Sedang Membaca
Tembang Macapat, Tentang Umur dalam Falsafah Jawa

Tembang Macapat, Tentang Umur dalam Falsafah Jawa

Mocopat Gubug Wayang

Secara sederhana angka memang tidak menyimpan rahasia apapun, kecuali sebagai media perhitungan. Mewakili jumlah “sesuatu”. Namun, tidak jarang pula orang suka mengotak-atik angka untuk dicari maknanya. Bahkan, ada beberapa angka sangat digandrungi sebab diyakini membawa keberuntungan. Begitu pula, ada angka yang dijauhi, tidak diminati sebab bisa membawa sial. Begitulah, kenyataannya angka tidak berhenti hanya sebagai perhitungan tetapi mempengaruhi peruntungan dan kebuntungan.

Apakah masalah beruntung-celakanya dari angka sebetulnya hanya sugesti mental, tahayul-tahayul yang berurat akar pada masyarakat? Ataukah memang angka-angka, kombinasinya menyimpan kekuatan di dalamnya? Sehingga dia (angka) bukan lagi sebagai alat pembilang suatu hal semata?

Setiap peradaban memiliki tanda-tanda angkanya sendiri. Kita bisa membayangkan quipus (tali-tali yang diikat dengan berwarna-warni untuk mencatat kejadian atau mengirim berita di zaman dahulu) di mana utang-utang digoreskan dengan garis-garis yang berbeda. Ungkapan dalam bahasa Jerman, Etwas auf dem kerbholz haben, “memiliki sesuatu tentang catatan seseorang”, dalam pengertian bahwa ia telah melakukan sejumlah dosa atau pelanggaran, mencerminkan cara berhitung terkemudian.

Bidang numerology dan daya magis angka telah menarik perhatian umat manusia selama ribuan tahun. Matahari dan bulan, sebagai tanda-tanda dalam buku agung alam semesta menjadikan manusia merasa bahwa angka-angka memiliki berbagai keistimewaan khusus yang bukan hanya mengelilingi serta menunjukkan ruang dan waktu dalam rumusan-rumusan abstrak, melainkan juga menjadi bagian dari sebuah sistem hubungan yang misterius dengan bintang-bintang dan berbagai fenomena alam lainnya. Pengetahuan tentang makna dan rahasia angka-angka tercermin dalam adat-istiadat, cerita rakyat, kesusastraan, arsitektur, dan musik yang dipandang sebagai memanifestasikan harmoni kehidupan. Simbolisme angka memang sangat beragam, dan berbagai kesamaan yang menakjubkan dalam menafsirkan angka-angka bisa ditemukan dalam berbagai kebudayaan yang berbeda.

Demikian halnya yang terjadi di budaya dan falsafah Jawa. Bahwa angka merupakan sesuatu yang bisa dibilang menakjubkan bahkan sangat berhubungan erat dengan umur manusia. Mengapa angka-angka ini dibaca “selawe” bukan “limolikur”, dibaca “seket” bukan “limang puluh” dan dibaca “sewidak”, mengapa bukan “nem puluh”. Tapi saya yakin tidak semua orang Jawa memahami hal ini. Mungkin salah satunya adalah Anda. Ini adalah kiasan, karena ilmu itu dapat digapai dengan usaha, maka untuk mengurai pesan ini, kita juga perlu usaha dengan belajar. Tulisan ini saya buat untuk mengajak anda belajar bersama tentang apa makna bilangan dalam filosofi bahasa jawa.

Bahasa yang dituturkan orang Indonesia, termasuk bahasa Jawa, memiliki kemiripan dengan bahasa Champa, Vietnam, dan Kamboja karena satu rumpun yaitu Austronesia. Karena kehidupan terpisah di daratan yang berbeda, sedikit demi sedikit variasi bahasa dan kearifan lokal pun menjadi berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Dalam budaya Jawa, angka bukan hanya soal hitung-hitungan. Ada maksud yang terkandung dalam penyebutannya, yaitu Cakra Manggilingan.

