Sedang Membaca
Mengenal Teologi Negatif Ibn ‘Arabi (2)
Ahmad Reza
Penulis Kolom

Mahasiswa al-Azhar sedang menempuh S1 jurusan Tafsir.

Mengenal Teologi Negatif Ibn ‘Arabi (2)

Di tulisan kedua ini akan menjelaskan bagaimana upaya memahami istilah yang bagi sebagian kalangan baru, terkesan asing—bahkan lebih radikalnya lagi, terkesan negatif—untuk itu ada baiknya menyodorkan beberapa pandangan-pandangan dari para pengkaji tokoh Ibn ‘Arabi ini.

Diantaranya seperti Denys Turner—seorang guru besar teologi dari Birmingham Universiti. Di dalam bukunya yang terkenal “The darkness of God” dia lebih memilih sikap diam dengan tidak mendefinisikan teologi negatif. Hal ini sesuai dengan konotasi namanya yang negatif.

Ada juga Mary-Jane Rubestein dengan lebih eksplisit menyatakan bahwa teologi negatif hanya bisa didefinisikan dengan ungkapan yang juga negatif.

Problem krusialnya adalah memang tidak ada kata sepakat tentang definisi “positif” di istilah itu, ini juga yang menjadikan Derrida secara tersirat mengatakan tidak ada pengertian tunggal tentang teologi negatif, maka setiap orang berhak memahami istilah ini sesuai dengan latar belakang dan sudut pandang yang berbeda. Kendati demikian, jika ditelaah secara mendalam tetap masih ada isyarat yang dapat ditarik dari itu semua tadi, yaitu sebuah Teologi dengan pendekatan ketuhanan yang memilih mengungkapkan apapun tentang tuhan dengan cara negatif.

Jika teologi -yang yang selama ini ada- mengungkapkan statemen tentang tuhan dengan positif, seperti “Tuhan dapat diketahui”, “Tuhan ada”, “Tuhan dapat dipikirkan”, maka teologi negatif sebaliknya, ia memilih mengungkapkan Tuhan dengan statemen negatif “Tuhan tidak dapat diketahui”, “Tuhan tidak dapat terpikirkan” -atau lebih radikal- memilih tidak mengungkapkanya.

Dari sini, ada dua ciri yang melekat dalam ruang-ruang teologi negatif yaitu sayingnot mengatakan tidak ada. Dan notsaying tidak mengatakan apa-apa.

Maka jika teologi -selama ini- menuntut penganutnya untuk mengatakan “Tuhan itu ada”, teologi ini tidak menuntut demikian, bahkan sebaliknya, mengatakan “Tuhan itu tidak ada”.

Pada dasarnya ketika mengatakan “Tuhan itu tidak ada” itu bukan berarti secara absolut menafikan tuhan, bukan seperti itu. Tetapi sedang menyiratkan bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengetahui tentang keberadaanya; bahwa keberadaanya adalah misteri.

Baca juga:  Syekh Nawawi Al-Bantani, Pendidik Ratusan Ulama di Nusantara

Sedangkan ciri yang kedua yaitu not-saying memilih tidak mengatakan apa-apa tentang Tuhan, jika yang pertama masih memungkinkan membicarakan tentang tuhan, meskipun dengan bahasa yang serba negatif.

Dari sini pula nampaknya pendekatan pola-pola tadi -seperti kata Karen Armstrong dan Yves Congar- tidak bisa dijadikan formula untuk pendefinisian secara komprenhensif, lebih lanjut mereka mengatakan pola-pola tadi hanyalah gaya ungkap yang berbeda dari teologi yang sudah ada, yang telah mentradisi. Jika teologi yang sudah ada mengakui tuhan dari sisi positifnya -sehingga disebut via afirmativa– teologi ini mengamini tuhan dari sisi negatifnya -sehingga disebut via negativa– atau jika teologi yang sudah ada mengakui tuhan dengan “membicaraka-Nya” sehingga lazim disebut teologi katafatik, teologi ini mengakui tuhan dengan cara “Diam” sehingga lazim disebut teologi apofatik.

Namun tawaran yang lebih mendasar bukanlah tentang sekedar gaya ungkap, tapi lebih dari pada itu. Teologi ini menawarkan suatu diskursus yang di dalamnya mengandung dua gagasan penting, untuk kemudian menjadi kiritik teologi yang sudah mentradisi tadi. Dua gagasan itu adalah Negasi dan Negativitas, negasi secara harfiah bermakna “penyangkalan” dan negativitas adalah suatu kondisi yang memungkinkan “negasi” itu terjadi.

Dengan begini, kiranya pendefinisan “Teologi Negatif” secara sederhana sudah bisa dilakukan, yaitu sebuah Teologi yang didasarkan pada prinsip Negasi dan Negativitas.

Ibn ‘Arabi serta kritiknya menggunakan Teologi Negatif

Ibnu ‘Arobi lahir pada tahun ke 560 H, tepatnya di Andalusia. Pada waktu itu Ibn ‘Arabi seorang anak yang ayahnya menjabat di istana al-Muwahhidun. Sedang dari jalur ibunya ia mempunyai paman yang berkuasa di Tlemcen. Walaupun besar di tengah-tengah keluarga pejabat, di keluarga mereka masih memegang erat kesalihan dan ilmu agama, ini yang pada nantinya menjadikan Ibn ‘Arabi muda menanggalkan atribut kemewahanya, untuk kemudian menjalani laku yang berbeda dengan keluarganya, yaitu jalan sufi. Ia juga terkenal gemar mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, bertemu berbagai macam sufi yang sekaligus guru. Dari lika-liku inilah Ibn ‘Arabi terpengaruh dan mempengaruhi masa setelahnya dengan corak yang kita kenal dengan teologi negatif, dan bukan berarti teologi negatif ini mewakili semua pemikiranya, namun di kesempatan ini penulis memang sedang ingin membawakan tema ini.

