Dalam genealogi Islam Nusantara, KH. Maksum Lasem memiliki posisi penting. Ia menjadi simpul jaringan sekaligus gerakan ulama pesantren pada paruh pertama abad 20 selain nama KH. Hasyim Asy’ari di Jombang.
Denys Lombard dalam “Nusa Jawa: Silang Budaya” misalnya, membandingkan kedua ulama tersebut, yang santri-santrinya tersebar ke seantero Jawa serta berhasil mendirikan pesantren-pesantren baru yang memiliki pengaruh cukup penting di daerahnya masing-masing.
Sejumlah santri Kiai Maksum tersebut antara lain KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Abdul Hamid (Pasuruan), KH. Machrus Ali (Cirebon/Kediri), KH. Ali Maksum (Krapyak, Yogyakarta), KH. Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), KH. Abdullah Syafi’i hingga KH. Dailami Ahmad yang keduanya dari Banyuwangi. Tidak sedikit nama-nama santri tersebut di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh penting dalam percaturan sosial-keagamaan dan politik Nasional. Hal tersebut, menjadi penanda penting betapa besarnya pengaruhnya putra Mbah Ahmad tersebut.
Keterlibatannya di Nahdlatul Ulama (NU) juga semakin mengukuhkan pengaruh pendiri Pesantren Al-Hidayat tersebut. Ia menjadi salah seorang dari muasis NU. M. Luthfi Thomafi menyebutkan peran Kiai Maksum telah terlihat jauh sebelum NU berdiri. Ia terlibat sebagai guru pada forum pelatihan mubalig muda yang dirintis Kiai Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Ma’shum Lasem: The Authorized Biography of KH. Ma’shum Ahmad).
Hingga akhir hayatnya, Kiai Maksum tak pernah absen dalam acara-acara penting NU. Baik dalam forum muktamar maupun munas. Muktamar ke-25 NU di Surabaya pada 1971, menjadi momen terakhirnya. Meskipun harus dipapah oleh dua orang santrinya karena begitu sepuh, Kiai Maksum tetap antusias mengikuti dinamika muktamar. Kala itu, NU sedang dilanda konflik internal yang melibatkan KH. Idham Chalid dan Subhan Z.E.
Pengaruh Kiai Maksum yang demikian besar tersebut, tidak hanya didukung oleh kealimannya yang mendalam serta perjuangannya yang gigih. Namun, juga kesempatan hidupnya yang panjang, mencapai satu abad.
Pada 12 Ramadan 1392 H atau bertepatan dengan 20 Oktober 1972, ia menghembuskan napas terakhirnya.
*
Kejadian yang telah berlangsung 48 tahun silam tersebut (12 Ramadan 1392 – 12 Ramadan 1440) direkam dengan cukup detail oleh Sayyid Chaidar dalam bukunya, Manaqib Mbah Ma’shum (1972). Dalam buku yang diterbitkan oleh Menara Kudus itu, ia melukiskan hari-hari terakhir gurunya tersebut. Sebuah reportase langsung dari orang dalam.
Usia Kiai Maksum yang mencapai 102 tahun, memberikan dampak tersendiri bagi kesehatannya. Berbagai komplikasi dialami oleh eks anggota konstituante itu. Berbagai organ dalamnya tak berfungsi dengan baik.
Jumat, 14 Rabiul Akhir 1392 H/ 28 April 1972, Kiai Maksum jatuh sakit. Kondisinya ngedrop dan tak lagi bisa beraktifitas di luar. Meski demikian, ia tetap memaksakan diri untuk menjalankan ibadah sebagaimana biasanya.
Ia tetap salat Jumat, meski harus terbaring di dalam mobil yang terparkir di depan masjid. Ia tetap memimpin salat jamaah bersama para santrinya. Tak hanya salat wajib, bahkan salat hajat dan tahajud di tengah malam sekalipun.
Sebuah foto dalam buku Chaidar mengabadikan bagaimana kegigihan beribadah Kiai Maksum. Ia harus dibopong santrinya saat mengimami salat hajat di tengah malam. Tampak tangannya menyimpan mulutnya dengan sapu tangan karena terus menerus mengeluarkan air liur. (Foto 1).
Kondisi demikian berlangsung lebih dari empat bulan. Murid Kiai Kholil Bangkalan itu, hanya dirawat di kediamannya. Pada 17 September, atas usaha dari Subhan Z.E – salah satu tokoh elit NU, Kiai Maksum dirawat di RS Dr. Karyadi, Semarang. Ia langsung ditangani oleh Dokter Soetomo, Dokter Harjono dan Dokter Chamidun.