Jadi, Cakra Manggilingan itu dibagi menjadi dua arti yaitu makna makro (jagad gedhe) dan makna mikro (jagad cilik). Jagad kecil misalnya tentang nasib dan siklus hidup manusia, mulai saat berada di alam ruh, menjadi bayi, anak, kemudian menjadi dewasa, tua dan mati, lalu akhirnya kembali ke akhirat atau alam ruh lagi. Dalam ajaran Jawa, siklusnya dijelaskan secara lengkap dalam sebelas lagu macapat. Selanjutnya adalah makro atau jagad besar. Contohnya adalah siklus sejarah. Menurut orang Jawa, sejarah itu berputar, apa yang terjadi di masa lalu bisa terjadi lagi di masa sekarang, dan apa yang terjadi sekarang akan terjadi di masa depan. Bahkan motivasi, penyebab, refleks, reaksi hingga solusinya serupa, karena pelakunya juga sama. Yaitu manusia, makhluk yang nalurinya tetap, tidak berubah. Misalkan ada perbedaan, kemungkinan hanya sedikit karena faktor kondisi zaman saja.

Setelah membahas jagad besar, sekarang kita kembali bahas sedikit tentang jagad kecil atau fase-fase kehidupan manusia di alam duniawi. Ini ada hubungannya dengan penyebutan angka di Jawa. Menurut Pythagoras, inti dari keteraturan alam semesta ada dalam angka. Angka adalah aturan alam semesta. Dalam ilmu Jawa, itu seperti momentum. Belasan, dua puluhan, dua puluh lima, lima puluh, enam puluh adalah sebuah momentum. Menurut ilmu fisika, momentum adalah kuantitas dari massa dan kecepatan. Semakin berat dan semakin cepat sebuah benda maka semakin besar momentumnya. Sama-sama memiliki kecepatan 100 km per jam, momentum truk Fuso tentu lebih besar dibanding Avanza ketika mengalami tabrakan.

Baca juga:  Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (3): Tanda Tanya, Konflik dan Dinamika Sosial-Agama dalam Mikro-Indonesia

Dua truk dengan berat sama-sama 1 ton, truk yang berjalan dengan kecepatan 100 km per jam memiliki momentum yang lebih besar. Semakin kencang dan berat maka sehingga daya dobraknya semakin tinggi. Maksudnya, dinding itu ibarat masalah dalam hidup, sedangkan berat dan kecepatan adalah modal kita. Kapasitas pribadi, kematangan dan kedewasaan, semakin matang dan semakin banyak dukungan maka akan menghasilkan memiliki kekuatan yang semakin besar. Momentumnya bisa bertambah besar. Dinding atau masalah dalam tatanan kehidupan manusia juga berbeda, remaja di usia belasan dan orang di usia dua puluhan memiliki masalah yang berbeda. Yang digunakan untuk memecahkan masalah juga berbeda.

Ada banyak momentum dalam hidup kita yang bisa kita jadikan sebagai momentum untuk menjalani hidup yang lebih berkualitas. Sejak momentum ulang tahun, pertama kali masuk sekolah, khitanan untuk anak laki-laki, pubertas, memilih jurusan kuliah, kuliah, memilih pekerjaan, memilih pasangan, menikah, memiliki anak, punya menantu, pergi haji, semua itu bisa menjadi momentum. Urutan dan waktu momentum dapat bervariasi antara satu dan yang lain. Jatah usianya juga berbeda, namun secara umum ada hal serupa yang bisa dipakai acuan.

Sebelum kita lahir ke dunia, perhitungan umur masih belum berlaku bagi kita alias masih nol. Nol artinya masih berada di alam roh, belum memiliki jasad. Dalam tembang macapat, ini ada dalam fase Maskumambang. Setelah fase Maskumambang, janin yang ada di dalam rahim ibu kemudian Mijil atau lahir. Telur telah pecah menjadi angka satu. Dari momentum Mijil inilah perhitungan Cakra Manggilingan telah dimulai. Angka satu adalah simbol dari awal semua hal dalam kehidupan kita nanti.

