Arivaie Rahman
Penulis Kolom

Arivaie Rahman, M.A. Akademisi dan peneliti tafsir nusantara, lulusan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meminati studi Alquran, tafsir, hermeneutika, pemikiran Islam klasik dan kontemporer.

Menafsir Alquran Cara Muslim Jawa

Luas dan gencarnya islamisasi ke seluruh penjuru Nusantara turut menggulirkan kesemarakan penafsiran Alquran, tidak terkecuali di tanah Jawa. Alquran sebagai teks utama Islam masuk ke dalam ruang kehidupan orang Jawa sehingga mengalami proses adaptasi dan akulturasi.

Realita ini memberi ketertarikan muslim Jawa untuk berpartisipasi mengambil peranan sebagai “juru bicara” Tuhan menurut sudut pandang dan latar belakang mereka masing-masing. Penerjemahan, pemaknaan, dan pemahaman terhadap Alquran berlangsung secara terus menerus, tanpa bisa dihentikan.

Ide-ide inovatif yang kaya kreatifitas lahir dalam bentuk yang beragam. Alquran di tangan muslim Jawa tidak sekadar bacaan “teks Arab” tetapi telah ditafsirkan dalam bahasa Jawa. Uniknya, meski berbahasa Jawa, tafsir-tafsir tersebut tidak ditulis dalam satu jenis aksara. Setidaknya ada tiga jenis aksara yang dipakai untuk menuliskan karya tafsir berbahasa Jawa.

Pertama, tafsir Jawa beraksara carakan. Penafsiran Alquran menggunakan huruf carakan diduga merupakan teks tafsir Alquran paling awal di pulau Jawa. Karya tafsir yang dikategorikan dalam bagian pertama ini ialah sebuah karya anonim, Kitab Kur’an Tetedekanipun ing Tembang Arab Kajawekaken. Tafsir ini terbit sekitar tahun 1858 oleh salah satu penerbit di Batavia (Jakarta).

Masih di abad ke-19, terdapat juga Tafsir al-Fatekah. Tetapi jangan tertipu dengan judulnya, karya ini merupakan tafsir lengkap 30 juz Alquran dan juga tidak diketahui pasti siapa penulisnya. Sedangkan pada abad ke-20 ditemukan tafsir Qur’an Jawi karya tiga orang ndalem keraton Surakarta, Ki Bagus Ngarpah, Mas Ngabehi Wiro Pustoko, dan Ki Rono Suboyo.

Baca juga:  Ijab-kabul Pernikahan di Jawa Era Sultan Agung

Terdapat sebuah lagi tafsir carakan yang lengkap, berjudul Qur’an Jawen  karya Mas Ngabehi Muhammad Amin. Seorang penghulu di keraton Surakarta. Karya ini terdiri atas lima jilid, dan diterbitkan oleh A.B. Siti Syamsiah.

Kedua, tafsir Jawa beraksara pegon. Pegon adalah istilah yang digunakan untuk menyebut aksara Arab yang berbahasa Jawa dan Sunda. Beberapa tafsir Jawa-Pegon yang representatif untuk dikemukakan antara lain: Tafsir Faid al-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan karya Kiai Shaleh Darat al-Samarani (w. 1903).

Konon hadirnya tafsir Faid al-Rahman karena permintaan RA. Kartini yang mengeluhkan ketidaktersedian buku penjelasan tentang ayat-ayat Alquran berbahasa Jawa. Minimnya literatur tafsir berbahasa Jawa antara lain disebabkan oleh efek fatwa Sayid Usman, mufti Betawi yang melarang keras penerjemahan Alquran ke dalam bahasa non-Arab.

Fatwa politis tersebut, agaknya dirancang dan menguntungkan Belanda. Untungnya Kiai Shaleh Darat termasuk ulama pejuang. Disamping misinya menulis tafsir, sama artinya ia sedang berupaya mengkritisi dan melawan pihak kolonial.

Kemudian ada tafsir Al-Ibriz li Ma’rifat al-Qur’an al-‘Aziz (1960) karya Bisri Mustafa (w. 1977). Tafsir ini lebih ditujukan untuk para santri di lingkungan pesantren tradisional. Rujukan penulisan tafsir ini banyak mengambil dari tafsir al-Khazin, al-Baidhawi, dan al-Jalalain. Kyai Bisri Mustafa juga menulis tafsir tematik: Tafsir Surah Yasin (1954).

Baca juga:  Sabilus Salikin (32): Zikir (2)

Selain al-Ibriz, ada tafsir Al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil (1980) karya Misbah Zainul Mustafa (w. 1994). Karya ini juga sangat populer di pesantren pesisir pulau Jawa, bahkan sering dicetak ulang, oleh penerbit al-Ihsan Surabaya. Sama seperti al-Ibriz, tafsir ini berbahasa Jawa, beraksara pegon, dan bermakna gandul, pemaknaan yang ditulis secara miring dan lebih kecil dari teks matan (materinya).

Tafsir al-Iklil dicetak dalam 30 jilid, perjilid-nya sesuai dengan ukuran satu juz Alquran. Cakupan penafsirannya sangat luas sebagaimana umumnya digunakan dalam tafsir bermetode tahlili (analitis). Sangat getol menyoroti persoalan kontekstual di masanya, terutama diskursus dan kontroversi boleh tidaknya Alquran diperlombakan (MTQ).

Ketiga, tafsir Jawa beraksara latin (roman). Beberapa tafsir jawa yang masuk kelompok ini antara lain: Tafsir al-Qur’an Basa Jawi karya Muhammad Adnan (w. 1969), Tafsir al-Qur’an Hidaajatur Rahman karya Moenawar Chalil (w. 1961), dan al-Huda Tafsir al-Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid (w. 1994).

Tafsir karya Adnan lahir di lingkungan elit kesultanan Surakarta dipublikasikan sekitar tahun 1960-an. Awalnya karya ini ditulis menggunakan huruf pegon, tetapi mempertimbangkan pasaran pembacanya, maka tafsir ini dialih-aksarakan kedalam huruf Latin.

Dua tafsir berikutnya, Tafsir Hidaajatur Rahman diterbitkan pertama kali pada 1958 di Solo, oleh penerbit Siti Syamsiah. Dan  tafsir al-Huda dicetak oleh penerbit Bagus Arapah di Yogyakarta, tahun 1979. Moenawar Chalil dan Bakri Syahid merupakan dua orang aktivis Islam reformis Muhammadiyah.

Baca juga:  Dayon: Mengarungi Latar Sosio-Kultural Masyarakat Minang

Tegasnya, penggunaan aksara yang beragam dalam penulisan tafsir Jawa dilatarbelakangi oleh latar belakang sosial dan identitas penulisnya. Tafsir yang beraksara carakan dapat dipastikan berhubungan erat dengan tradisi keraton dan penulisnya adalah kelompok Kauman (karena tinggal di daerah Kauman, dekat dengan keraton).

Begitu pula dengan aksara pegon yang akrab dengan dunia santri dan pesantren. Karya semacam ini ditulis oleh kiai, atau ajengan jika di daerah Sunda.

Sementara tafsir Jawa yang berhuruf latin dipengaruhi oleh sosial-politik etis Belanda dan pasca Sumpah Pemuda 1928. Sifatnya tafsirnya lebih inklusif dan progresif, serta lebih menyasar kepada para pembaca perkotaan, terutama orang-orang yang berafiliasi dengan organisasi pergerakan, seperti Muhammadiyah. Begitulah kreatifnya muslim Jawa pada masa kolonial. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top