Kabar tentang Kiai Maksum yang diopname segera menyebar. Ratusan santri, kolega dan simpatisan menjenguk tak kenal waktu. Batasan waktu berkunjung tak dihiraukan. Sang pasien pun tak dapat istirahat dengan maksimal.
Pada hari kelima setelah dirawat di Rumah Sakit, Kiai Maksum dipindah ke kekediaman Subhan Z.E di Semarang. Semua peralatan medis juga diboyong. Harapannya, sang kiai bisa mendapat perawatan dengan intensif. Tak terganggu lagi dengan pengunjung yang tak terbendung. Namun, harapan tinggal harapan. Pengunjung kembali memadati rumah pribadi wakil ketua PBNU tersebut.
Hanya enam hari Kiai Maksum dirawat di kediaman Subhan ZE. Karena kondisinya tak kunjung membaik, pada 27 September, kembali dibawa ke Pesantren Al-Hidayat, Lasem. Sepertinya, ayahanda KH. Ali Maksum itu, ingin menikmati Ramadan di pesantrennya. Dua pekan dari kepindahannya, hilal Ramadan memang telah terbit.
Memasuki Ramadan, Kiai Maksum tetap menunaikan ibadah puasa. Tubuhnya yang ringkih tak ia pedulikan. Hingga tiba hari Jumat yang agung. 12 Ramadan 1392 H. Tubuhnya terbaring lemah. Namun wajahnya memancar cerah.
Bu Nyai Nuri, istri Kiai Maksum, segera mengumpulkan putra-putrinya. Sang kiai menyampaikan wasiatnya. “Kepada semua putra-putrinya dianjurkan untuk cinta dan mencintai fakir miskin. Untuk suka menolong mereka. Untuk suka meringankan penderitaan mereka. Suka menerima dan menghormat tetamu. Suka melanjutkan amaliah ayahanda, terutama di bidang pengajian dan pendidikan dan lain-lain perbuatan/ amal shaleh,” tulis Chaidar.
Wasiat itu disampaikan berulang kali. Bahkan, pada kesempatan terakhir, Kiai Maksum juga memerintahkan untuk membagi harta bendanya yang ada pada fakir miskin. Mulai uang hingga pakaiannya.
Usai berwasiat, Kiai Maksum minta tolong untuk berwudu. Setelah itu, melaksanakan salat Duha. Berulang kali. Berwudu pun sempat diulang beberapa kali. Dari lisannya, tak berhenti-henti melafalkan nama Tuhan Yang Maha Esa.
“Allah…Allah…Allah…” lisan Kiai Maksum tak kunjung berhenti. Perlahan tapi cukup jelas dan fasih. Tepat pukul 14.00, di hadapan putra-putrinya, Kiai Maksum menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang.
Seketika itu, berita duka segera tersebar luas. Ribuan orang pun memadati pesantren Lasem. wali murid, para alumni, santi, masyarakat, para tokoh berduyun-duyun datang bertakziah. Sampai keesokan harinya, gelombang pelayat tak kunjung berhenti. Ribuan orang memadati pesantren dan masjid jami Lasem.
*
Azal adalah rahasia ilahi. Tak ada yang mengetahui kapan usia akan berakhir. Namun, bagi hamba-hamba yang terpilih, kematian tak lagi menjadi rahasia. Seolah kabar yang mafhum, kematian seorang hamba terpilih juga telah tersampaikan. Bahkan, jauh-jauh hari sebelumnya. Tak terkecuali bagi Kiai Maksum. Dua tahun sebelumnya, kabar itu telah tersampaikan.
Saat mengunjungi pamannya, KH. Baidlawi, yang sedang sakratul maut, Kiai Maksum mengabarkan kematiannya sendiri. “Saya akan menyusul 2 tahun lagi andaikata hari ini paman wafat,” katanya. Orang-orang yang di sana pun terkejut kala mendengarnya.
Benar kiranya, prediksi Kiai Maksum tersebut. Kiai Baidlawi wafat pada 12 Syawal 1390 H/ 11 Desember 1970. Bandingkan dengan wafatnya Kiai Maksum pada 12 Ramadan 1392 H/ 20 Oktober 1972. Hampir tepat 2 tahun lamanya.
Ila ruhi KH. Maksum Ahmad, alfatihah