Setelah satu kemudian dua, dua adalah simbol materi. Mengapa angka dua adalah simbol materi? Karena angka dua memiliki sifat dualitas. Ada besar, ada kecil. Ada berat, ada ringan. Dua juga simbol bahwa manusia akan menghadapi pilihan dalam hidupnya. Manusia itu harus bisa membuat keputusan. Dalam tradisi Jawa Kuno, ketika bayi berusia 7 lapan (7×35 hari atau 8 bulan), ada upacara yang bernama Tedhak Siten (Mudun Lemah/Turun ke Tanah). Dalam acara itu, bayi biasanya diberikan pilihan berbagai barang. Bukan untuk meramal apa yang akan terjadi nanti setelah dia dewasa, tapi menurut saya ini untuk melatih membuat keputusan.

Setelah dua, lalu tiga. Tiga adalah simbol ideal/idealisme. Bukan hanya awal dan akhir tetapi juga ada tengah. Jika dua titik terhubung, itu hanya bisa menjadi garis. Namun jika tiga titik, maka tidak hanya sekedar garis tetapi bisa menjadi bentuk bangun datar, yaitu segitiga. Untuk membuat bangun datar setidaknya diperlukan tiga titik. Setelah tiga, lalu empat. Variasinya bukan hanya awal, tengah dan akhir, namun lebih kompleks. Ada bagian tengah yang agak awal dan ada tengah yang agak akhir. Ini maksudnya kecenderungan. Manusia tidak bisa berada di tengah persis, pasti ada kecenderungan agak sedikit maju atau sedikit mundur, sedikit ke kiri atau sedikit ke kanan. Jika orang tua dapat memberikan pengaruh positif pada kelompok usia ini, maka itu dapat menjadi penanaman yang kuat dalam karakter anak.

Selanjutnya lima. Lima itu variasinya lebih kompleks, maka setelah lima tahun, manusia tidak lagi disebut balita. Ini adalah momentum. Setelah lima lalu enam. Usia enam tahun itu sudah tidak disebut bayi lagi melainkan anak-anak. Enam sampai sepuluh memiliki variasi bentuk yang semakin berkembang. Dalam filsafat Jawa, momentum ini ada pada tembang Sinom. Sinom ini artinya usia muda. Pada fase ini, pengaruh orang tua sangat berperan dalam memberikan karakter dasar kepada anak. Orang tua harus bisa memberikan kenangan yang baik dan orang tua harus bisa memberikan harapan atau motivasi. Jika seorang anak memiliki harapan sekolah yang tinggi, jangan dilemahkan meskipun orang tuanya tidak mampu secara finansial. Ini penting, mereka dalam fase ini benar-benar memiliki angan-angan dan harapan yang tinggi.

Baca juga:  Nanti Malam Tadarus Sendi Vol. 2: Merawat Harmoni di Tengah Pandemi

Setelah sepuluh, kemudian masuklah angka belasan atau “welasan”. Sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas hingga sembilan belas. Angka-angka ini ada dalam fase lagu Kinanthi dalam Macapat. Saatnya untuk membentuk identitas dan rintisan jalan untuk mencapai tujuan seseorang. Kinanti berasal dari kata “tuntunan” dan “kanthi”, yang artinya anak itu membutuhkan tuntunan jalan yang benar dari orang tua agar cita-citanya dapat terpenuhi. Pedoman pertama yang harus diterapkan adalah tentang kasih sayang. Itulah sebabnya angka sebelas dalam bahasa Jawa tidak disebut sepuluh satu, tetapi “sewelas”, ada kata welas sebagai akhiran. Ini artinya, sejak usia sebelas tahun anak-anak harus sudah diajari kasih sayang.

Sebelas sampai sembilan belas adalah masa dimana anak-anak diberikan bimbingan yang tepat dengan cara yang juga penuh kasih sayang. Karena, di usia tersebut anak-anak tidak bisa diasuh dengan kekerasan, jika dikasari malah akan memberontak. Kadang kencang dan kadang kendor seperti bermain layang-layang. Pada fase ini anak juga harus dibimbing untuk memilih peminatan ilmu. Biasanya di SMA sudah ada spesialisasi IPA atau IPS, jika Anda mau kuliah, mau mengambil jurusan apa, itu harus ditentukan di usia ini. Ini adalah momentum penting untuk membangun kompetensi seperti yang saya sebutkan di awal tadi, tentang momentum truk tronton, kapasitas pribadi.

