Sedang Membaca
Pengalaman Spiritual Bersama Gus Dur
Avatar
Penulis Kolom

Ketua Majlis Syiaul Qulub, Kota Balikpapan.

Pengalaman Spiritual Bersama Gus Dur

Saya lahir di Surabaya, namun sejak kecil tinggal di Gresik. Kami terlahir dari keluarga yang terdidik dari lingkungan NU meski dari keluarga besar ada yang Muhammadiyah. Singkat cerita, saya sekolah Madrasah NU Trate, setelah menamatkan SD, saya melanjutkan SMP dan SMU Muhammadiyah I Gresik. Enam tahun sekolah di lingkungan Muhammadiyah ternyata membuat saya beruntung karena bisa belajar di luar kultur NU.

Pengalaman enam tahun tersebut semakin bertambah ketika saya melanjutkan kuliah di Surabaya. Tahun 1999 adalah masa proses reformasi yang pada akhirnya membuat Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI yang keempat. Ketika masih sekolah di SMU Muhammadiyah, tokoh dan sosok yang sering kami dengar dan idolakan adalah Amien Rais. Ia adalah tokoh tokoh reformasi, Bapak Reformasi.

Imajinasi Amien Rais yang bak dewa terbawa ketika saya melanjutkan kuliah, apalagi saya aktif di HMI Komisariat Urip Sumoharjo. Pada masa itu, mahasiswa sering demo di mana-mana, mengkritik kebijakan serta gaya kepimpinan Gus Dur. Situasi saat itu membuat saya terbawa sebagai pihak yang berlawanan dengan Gus Dur. Di manapun, posisi apapun, saya bersebrangan dengan Presiden Gus Dur, entah di kampus, organisasi ekstrakurikuler (HMI), atau pada saat saya kerja membantu Pakde Saya (pengrajin songkok nasional) ke kudus, blora, dan jepara.

Nah, di setiap perjalanan mengirim songkok, saya, dan supir (yang punya mobil, sekaligus teman kuliah) selalu ngrasani, mengkritik, dan menjelek-jelakan Gus Dur.

Baca juga:  Ibrahim bin Adham: Ketika Sang Raja Memilih Jalan Tasawuf

Di setiap menjelek-jelekkan Gus Dur itulah mulai muncul kejadian-kejadian aneh tapi nyata terjadi, mobil yang kami tumpangi selalu bermasalah (Mobil yang dipakai, baru buka beli): entah ban bocor (berulangkali), mesin keluar asap seperti terbakar, mogok sampai masuk bengkel baru bisa jalan.

Kejadian itu sering membuat kami terheran-heran, aneh. Lah, mobil yang kami pakai itu baru beli, kenapa sering bermasalah. Diam-diam, kami niteni, bila tidak ada obrolan menjelekkan Gus Dur, anehnya mobilnya tidak ada masalah sekali, lancar termasuk tanpa macet.

Sampai pada suatu waktu, ketika terjadi demo besar-besaran di ibu kota, meminta Gus Dur turun jadi presiden, bersamaan itu juga pendukung Gus Dur dari kaum Nahdliyin dari Jawa Tengah dab Jawa Jimur juga melakukan perlawanan dengan membentuk pasukan berani mati yang siap berangkat ke Jakarta.

Pada waktu itu, Gus Dur meminta pendukungnya tetap tenang. Suatu saat itu Gus Dur melakukan kunjungan ke di Gresik untuk bertemu dengan tokoh-tokoh NU. Saya ingat, pada waktu itu saya diminta Pakde untuk hadir pada acara Gus Dur di Gor Tridharma Petrokimia Gresik. Kebetulan Pakde Saya termasuk pengurus syuriyah NU di Gresik tidak bisa hadir dikarenakan kurang enak badan. Namun waktu itu saya dengan sengaja tidak datang dengan memutuskan langsung pergi ke Surabaya bersama teman saya.

Baca juga:  Hikmah: Memahami Makna Zuhud

Besoknya setelah acara Gus Dur di Gresik, pagi-pagi setelah salat Subuh, saya bersama Pakde mengirim songkok ke Kudus. Perjalanan kali ini kita tidak memakai mobil teman saya, tapi mencegat mobil angkut di jalan, yang tujuan ke Semarang.

Singkat kisah, setelah sampai di pasar Kliwon Kudus, biasanya bila sore sudah selesai, kami langsung memutuskan untuk pulang naik bis tujuan surabaya. Namun ada tagihan yang belum selesai, akhirnya kami menginap semalam di losmen.

Bakda salat Magrib, Pakde tiba-tiba (tumben) mengajak saya untuk menyekar ke makam Sunan Kudus. Pada saat itu kebetulan masih sepi, seingat saya hanya ada tiga orang (Saya, Pakde, dan satu orang, entah siapa) yang sedang mengaji.

Setelah selesai, saya dan Pakde langsung pergi. Namun saat masih di dalam makam, langkah kami dihentikan oleh juru kunci. Kami diminta untuk kembali ke makam karena di saat bersamaan ada rombongan tamu yang saat itu juga sudah masuk ke dalam makam Sunan Kudus.

Sekembalinya kita ke makam, yang membuat saya sangat kaget ternyata tamu tersebut adalah presiden RI keempat yakni Gus Dur beserta menteri-menterinya yang mendampingnya, yang saya tahu, saat itu ada Pak Alwi Shihab, Mahfud MD, dan lainnya.

Di situlah saya merasa takut, merasa bersalah karena orang yang selama ini saya kritik, saya jelek-jelakan sekarang ada tepat di depan saya. Presiden memimpin tahlil sampai dengan selesai. Yang saya rasakan saat itu adalah kesejukan, dingin, juga harum wangi tubuhnya merasuk ke dalam jiwa saya.

Baca juga:  Pesantren Syekh Nawawi Banten Dorong Ekonomi Umat

Tahlil selesai. Gus Dur juga yang berdoa. Sejurus kemudian, Gus Dur bersama rombongan berdiri, melangkag pelan meninggalkan makam. Maka kesempatan itu tak kusia-siakan menyalami Presiden Gus Dur yang selalu saya jelek-jelekkan itu. Dengan mudahnya saya meraih tangan halus Gus Dur, karena saya memang tepat di belakangnya.

Setelah salaman, beliau dan rombongan meninggalkan makam. Di luar area pemakaman, ratusan orang atau bisa jadi lebih, tidak bisa masuk ke dalam untuk mendekati atau sekedar bersalaman dengan Gus Dur karena dijaga oleh pasukan pengawal presiden.

Setelah kejadian malam itu, saya baru menyadari bahwa hal-hal yang aneh kemarin, juga proses pertemuan saya dengan Gus Dur pada malam itu yang unik adalah cara Gus Dur untuk mengembalikan saya ke habitat sebenarnya yakni NU dan terlebih lagi mencintai Gus Dur.

Mungkin ini adalah sekelumit cerita yang tidak ada artinya dibandingkan dengan pengalaman sahabat-sahabat lain bila berbicara tentang Gus Dur, namun setidaknya saya masih bisa bersyukur, karena orang yang kecil seperti saya pernah dicerahkan secara spritual oleh beliau, dan ini adalah bukti bahwa beliau mencintai rakyatnya.

Gus Dur Lahul Fatihah..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top