Sedang Membaca
Mengenal Imam Al-Ghazali sebagai Mufasir

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Mengenal Imam Al-Ghazali sebagai Mufasir

  • Alquran ibarat intan permata yang memancarkan cahaya dari arah mana saja dipandang.

Semenjak Gus Ulil Abshar Abdalla membaca kitab Ihya Ulumiddin secara online di akun Facebook pribadinya, maka sejak itu juga nama pengarangnya, Abu Hamid al-Ghazali, tidak hanya menjadi percakapan para santri dan muslim tradisional tetapi juga dipercakapkan masyarakat sosialita dan muslim kota (tanpa mengesamping para sesepuh yang terlebih dahulu mengenalkan Imam al-Ghazali)

Al-Ghazali, begitu ia disebut, memang begitu menarik karena ia adalah ulama yang tidak hanya menguasai satu ilmu tetapi juga beberapa ilmu, sebagaimana as-Suyuthi atau pendahulunya, asy-Syafi’i, dll. Dan ilmu-ilmu itu ia kuasai begitu mendalam (mutabahhir).

Dalam literatur keislaman, al-Ghazali juga dikenal dengan sebutan Hujjah al-Islam, sebuah gelar prestisius yang ia miliki dan tidak dimiliki orang lain. Menurut sebuah keterangan, ia mendapatkan gelar ini karena jasanya membentengi ajaran Islam dari dua serangan sekaligus.

Pertama, serangan internal, yaitu merebaknya ajaran Batiniyah yang mencoba merusak ajaran Islam dari dalam.

Kedua, serangan eksternal, yaitu ajaran filsafat Yunani yang pada waktu itu begitu gencar-gencarnya disusupkan ke dalam islam.

Berkat al-Ghazali kedua serangan itu tak mampu menembus dan merobohkan Islam.

Kembali pada bahasan bahwa al-Ghazali adalah ulama yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Untuk bidang mantik dan ilmu logika misalnya, ia menulis Mi’yar al-Ilm. Bahkan, saking pentingnya ilmu mantik ini, al-Ghazali pernah berkata:

“Siapa yang tidak mengerti ilmu mantik, maka ilmunya tidak kukuh”.

Sementara untuk ilmu fikih, al-Ghazali menulis, al-Basith, al-Wasith dan al-Wajiz yang merupakan resume/ringkasan terhadap kitab Nihayah al-Mathlab fi dirayah al-Madzhab karya gurunya, al-Imam al-Haramain.

Fikih tidak akan sempurna tanpa adanya usul fikih. Karena keduanya adalah satu kesatuan. Fikih adalah produk sementara usul fikih adalah proses, maka al-Ghazali juga demikian. Ia juga memiliki karya di bidang usul fikih yang cukup beken, di antaranya, “al-Mustasyfa min ilm al-Usul”, dan al-Mankhul min ilm al-Usul”.   

Ia juga seorang filsuf Islam yang membentengi ajaran Islam dari filsafat barat. Al-Ghazali menulis Maqasid al-Falasifah, dan tahafuth al-Falasifah, sebagai kritik keras kepada para filsuf. Sebelum mendalami filsafat, al-Ghazali memiliki pendasaran dalam Ilmu Kalam atau akidah. Ia kemudian menulis al-Iqtishad fi al-I’tiqad.

Baca juga:  Pesimisme Tohari: Hidup cuma Menunda Kekalahan

Bagaimana dengan tasawuf atau mistisime? Tidak usah ditanya lagi, dalam bidang ini, ia bisa disebut ahlinya ahli, “core of the core”. Karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin, menjadi bukti besar bahwa ia adalah seorang ahli tasawuf.

Dalam pandangan Abdul Kadir Riyadi, pada masa inilah tasawuf menjadi begitu matang dengan pendasaran-pendasaran yang dibangun oleh al-Ghazali.