Setelah belasan mari kita lanjut ke angka dua puluhan atau “likuran”. Dua puluh satu hingga duapuluh sembilan, atau “selikur” hingga “sanga likur”. Dalam bahasa Indonesia angka dua puluh ke atas biasanya diucapkan dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga, dua puluh empat dan seterusnya. Tetapi dalam bahasa Jawa, dua puluh satu bukan dua puluh satu, tetapi “selikur”, lalu “rolikur”, “telu likur”, “patlikur” dan seterusnya. Likur itu berarti “linggih kursi” atau “duduk di kursi”. Dalam budaya Jawa ini disebut kerata basa, misalnya seorang suami/istri “garwa” adalah “sigaraning nyawa” belahan jiwa, lalu juga “guru” adalah “digugu lan ditiru” dipatuhi dan ditiru.

Kembali lagi ke istilah “likur”, artinya sejak usia dua puluh satu, orang jawa harus sudah mulai merintis duduk di kursi atau duduk pada profesi yang sesuai dengan kepribadiannya. Usia dua puluhan adalah momentum. Jika usia belasan adalah momentum untuk memilih sekolah atau sesuatu untuk dipelajari, maka usia dua puluhan adalah momentum untuk menekuni apa yang telah Anda pelajari. Godaan-godaan yang menyertai fase dua puluhan ini adalah soal percintaan. Fase ini dalam tembang macapat ada pada Asmarandana. Ini adalah fase penting dalam pengambilan keputusan.

Menurut saya, ada tiga keputusan penting dalam hidup kita, dua diantaranya diambil pada usia duapuluhan. Yang pertama adalah keputusan untuk memilih jurusan atau ilmu apa yang ingin dipelajari, ini diambil dalam usia belasan, yang kedua adalah keputusan untuk memilih profesi atau karir yang ingin ditekuni, dan keputusan yang ketiga adalah keputusan untuk memilih pasangan, keduanya terjadi di usia “likuran” atau dua puluhan. Jadi, usia duapuluhan harus fokus pada ketekunan, bukannya fokus pada masalah romantisme. Salah memilih jurusan masih bisa anda ubah, tapi salah memilih suami/istri tidak bisa diubah, Kalaupun bisa, tentu itu sulit dan akan meninggalkan luka. Itulah sebabnya di usia dua puluhan kita harus bisa memilih kursi yang tepat untuk diri kita.

Mengapa “selawe” atau dua puluh lima tidak disebut limo likur? Karena ini adalah angka spesial yang juga dianggap sebagai momentum. Selawe berarti “seneng-senenge lanang & wedok”, atau bahasa Indonesianya masa bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan. Orang Jawa menganggap bahwa pada usia dua puluh lima adalah usia yang tepat untuk memulai pernikahan. Dua puluh lima itu adalah acuan, jadi usia dua puluh lima itu merupakan fase ideal untuk menikah menurut falsafah jawa. Fase ini terdapat dalam tembang macapat Gambuh. Gambuh berasal dari kata “jumbuh” atau bersatu. Tembang ini bercerita tentang sebuah janji atau komitmen, menyatukan rasa cinta untuk memulai rumah tangga.

Baca juga:  Wayang, Medium Komunikasi dan Dakwah Lintas Kelas

Setelah dua puluhan, sekarang kita menginjak usia tiga puluhan. Tiga puluh satu sampai tiga puluh sembilan. Pada usia ini kita memasuki fase Dhandhanggula. Gambaran fase ini adalah kehidupan yang telah menapak tahap stabilitas dan kesejahteraan sosial, jadi sudah terpenuhi sandang pangan dan papan. Selanjutnya, kita menginjak usia empat puluhan. Ini adalah usia yang penting dalam kehidupan kita. Ya memang semuanya penting, namun ini merupakan tonggak yang juga tidak kalah penting, karena Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul pada usia empat puluh.

