, menjadi satu ritual tradisi yang sarat dengan nilai-nilai spritual.

Baca juga:  KH. Hasan Abdillah, Generasi Pertama Pembimbing Jemaah Haji Indonesia

“Membacanya ini, adalah bagian dari laku tirakat,” demikian aku Adi Purwadi, seorang penggiat kebudayaan Osing yang menjadi pelestari Mocoan Lontar Yusup.

Sebagai bagian dari laku tirakat tersebut, pembacaan Lontar Yusup pun memiliki seperangkat aturan. “Sebelum selesai membaca pupuh kasmaran yang pertama, tak boleh seorang pun dari pembaca yang beranjak dari tempat duduknya. Keinginan untuk kencing pun harus ditahan,” terang Kang Pur – panggilan karib Adi Purwadi. Selain itu, juga harus dilengkapi dengan sejumlah sesajen dan suguhan tertentu.

 

Pembacaan Lontar Yusup, lazim dilakukan selepas waktu salat Isya. Hampir semalam suntuk bagi para pembaca untuk menembangkan 600-an bait atau 4.300-an larik kalimat puitis tersebut. Biasanya baru berakhir ketika menjelang Subuh.

Hal tersebut, dilakukan dalam momen-momen tertentu. Seperti halnya mengiringi prosesi adat Gelar Songo di Glagah atau Seblang di Bakungan. Bisa juga di prosesi slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan. Umpamanya, proses kelahiran, khitan dan juga perkawinan. Terkadang juga ada orang yang menjalankan nadzar untuk menanggap pembaca Lontar Yusup.

Sejak kapan tradisi mocoan Lontar Yusup di tengah masyarakat Osing ini berkembang?

Hingga saat ini masih belum terungkap. Besar dugaan, tradisi ini berkembang seiring proses islamisasi di bumi Blambangan yang berlangsung sejak abad 16. Meskipun sempat menimbulkan resistensi di kalangan elit, Islam terus berkembang secara perlahan. Puncaknya terjadi pada abad 18 seiring runtuhnya Blambangan yang merupakan kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa.

Naskah Lontar Yusup sendiri, konon berasal dari Cirebon yang ditulis pada 1555 tahun Jawa atau 1633 – 1634 M. Dari naskah tersebut kemudian disalin di pelbagai daerah. Tentu dengan kekhasannya masing-masing. Seperti halnya naskah di Banyuwangi.

Dari sisi tekstual yang berupa pengisahan, kosakata dan penulisan Pegonnya, naskah di Banyuwangi memiliki perbedaan. Pada tata cara pembacaan dan lagunya pun demikian.

Saat ini, naskah tertua yang tersimpan di tengah masyarakat Banyuwangi berangka tahun Jawa 1829 atau sekitar tahun 1890-an dalam kalender Masehi. Naskah tersebut disimpan oleh Kang Pur yang hingga saat ini masih terus dipergunakan dalam tiap pembacaan Lontar Yusuf.

Baca juga:  Tradisi "Pamali" Banjar dan Denyutnya yang Melemah

Abis menyurat padha malam Sabtu Wage jam pukul lima Subuh tanggal 11 bulan Puwasa tahun Jemawal 1829. Yang menyurat Carik Pak Janah,” demikian kolofon yang tertera di halaman belakang naskah. Carik atau sekretaris desa yang bernama Janah itu, berasal dari Cungking. Sebuah daerah berbasis masyarakat Osing yang berada di Kecamatan Giri, Banyuwangi.

*

Saat ini, pelestari tradisi Mocoan Lontar Yusup sudah sangat terbatas. Tak semua masyarakat Osing masih mentradisikannya. Di antara desa-desa yang masih mentradisikan tersebut, antara lain Kemiren, Olehsari, Bakungan, dan Cungking. Desa-desa tersebut, tersebar di dua kecamatan, Glagah dan Giri.

