Sedang Membaca
Kisah Mengaji kepada Mbah Moen: Ditipu Calo Kitab pun Gembira
Midadwathief
Penulis Kolom

Lahir di Banyuwangi. Santri PP. Alfalah Ploso Kediri, PP. Queen Alfalah Kediri, PP. Darussholah Jember dan PP. Bustanul Makmur Banyuwangi. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, mengambil konsentrasi Akidah dan Filsafat Islam. Aktif menulis puisi, cerpen dan esai sejak SMA. Berbagai tulisannya pernah dimuat di berbagai media, baik cetak maupun online.

Kisah Mengaji kepada Mbah Moen: Ditipu Calo Kitab pun Gembira

Bulan Ramadan di tahun 2012 tidak akan pernah saya lupakan. Di tahun itu, saya bersama dua kawan, memutuskan untuk mengikuti balagh ramadan di Sarang, Rembang. Meski kami menempati pondok MIS, namun kami bertiga mengaji di PP. Al-Anwar asuhan KH. Maimoen Zubair. Ada banyak hal yang saya catat di dalam memori sebagai kenangan istimewa bersama Syaikhina Mbah Maimoen.

Kesan pertama bertatap muka dengan beliau adalah kebersahajaan. Untuk kiai selevel beliau, ndalem beliau tentu amat kecil. Ndalem itu bahkan tidak mampu menampung ratusan tamu beliau setiap harinya. Dengan segala kebesarannya, mudah saja sebenarnya bagi Mbah Moen untuk memperoleh kemewahan dan hidup dengan glamor. Namun beliau memilih menjadi sosok sederhana.

Entah mengapa, Mbah Moen memiliki wajah yang amat meneduhkan saat dipandang. Bagi saya, wajah Mbah Moen adalah representasi dari atsari as-sujuud yang sebenarnya. Saya betah sekali memandang beliau. Mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Salah satu karomah Mbah Maimoen yang amat luar biasa bagi saya adalah stamina dan semangatnya dalam mengaji. Saat itu, Mbah Maimoen membacakan kitab Qashashul Quran. Tebalnya kurang lebih 300 halaman. Selama balagh ramadhan, Mbah Maimoen membacakan kitab itu di hadapan ribuan santri dengan durasi kurang lebih 10 jam per sehari semalam. Ingat juga, usia beliau saat itu sudah melebihi 80 tahun. Saya kira, menyoal daya tahan mengaji, Mbah Maimoen sulit ditandingi.

Saya mengalami kejadian unik saat mengaji Qashashul Quran kepada Mbah Moen. Antusiasme besar para santri terhadap pengajian Mbah Moen rupanya membuat kitab ini sulit diperoleh. Saya tiba di Sarang dua hari sebelum Ramadhan. Begitu mengetahui Mbah Moen akan mbalah Qashashul Quran, saya bergegas menyatroni toko-toko kitab yang berjejer di sepanjang jalan pantura yang memang menjadi etalase banyak pondok pesantren di Sarang. Ludes. Saya bersama dua orang teman kehabisan kitab.

Baca juga:  Bagaimana Sebenarnya Kerukunan Dalam Islam

Suatu waktu saya mendatangi salah satu took kitab. Konon hari itu ada seribu stok kitab Qashashul Quran yang baru didatangkan. Lagi-lagi, saya belum beruntung. Padahal saya datang ke toko itu setengah jam lebih lambat dari jadwal datangnya kitab. Seribu kitab, dalam setengah jam sudah sold out. Luar biasa.

Akhirnya kami bertiga terpaksa mengikuti iftitah pengajian Qashashul Quran dengan cara mem-fotocopy beberapa lembar awal. Bagi kami, hari-hari berikutnya adalah hari perburuan kitab. Kami mendapat kabar gembira: nanti malam tersedia Qashahul Quran di salah satu toko di PP. Al Anwar. Kali ini kami bergegas, tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Sebelum toko dibuka, kami sudah tiba di lokasi.