Baca juga:  Kiai Wahab Chasbullah dan Julukan En Boeiend Spreker Bekende

Kemudian kaitanya dengan teologi negatif, semunya sudah dibahas dengan tuntas di atas. Sekarang tinggal bagaimana teologi ini menjadi kritik atas teologi yang selama ini sudah mentradisi kuat.

Ibn ‘Arbi dalam satu kesempatan pernah mengkritik tatanan kalam yang ada seperti pembahasan Dzat Tuhan, apakah Dzat Tuhan dapat dibicarakan secara ilmiah oleh kalam?, apakah Dzat Tuhan dapat diketahui oleh manusia?, dan apa hakikat Dzat Tuhan itu sendiri?.

Menururt ibn ‘Arabi sebelum jauh-jauh membahas tentang Tuhan secara objektif dan ilmiah, pertanyaan yang patut disodorkan sebelumnya adalah “apakah mungkin diskursus semacam itu?”. Karena pada dasarnya diskursus ini menyimpan problemnya sendiri, yaitu tidak adanya kriteria yang pasti tentang “kebenaran”. Artinya dengan problemya ini, sebenarnya dibalik sisi positifnya kalam itu sendiri, menyimpan negasinya. Untuk itu Ibn ‘Arabi berusaha mengkritik -sekalipun tidak menafikan- kalam yang sudah mapan ini, dan berusaha mencari pembanaran atas negasinya tersebut. Setidaknya ada dua alasan pembenaran yang dicantumkan oleh Ibn ‘Arabi  dalam bukunya Futuhat .

Pertama, alasan Epistemologis, bahwa “kalam” mendasarkan diri pada “gambaran” pikiran yang terbatas dan negatif pada dirinya. Karena pada dasarnya dalam kalam sebenarnya sedang tidak membahas Dzat Tuhan itu sendiri, tetapi yang dibahas adalah repsentasi ketuhanan, atau tuhan yang sudah dikonseptualisasikan, dengan demikian mengatakan kalam membahas tentang Dzat Tuhan adalah sebuah kontradiktif, mengingat Dzat Tuhan pada hakikatnya tidak bisa benar-benar diketahui.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (4): Resonansi Tasawuf Sunan Bonang oleh Syaikh Abdal Hakim Murad (Dr. Timothy Winter)

Kedua, alasan Ontologis, bahwa objek tematik kalam “Dzat Tuhan” adalah realitas yang pada dasarnya negatif dan tidak dapat dibicarakan. Kemudian pada tataran yang lebih dalam, pengetahuan -menururt Ibn ‘Arabi- menuntut totalitas, dengan begitu, artinya Tuhan jika diketahui Dzat sebenarnya maka akan terpatok dan terbatas, sedangkan pada hakikatnya -dalam pengertianya yang imanen- Dzat Tuhan tidak pernah terindrai.

Kemudian di akhir, Ibn ‘Arabi memberikan satu solusi gagasan yang menjadi kunci atas kritiknya terhadap kalam selama ini. Yaitu konsep Jahl  kondisi non-pengetahuan dalam setiap pengetahuan, dan non-diskursif dalam setiap diskursus. Namun jahl di sini bukan berarti ketidaktahuan absolut, yang berujung pada nihilisme. Karena bagi Ibn ‘Arabi setiap jahl akan memunculkan pengetahuanya sendiri. Pengetahuan-pengetahuan itu berbeda dengan yang pernah dihadirkan oleh kalam sebelumnya, pengetahuan ini non-diskursif dan non-konseptual, suatu pengetahuan yang diidentikan dengan tidak adanya hasrat untuk mengekang, membatasi tentang ketuhanan yang selama ini pernah ada, oleh Ibn ‘Arabi pengetahuan-pengetahuan itu disebut Ma’rifah (pengenalan), Musyahadah (penyaksian ), Ru’yah (pandangan).

Bagi penulis, membaca sosok Ibnu ‘Arobi sama halnya berkenalan dengan sosok yang begitu kompleks, begitu kontroversial, begitu menyelam ke bawah dalam samudra pemikiranya. Tentunya, untuk membuka wawasan yang lebih jauh tentang khazanah keislaman yang selama ini tersimpan rapi dalam rak-rak buku, namun kabar rapi itu bukanlah hal yang baik, mengingat berarti tidak adanya tangan-tangan pelajar yang sudi membuka lembaran-lembaran itu.

Selanjutnya, tujuan artikel ini dibuat tidaklah muluk-muluk, penulis hanya ingin menyarikan pembacaan yang pernah dia baca sebelumnya. Semoga dengan adanya tulisan ini, bisa menjadi pemicu agar kalangan muslim lainnya dapat mengenal sosok Ibnu ‘Arobi yang sufis sekaligus filsuf secara lebih dekat lagi, dan mengetahui bahwa, ternyata ada satu wacana yang sampai hari ini belum usang ditelan zaman, yaitu wacana “Teologi Negatif”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top