Sedang Membaca
Kopi Hitam dan Islam Indonesia

Hamba yang lemah, anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), bergiat di Lingkar Filologi Ciputat (LFC), khadim di Ma’had Aly Ashiddiqiyah Jakarta, dan Mahasiswa Filologi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Kopi Hitam dan Islam Indonesia

Kubro Siswo Kembali Meliuk-liuk di Maulid Nabi

Pada suatu siang saat cuaca gerimis, saya mampir ke sebuah warung kopi pingir jalan. Dengan spontan saya memesan ‘kopi hitam’ kepada si tukang kopi. Tak lama kemudian, ia datang dengan membawa secangkir kopi panas. Ketika menyeruput, saya rada heran dan kaget. Mengapa rasanya teramat pahit?

Barulah saya sadar ketika pemesan lain memesan kopi tanpa imbuhan hitam. Ternyata di daerah tersebut, kopi hitam diartikan sebagai kopi pahit dengan takaran gula minimalis, atau bahkan tanpa gula. Sedangkan kopi saja, dimaknai kopi biasa pada umumnya, atau kopi saset yang diseduh seperti marak dijual.

Sebagaimana kopi dengan aneka ragam label kata setelahnya, begitu pun ‘Islam’ dewasa ini. Ada yang menyebutnya Islam kiri, Islam kanan, Islam tradisionalis, Islam moderat, dan sebagainya. Belum lagi tudingan-tudingan sepihak tentang label Islam dari Barat. Mereka menuduh ada Islam radikal, Islam teroris, dan lainnya. Miris.

Memang ada yang mengklaim bahwa Islam Indonesia sebagai ‘Islam periferial’ atau Islam pinggiran, namun itu hanya tuduhan orientaslis belaka. Islam periferial dinilai sebagai Islam yang jauh dari bentuk ‘asli’ yang lahir dan berkembang di Arabia. Atau dengan ungkapan lain, Islam di Indonesia bukanlah Islam yang sesungguhnya sebagaimana berkembang dan ditemukan di Timur Tengah.

Baca juga:  Konsep Titik Temu dalam Budaya Pela-Gandong di Maluku

Dalam pandangan orientalis, Islam di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara adalah Islam yang berkembang dengan sendirinya bercampur baur dengan dan didominasi oleh budaya dan sistem kepercayaan lokal yang tak jarang tidak sesuai dengan jaran Islam. Adapun inti dari pandangan ini ialah bahwa ‘Islam sebenarnya’ hanyalah Islam Timur Tengah, atau lebih sempit lagi, Islam Arab, bukan Islam di Asia Tenggara atau di wilayah-wilayah lain seperti Asia Selatan atau Afrika.

Pandangan di atas digaungkan oleh Winstedt, London, dan Van Leur. Tentu saja pendapat kontroversial ini mendapat sorotan dan tantangan keras dari beberapa sarjana seperti Naquib Alatas, Hussein Alatas, dan Nikki Keddie.

Yang menarik untuk dicatat, Azyumardi Azra dalam kata pengantar bukunya “Renaisans Islam Asia Tenggara” menuturkan, sejak beberapa tahun terakhir sejumlah pengamat dunia Islam atau Islamicits di luar negeri memberikan analisis dan komentar positif tentang perkembangan Islam di Indonesia.

Azra juga menceritakan, pada pertengahan dekade 1980, Fazlur Rahman setelah berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri suatu seminar dan ia mengatakan optimismenya terhadap perkembangan Islam di kawasan ini.  Fazlur memprediksi ‘kebangkitan Islam’ terjadi bukan di kawasan lain, tetapi di Asia Tenggara. Hal yag sama juga dilontarkan oleh John Esposito dan Bruce Lawrence.

Baca juga:  Manuskrip Rumi di Jawa

Optimisme ini setidaknya didasari alasan bahwa Muslim Asia Tenggara, khususnya Indonesia, mengambil jalan ‘Islam wasathan’. Tarmizi Taher mendefinisikannya sebagai umat moderat dan berorientasi kualitas. Bahkan, umatan wasathan telah diadopsi menjadi satu paradigma dalam membangun citra baru Islam dan dunia Muslim. Pembentukan dan perkembangannya akan dipimpin para pemimpin dan sarjana Muslim dewasa ini dan masa depan.

Berbicara tengan corak Islam Indonesia, saya teringat salah satu ceramah KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus). Kiai sekaligus budaywan ini mengatakan, masyarakat Muslim Indonesia mengenal istilah halalbihalal. Memang itu berbahasa Arab, akan tetapi di Arab sendiri tidak mengenalnya. Halalbihalal hanya ada di Indonesia, ia merupakan sebuah tradisi saling bermaaf-maafan ketika atau setelah hari raya Idulfitri di setiap bulan Syawal.

Tentunya tak hanya halalbihalal, masih banyak lagi tradisi Islam Indonesia yang hingga hari ini masih kental dan akrab di tengah masyarakat. Sebut saja mitoni, kenduri, bancaan, asyraqalan, manaqiban, dan lain-lain. Semua itu tak lain bermuara dari ajaran Walisanga di tanah Jawa. Hal ini jugalah yang menjadi distingsi Islam di Indonesia dengan wilayah lain.

Sebagai penutup, perlu kiranya kita mengangkat kembali apa yang pernah dikatakan Tarmizi Taher, Islam itu satu sedangkan umatnya beragam. Maka, sebagaimana Islam yang semuanya indah, semua kopi pun nikmat terlepas apa pun kata sifat setelahnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top