Namun ternyata bukan hanya kami bertiga yang sedang memburu kitab tersebut. Ada ratusan orang yang sudah memasang kuda-kuda di depan toko untuk segera mendapatkan kitab. Toko kitab itu segera diserbu oleh orang-orang selepas dibuka. Saya terharu menyaksikan orang-orang memperebutkan kitab seperti orang berebut sembako subsidi murah meriah. Senggolan dan gesekan kecil terpaksa dilancarkan. Naas, kami bertiga belum beruntung. Toko itu segera ditutup kembali setelah Qashashul Quran habis.

Rupanya kelangkaan kitab ini dimanfaatkan oleh seseorang. Saya melihat ada seorang bapak-bapak tua berpakaian serba putih mondar-mandir mendatangi kerumunan kecil orang-orang sebelum akhirnya ia mendekati kami bertiga dan menawarkan sesuatu: Sedang mencari kitab Qashashul Quran? Segera kami iyakan dan tegaskan bahwa kami butuh tiga kitab.

Baca juga:  Pesantren di Mata Rendra

Secepat kilat, orang tersebut berlalu dari pandangan dan kembali lagi selang beberapa menit; menenteng Qashashul Quran. Namun hanya sebiji. Setelah ditanya, ia mematok harga lima puluh ribu. Padahal di toko-toko, harga kitab itu hanya empat puluh ribu saja. Saya tidak mempermasalahkan harga, tapi saya justru takjub karena baru mengetahui fenomena calo kitab. Teman saya segera membayarkan uangnya. Saya katakan kepada tukang calo itu bahwa kami masih butuh dua kitab lagi. Ia mengangguk, berlalu.

Namun ternyata ia tak pernah kembali membawakan kitab bagi saya dan teman saya seorang lagi. Akhirnya, daripada semakin jauh tertinggal dari pengajian, saya dan seorang teman yang tidak kebagian kitab mengakalinya dengan cara mem-fotocopy kitab tersebut secara utuh: darurat. Kejadian itu menjadi bukti bahwa Mbah Moen adalah magnet.

Selain kecakapan ilmunya yang sangat luas, Mbah Moen, yang saya ketahui secara langsung, adalah orang yang memiliki mahabbah amat besar terhadap Nabi Muhammad saw dan keluarganya. Sepanjang mengaji kepada beliau, saya memperhatikan bahwa setiap Mbah Moen membaca kitab dan sampai pada lafadz-lafadz seperti ‘Muhammad’, ‘Rasulullah’ dan sejenisnya, beliau selalu berhenti sejenak. Sesekali beliau menunduk dan terisak. Tentu ini adalah alamat rindu Mbah Moen terhadap kanjeng Nabi.

Baca juga:  Salim Nabhan, Kitab, dan Kertas Eropa

Mbah Moen, sebagaimana banyak kiai dan orang cerdas lainnya, suka bergurau. Saya ingat sekali saat beliau dalam suatu kesempatan ngendikan: Ad-diinu ‘aqlun, walaa diina liman laa ‘aqla lahu (Agama adalah rasionalitas, tanpa rasio tidak ada agama). Lalu beliau mencontohkan: Nabi Muhammad Saw kalau makan menggunakan tiga jari. Itu yang dimakan beliau adalah roti dan kurma. Jadi tepat. Lha kalau kita yang makannya bubur ini ikut-ikutan pakai tiga jari, ya mrucut (lepas dan berceceran). Gelak tawa pun pecah.

Mbah Moen sudah mangkat mendahului kita, lebih dari 40 haru. Beliau wafat dengan cara yang indah, di tempat yang indah, dan di hari yang “dipilihnya”. Tentu ada banyak orang yang merasa kehilangan sosok beliau. Saya yang hanya berinteraksi langsung selama kurang lebih 17 hari saja sangat terpukul mendengar berita wafatnya beliau. Entah sebesar apa kehilangan yang dirasakan oleh orang-orang terdekat Mbah Moen: anak cucu, keluarga, dan santri Al-Anwar.

Bagi saya, Mbah Moen adalah rembulan yang menyejukkan bagi masyarakat pantura di Sarang sana. Boleh jadi kini ia terbenam di Ma’la. Tapi saya percaya, cahaya dan warisan kebaikannya senantiasa menyala, tidak hanya di Sarang dan pantura saja, melainkan juga bagi Indonesia dan Dunia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top