Sedang Membaca
Kesederhanaan Pak AR dan Dakwah yang Arif

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Kesederhanaan Pak AR dan Dakwah yang Arif

Nama lengkapnya Abdul Razaq Fachruddin, biasa dipendekkan menjadi AR Fachruddin, dan disapa Pak AR. Namanya besar, tak hanya milik Muhammadiyah, tapi juga milik umat Islam. Ia seperti sejatinya Islam, yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Telah banyak cerita mengenai Pak AR, dan tulisan ini ingin “sekadar mengingatkan”, dengan menekankan pada cara dakwahnya yang cair.

Pribadi Pak AR yang sederhana membuat semua orang kagum. Ia adalah sosok Kiai yang merakyat, sederhana. Emha Ainun Najib pernah menulis tentang Pak AR : “ Pernahkah Anda membayangkan ada seorang pemimpin organisasi besar yang anggotanya berpuluh-puluh juta yang mencari nafkah “hanya” dengan cara menaruh beberapa dirigen minyak tanah dan bensin untuk dijual di depan pagar rumahnya?”

Emha menambahkan, “Di tengah era dimana seorang kiai bisa menjual kekiaiannya, seorang pemimpin bisa mengkomoditikan kepemimpinannya, serta dimana seorang penggenggam massa mengecerkan akses-aksesnya—kata apakah yang sebenarnya bisa kita ucapkan kepada Pak AR yang bersih dari semua itu?” Cak Nun menyebutnya “Kiai Cinta”.

Pak AR lahir 14 Februari 1916, masa kecil dan pendidikannya dibesarkan oleh perguruan Muhammadiyah. Sekolah dasar, madrasah mualimin, hingga sekolah guru, ia tempuh di Yogyakarta. Karirnya dimulai dari guru di SD Muhammadiyah Komering Ilir Palembang, dan pernah menjadi pegawai Kantor Jawatan Agama DIY.

Baca juga:  Siti Munjiyah, Ulama Perempuan Muhammadiyah

Pak AR memimpin Muhammadiyah semenjak 1968 sampai dengan 1992. Ia begitu lentur menentukan sikap di berbagai era. Ia mampu menempatkan politik yang luwes saat ia dihadapkan dengan posisinya yang memimpin umat. Ia mampu menempatkan diri di berbagai rezim. Baik di era Soekarno hingga era Soeharto.

Posisi Pak AR yang merakyat dibuktikan dengan dakwah dan pengajiannya yang menyeluruh sampai ke seluruh pelosok. Ia juga diterima berbagai kalangan baik dari pejabat hingga rakyat jelata. Ia juga dikenal sebagai Kiai yang humoris.

Bukti Pak AR yang humoris itu nampak saat Amin Rais mengajukan pertanyaan padanya : “Pak AR, dalam hadis diterangkan bahwa selama bulan Ramadan semua setan dan iblis dibelenggu. Tetapi mengapa kenyataannya masih banyak orang berbuat maksiat di bulan ramadan?”Jawabnya khas : “Yah, itulah manusia. Banyak yang lemah iman. Dengan setan dibelenggu saja kalah, apalagi melawan setan lepas-lepasan.”

Seorang indonesianis Clifford Geertz pun pernah memuji Pak AR dengan mengatakan, “Pak AR mencoba membuat para hadirin yang orang Jawa sadar, bahwa tema-tema yang sudah dikenal ini sesungguhnya banyak mempunyai arti agama yang lebih mendalam daripada sekadar kebijaksanaan umum. Etik adalah perintah Alloh untuk umat manusia. Pergaulan yang baik mempunyai nilai. Dan menaati perintah-Nya dalam mengabdi kepada-Nya.”

Baca juga:  Gus Dur dan Gus Im: Dari Berebut CD Musik Hingga Menerjemah Buku

Saat ia menjadi penasehat presiden sekalipun, di masa Soeharto ia lebih memilih memakai motor bututnya daripada menerima mobil dari istana waktu itu. Sampai akhir hayatnya ia tak memiliki rumah sendiri meski telah diusahakannya. Sikapnya yang sederhana ini meninggalkan kesan mendalam di hati umat.

Ia adalah Kiai yang tak melek sekalipun dengan harta benda, apalagi kekuasaan. Ia adalah Kiai yang luwes tapi mampu menempatkan diri sebagai pemimpin yang bijak. Ini dibuktikan saat Pak AR Fachruddin memimpin Muhammadiyah di era Soeharto.

Saat terjadi krisis kepercayaan terhadap organisasi islam menurun, Pak AR justru tampil menjadi pembeda dengan kebijakannya yang unik saat Soeharto memberlakukan asas tunggal Pancasila. Pak AR dikenal dengan “politik helm” nya. Pancasila diibaratkan sebagai helm, tapi hati atau manusianya tetap Islam. Dengan begitu, konflik antara pemerintah dengan ormas islam bisa cukup diredam.

Pak AR dalam berdakwah tidak mempermudah, tapi menerjemahkan agar mudah dipahami orang. Dengan dakwah yang seperti itulah, Pak AR bisa dengan mudah diterima di kalangan “wong cilik”.

Dalam suatu pengajian misalnya ia mengatakan “ berdakwah itu gampang, depan rumah diajak berbuat baik dan bersembahyang, tetangga kanan rumah juga diajak untuk beriman dan bertaqwa, dan kiri rumah diajak pula untuk berbuat kebaikan dan kebajikan, sementara belakang rumah tidak usah, wong disitu kuburan!” Bahasanya mengalir, pesan utamanya tak dihilangkan.

Baca juga:  Kiai Sahal dan Gus Dur

Pernyataan Pak AR tentang dakwah kepada umat Islam di Indonesia saya kira patut kita renungkan karena relevan hingga masa kini. Para pendakwah patut menggali lagi pengalaman, pemikiran, serta keluasan hati kiai-kiai besar masa lalu seperti Pak AR. Masyarakat umum pun dapat sama-sama belajar.

Ia mengatakan, “Masyarakat Indonesia memang mayoritas muslim. Tetapi kita harus memahami bahwa masyarakat muslim yang mayoritas masih harus kita suguhkan soal-soal keislaman yang ringan-ringan. Untuk mereka, (kita) belum dapat menyuguhkan yang asli murni kontan dari Alquran dan hadis-hadis  shahih, menurut bentuknya yang asli. Bukannya saya mau menyelewengkan atau memalsukan. Tetapi kita harus dapat mengalah sedemikian rupa sehingga dapat dicerna dengan enak.”

Inilah saya rasa pilihan yang bijak dari cara Pak AR, dalam dakwah, kita dituntut untuk melihat audiens, jamaah, publik. Kita tak bisa memaksakan metode dakwah kita kepada jamaah yang belum bisa menerimanya. Pak AR bisa jadi teladan dan referensi para pendakwah muda agar meneladani sikap sederhananya, serta caranya berdakwah sehingga bisa diterima dari berbagai kalangan. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top