Dan masih banyak lagi disiplin ilmu yang dikuasai al-Ghazali secara mendalam yang bisa dibaca dalam beberapa karya yang ia berhasil tulis. Sekadar menyebut nama atas karya-karyanya, seperti al-Radd al-Jamil liilahiyati Isa bi al-Sharih al-Injil, al-Munqidz min al-Dzalal, Mizan al-Amal, al-Qistas al-Mustaqim, al-Arbain fi usul al-Din, Faishal al-Tafriqah bayna al-Islam wa al-Zindiqah, al-Risalah al-Qudsiyah, Minhaj al-al-Abidin, Kimiya al-Saadah dan lain sebagainya.

Lantas, bagaimana al-Ghazali dengan ilmu tafsir? Apakah ia memiliki karya dalam bidang ini?

Selama ini, dalam pengajian-pengajian atau forum seminar, hampir bisa dikatakan tidak ada pemateri yang menyebut al-Ghazali sebagai mufassir atau ahli tafsir. Pertanyaan ini terjawab dengan penelitian yang dilakukan Muhammad al-Rayhani. Dalam penelitiannya, ia menyebut bahwa al-Ghazali memiliki sebuah kitab dalam bidang tafsir Alquran.

Ar-Rayhani bahkan dalam titik kesimpulan, semua ulama sepakat bahwa kitab ini adalah milik dan karya al-Ghazali, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam judulnya. Ada yang menamainya, “Tafsir Yaqut al-Ta’wil”, terdiri 40 jilid, judu ini ditetapkan oleh Muhammad al-Jami dalam bukunya “Nafahat al-Uns”. Ada yang menyebut, “Yaqut al-Ta’wil fi tafsir al-Tanzil”, terdiri 40 jilid. Judul ini adalah kesimpulan dalam Muhammad al-Idrus dalam “Ta’rif al-Ahya’ bi fadhail al-Ihya”.

Dan nama yang terakhir diberikan oleh Sayyid Murtadho al-Zabidi dalam “Ithaf al-Sadah al-Muttaqin” berjudul “Tafsir al-Quran al-Adhim”

Penelitian yang dilakukan ar-Rayhani ini melibatkan hampir 50 karya al-Ghazali dalam berbagai disiplin keilmuan. Dalam temuan ar-Rayhani, metode atau corak penafsiran al-Ghazali terhadap Alquran setidaknya ada tiga, pertama tafsir Alquran dengan Alquran. Kedua, tafsir Alquran dengan hadis nabi. Ketiga, tafsir Alquran dengan perkataan sahabat dan tabi’in (bi aqwal al-Shahabah wa al-Tabi’in).

Baca juga:  Ibu Gedong dan Gus Dur: Persahabatan Hindu dan Islam

Melihat corak di atas, bisa dikatakan bahwa al-Ghazali lebih memilih metode tafsir bi al-Ma’tsur ketimbang tafsir bi al-Ra’yi. Sekadar selingan, dalam ilmu tafsir adalah istilah tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi. Yang dimaksud istilah pertama adalah menafsiri Alquran dengan Alquran, hadis nabi baik secara riwayah dan dirayah. Dalam metode tafsir ini, logika dan akal tidak begitu banyak dilibatkan. Sementara istilah kedua adalah istilah untuk metode tafsir yang lebih menitikberatkan kepada akal dan logika.

Apakah dalam model tafsir bir-ra’yi mufasir hanya berpegang kepada akal? Tentu tidak!

Dalam corak tafsir ini memang akal lebih mencolok, tetapi tidak serta merta melupakan syarat penafsiran yang lain seperti, pemahamannya dihasilkan dari renungan yang mendalam dibantu dengan kaidah-kaidah kebahasaan. Dan syarat yang sangat penting; hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan apa-apa yang telah datang dari nabi Muhammad saw. Dan para sahabat. 

Dalam merespons dua model ini, ulama berbeda pendapat. Kebanyakan menerima model penafsiran pertama dan menolak (sekaligus mencaci) pendapat kedua.

Menurut mereka, Alquran tidak boleh ditafsirkan dengan akal atau logika. Karena bisa sesat dan menyesatkan. Lebih dari itu, ada sabda nabi, ujar mereka:

مَنْ فَسَّرَ اْلقُرْأَنَ بِرَاْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa menafsiri Alquran dengan akalnya, maka ia bersiaplah menempati sebuah tempat khusus di Neraka.”