Jika usia sebelumnya adalah untuk membangun kapasitas kita sendiri, pada usia empat puluhan ini idealnya kita juga harus memikirkan orang lain, harus beramal atau sedekah. Dalam tembang macapat ini disimbolkan dalam tembang Durma. Sejatinya, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Jika Anda dapat memberi manfaat dengan amal sedekah, Anda bisa menggunakan uang, jika Anda mampu beramal dengan pikiran atau ilmu, maka anda bisa menularkan ilmu yang bermanfaat, jika anda mampunya menggunakan tenaga maka gunakanlah tenaga.

Setelah empat puluhan kemudian “seketan” lima puluhan. Kenapa disebut “seket” tidak disebut limang puluh? Seket adalah kiasan dari ungkapan “seneng kethunan” atau suka memakai peci. Limapuluh tahunan itu kalau di Jawa sudah dianggap tua, maka disarankan agar mereka bersedia memperbanyak beribadah dan menahan diri dari perilaku buruk. Dalam filosofi Jawa hal ini terdapat dalam tembang macapat Pangkur. Pangkur artinya rela “mungkur” atau menolak dan menyingkir dari nafsu yang buruk, tingkah laku yang jelek dan perbuatan maksiat. Karena usia lima puluh memang seharusnya sudah pasrah, menempatkan keinginan dunia diganti dengan kesenangan akhirat.

Setelah lima puluh kemudian enam puluh atau “sewidak”. “Sewidak” memiliki makna “sejatine wis wayahe tindak” yang berarti sudah waktunya untuk pergi. Jika kita berumur enam puluh tahun, maka seharusnya semua tujuan kita bukan lagi untuk dunia, semuanya untuk Tuhan. Sebenarnya ini sudah juga berlaku di usia sebelumnya, namun ini adalah momentum batas akhir. Nabi Muhammad wafat pada usia enam puluh tiga tahun. Jadi jika kita diberi usia lebih dari usia ini, maka itu adalah bonus, dan bonus umur itu harus kita manfaatkan dengan baik sebelum kita pergi atau kembali ke asal-usul ruh kita.

Batasan hidup manusia di dunia ini dalam falsafah jawa ada pada tembang macapat Megatruh. Megatruh atau “megat ruh” berarti terpisahnya nyawa dari jasad. Setelah meninggal, fase selanjutnya yang juga ada di tembang macapat berjudul Pucung. Pucung itu artinya kita sudah menjadi “pocong”. Jiwanya telah kembali ke Tuhan dan tubuhnya telah terbungkus kain kafan putih. Ketika kita sudah menjadi pocong, tidak ada lagi yang bisa kita jadikan bekal yang layak selain amal. Kekayaan dan jabatan tidak berguna lagi kecuali sebelumnya digunakan sebagai amal jariyah. Ilmu dan kepintaran tidak berguna lagi kecuali jika sebelumnya digunakan sebagai ilmu yang bermanfaat. Keturunan tidak dapat diandalkan lagi kecuali sebelumnya mereka telah dididik menjadi anak-anak yang berbudi luhur. Semua urusan dunia telah terputus kecuali tiga hal ini.

Untuk bisa memahami kiasan jawa ini dibutuhkan kedewasaan. Kenapa ada orang yang masih muda tapi sudah sukses, sudah matang dan sebaliknya kenapa ada orang yang sudah tua tapi belum dewasa. Karena usia bukanlah ukuran kematangan mental atau kedewasaan. Tua itu pasti, dewasa itu pilihan, untuk menjadi dewasa kita membutuhkan ilmu. Fase-fase dalam filsafat Jawa hanyalah acuan, belum tentu persis seperti itu, karena momentum orang satu dan orang lain berbeda, jatah usianya juga berbeda. Tapi setidaknya ketika kita belajar hal ini, kita bisa jadi punya acuan sehingga tidak banyak keluar dari jalur dan falsafah ini bisa digunakan sebagai pegangan.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top