Dari sekian desa itu sendiri, Kemiren menjadi desa yang memiliki jumlah pembaca terbanyak. Aksara Pegon dan lagu yang cukup khas menjadikannya tak semua orang mudah menguasai teknik membacanya. Kang Pur yang merupakan pendiri Rumah Budaya Osing (RBO) melakukan upaya pelestarian Mocoan Lontar Yusup menginisiasi forum rutin di Kemiren. Kegiatan tersebut dilaksanakan tiap malam Rabu (Reboan) dan Kamis (Kamisan).

“Reboan” diikuti oleh kalangan bapak-bapak yang relatif lebih muda (berusia antara 30 hingga 40 tahun). Peserta aktifnya sekitar 25 orang. Sedangkan forum “Kamisan” diikuti oleh kalangan yang lebih sepuh. Awal mulanya ada 29 orang yang terlibat dalam kegiatan “Kamisan” tersebut. Sayangnya, saat ini hanya tersisa sembilan orang. Yang lain sudah pulang keharibaan sang Kholiq.

Semua pembaca tersebut, didominasi oleh laki-laki. Tak seorang perempuan pun yang kini bisa membaca sekaligus melantunkannya. “Satu-satunya yang bisa hanya Emak Onah. Tapi, beliau sudah meninggal sekitar sepuluh tahun silam,” kenang Purwadi.

*

Krisis pelaku Mocoan Lontar Yusup tersebut, menjadi perhatian Wiwin Indiarti. Salah seorang dosen di Universitas PGRI Banyuwangi (UNIBA) itu, bersama rekannya, Nur Hasibin, melakukan transliterasi dan penerjemahan teks pegon dari Lontar Yusup Banyuwangi secara keseluruhan. Dengan bantuan Program Kemitraan Masyarakat (PKM) yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi – Pendidikan Tinggi (DRPM KEMENRISTEK-DIKTI), hasil transliterasi dan penerjamahan itu, diterbitkan dalam bentuk buku.

Baca juga:  Filosofi Qing Ming, Nyadran dalam Tradisi Tionghoa

Buku yang diterbitkan oleh Elmatera itu, akan berkontribusi penting untuk pelestarian tradisi Mocoan Lontar Yusup. Teks pegon di naskah asli discan dengan cukup jelas. Lantas di-cropping pada masing-masing larik. Di bawah larik tersebut, dilengkapi dengan transliterasi ke huruf Latin dan disertai dengan terjemah ke dalam bahasa Indonesia.

“Para pemula dapat membaca dan mempelajarinya dengan cukup mudah,” ungkap perempuan yang juga berkegiatan di Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) PD Osing itu.

Tak hanya penerbitan buku Lontar Yusup Banyuwangi, Tim Pelaksana PKM UNIBA bekerjasama dg Persatuan Mocoan Lontar Yusup Kemiren dan BPAN juga menggelar pelatihan mocoan Lontar Yusup. Untuk keperluan tersebut disusun pula modul cara membaca dan menembangkan Lontar Yusup.

Pelatihan tersebut diikuti oleh 20 anak muda generasi millenial yang berasal dari pelbagai komunitas dan daerah di Banyuwangi. Secara bertahap sepanjang September mereka akan digembleng berbagai nada dan cengkok pembacaan Lontar Yusuf yang khas Banyuwangi.

“Kita targetkan dalam empat kali pertemuan, para peserta sudah bisa,” harap perempuan yang tergabung sebagai anggota aktif Himpunan Penerjemah Indonesia itu.

Upaya pelestarian tersebut, tak hanya bagian dari menguri-uri budaya dan tradisi. Namun, lebih dari itu. Pelestarian mocoan Lontar Yusup adalah bagian dari upaya menjaga nilai-nilai spritualitas masyarakat suku Osing. Karena di dalam Lontar Yusup tersebut, lebih dari kisah. Ada butiran hikmah yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana penggalan di atas yang berasal dari Pangkur X: 27;

Kehendak Tuhan itu abadi
kehendak manusia terhalang tiada kekal
jika Tuhan tiada menunjukkan jalan
maka terhalangilah kehendak manusia
tiada kuasa atas dirinya sendiri
jika Tuhan tiada menyertai
hambanya tersebut

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top