Al-Ghazali memiliki sikap berbeda. Walau ia dalam tafsirnya lebih bercorak bi al-Ma’tsur, tetapi tidak serta merta menolak tafsir bir-ra’yi. Ia menerima model tafsir dengan corak ini. Ia berkata dalam Ihya’ Ulumiddin:

فَاعْلَمْ أَنْ مَنْ زَعَمَ أَنْ لَا مَعْنَى لِلْقُرآنِ إَلاَّ مَا تَرْجَمَهُ ظاَهِرُ التَّفْسِيْرِ فَهُوَ مُخْبِرٌ عَنْ حَدِّ نَفْسِهِ وَهُوَ مُصِيْبٌ فِيْ الإِخْبَارِ عَنْ نَفْسِهِ وَلَكِنَّهُ مُخطِئٌ فِي اْلحُكْمِ بِرَدِّ اْلخَلْقِ كَاَّفةً إَلَى دَرَجَتِهِ الَّتِي هي حَدُّهُ وَمَحَطُّهُ بَلْ الأَخْبَارِ وَالآثارِ تَدُلُّ عَلى أَنَّ فِي مَعَانِي اْلقُرْآنِ مُتَّسِعًا لِأرْبَابِ اْلفَهْمِ

Baca juga:  Imam Bukhari dan Perawi Hadis Yang Membohongi Kuda

“Siapa saja yang menduga bahwa tidak ada makna bagi Alquran kecuali yang terdapat dalam teks zahirnya, maka ia sedang menceritakan kualitas dirinya ke publik luas. Ia benar tentang dirinya tetapi ia salah dengan mengembalikan ketentuan semua orang dengan tingkatannya dan kualitasnya. Bahkan dalam hadis dan beberapa keterangan disebutkan bahwa makna yang terdapat dalam Alquran begitu luas, tak terbatas, yang hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki pemahaman yang mendalam.”  

Dalam teks di atas, al-Ghazali hendak mengatakan bahwa makna Alquran itu luas, tidak cukup dipahami secara sederhana. Bahkan simpilfikasi terhadap sebuah tafsir adalah sebuah tanda bahwa kualitas dirinya lemah. Pendapat ini dikuatkan dengan perkataan ِAbu Darda’. Ia berkata:

لاَ يَفْقَهُ الرَّجُلُ حَتَّى يَجْعَلَ لِلْقُرآنِ وُجُوْهاً

“Seseorang tidak dianggap cerdas dan ahli kecuali ia menjadikan Alquran berbagai perspektif.”

Bagi al-Ghazali, tafsir yang dilarang adalah tafsir yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 

Pertama, tafsir yang menggunakan hawa nafsu. Misalnya, Alquran dijadikan dalih untuk membenarkan perilaku dan tindakannya. 

Kedua, menafsirkan Alquran tanpa dilengkapi dengan ilmu-ilmu keislaman yang memadai. Ia menafsirkan Alquran secara buru-buru dan melihat teks zahir sebuah ayat Alquran. kedua model inilah yang menurut al-Ghazali dilarang.  

Oleh karena itu, ia memberi prasyarat yang cukup ketat bagi mereka yang hendak menafsirkan Alquran. Di antaranya; menguasai secara mendalam ilmu gramatika bahasa arab seperti Nahwu-Sarraf, menguasai usul fikih secara komprehensif. Dan beberapa syarat lain yang memang niscaya dan dibutuhkan dalam penafsiran Alquran.  

Alquran memang begitu menarik untuk dibaca dan dikaji, apalagi membacanya ibadah. Lebih-lebih pada kesempatan bulan Ramadan seperti saat ini. Ramadan menurut beberapa keterangan ditengarai sebagai bulan di mana Alquran diturunkan. tentang keindahan Alquran ini, Muhammad Abdullah Darraz berkata,

“Alquran ibarat intan permata yang memancarkan cahaya dari arah mana saja dipandang.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top