Sejumlah pihak, termasuk NU dan Muhammadiyah, menyambut baik SKB 3 Menteri tentang pakaian atau atribut yang mengacu pada agama tertentu di sekolah dasar dan menengah milik pemerintah.
Mereka berpandangan, SKB 3 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan) itu akan menjadi langkah awal memulihkan toleransi, khususnya antaragama, yang tersandera selama ini. Dengan langkah itu, pemerintah terlihat tegas di hadapan aspirasi-aspirasi komunal, seperti kasus di SMKN 2 Padang, yang intoleran.
Sepintas SKB 3 Menteri tersebut memang seperti jawaban terhadap pertanyaan intoleransi yang selalu menagih kehadiran negara. Sebelumnya, kita tahu, negara seolah tidak hanya tidak hadir, tetapi juga bahkan ikut serta dalam tindakan intoleransi. Namun dari sini suatu problematik muncul: apakah dengan demikian baik toleransi maupun intoleransi harus selalu melibatkan intervensi negara?
Sebelum menjawab itu, ada baiknya kita menelisik secara detail isi SKB 3 Menteri yang dimaksud. Pada Butir Ketiga tertulis “Dalam rangka melindungi hak peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu”. Berdasarkan butir ini saja sebagai contoh, saya masih bertanya-tanya, apa maksud kata “mengimbau” di situ? Apakah guru agama Islam, mislanya, dilarang mengimbau siswi Muslim mengenakan jilbab atau kerudung dalam pengajarannya?
Dengan memproblematisasi kata “mengimbau” saja, kita akan tersadar tantangan besar yang akan dihadapi oleh SKB 3 Menteri ini. Beda soalnya dengan mewajibkan yang mengandung unsur paksaan, semua orang sepakat bahwa itu tidak boleh dilakukan di sekolah milik pemerintah. Tidak hanya terhadap siswi nonmuslim, tetapi juga bahkan terhadap siswi muslim! “Tidak ada paksaan dalam agama” adalah dalil Al-Quran yang telah terang benderang maknanya.
Namun ketika “mengimbau” dilarang, jelas di sini ada problematik yang menantang. Seperti telah dikatakan, agama Islam yang menjadi pelajaran wajib di sekolah dasar dan menengah, termasuk yang milik pemerintah, cukup pasti mengandung pengajaran tentang jilbab atau, lebih luas lagi, aturan mengenai aurat. Bagaiamana sekarang ia mau diperlakukan? Apakah mau dihapuskan atau dimaknai ulang? Jangan sampai kontroversi konyol mengenai penghapusan kata “jihad” dalam materi pengajaran sekolah seperti dulu terulang.
Di luar perkara teknis penafsiran peraturan tersebut, SKB 3 Menteri menyentuh suatu perdebatan yang telah klasik dalam sejarah sosial politik Indonesia modern: nasionalis sekuler vs. nasionalis Islam. Kedua kubu ini telah ada sejak awal dan terus eksis hingga sekarang. Sulit disangkal SKB 3 Menteri lebih dekat dengan keinginan kelompok nasionalis sekuler daripada nasionalis Islam. Makanya tidak heran setelah SKB 3 Menteri itu tersebut, sejumlah kalangan menilai pemerintah yang sekarang berkuasa memang mengarahkan negara menjadi lebih sekuler—seperti pernah dialami oleh negara ini sebelum dekade 1990-an.
Apa yang dinilai oleh kalangan terakhir tidak terlalu mengada-ada. Sejak pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), lalu bergabungnya Prabowo Subianto ke dalam pemerintahan, konstelasi kekuasan memang berubah tajam. Dapat dikatakan aspirasi Islam politik yang tampil bebas di panggung negara sejak 1990-an sekarang dipaksa tiarap. Sementara itu, konsolidasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo telah berhasil mengambil alih argumen-argumen toleransi yang dikampanyekan sebelumnya sejumlah organisasi masyarakat sipil. Sekarang argumen-argumen itu menjadi milik negara. Mereka yang menolak peraturan pemerintah, tidak terkecuali SKB 3 Menteri, bisa segera dicap sebagai anti-negara
Konteks inilah yang membuat saya skeptis dengan SKB 3 Menteri. Tentu saja saya mengerti dan menyadari urgensinya. Bersama sejumlah kawan dari organisasi masyarakat sipil kami telah sejak lama menyuarakan problematik intoleransi, termasuk di sekolah. Terbitan terakhir kami di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Intoleransi dan Politik Identitas Kontemporer di Indonesia (2020) membahas itu. Namun perubahan konstelasi kekuasaan pasca-2019 membuat semua analisis dan kritik terhadap kondisi intoleransi harus dibingkai kembali.
Baca esai terkait:
- Bahaya Kadrunisasi
- Ketika Toleransi Menjadi Ideologi Resmi Negara
- Mengantisipasi Serangan Balik Islam Politik
Kembali ke soal pakaian dan atribut yang mengacu pada agama tertentu, perkara pokoknya sebenarnya terletak di arena sosial. Harus diakui terjadi tekanan kelompok atau komunitas kepada perempuan muslim untuk memakai jilbab atau kerudung. Ini adalah bagian dari revitalisasi agama (“conservative turn”) di ruang publik yang memuncak sejak 1990-an dan sesudahnya di mana pada saat yang sama pemerintah yang berkuasa memberikan dukungannya. Yang terjadi di SMKN 2 Padang adalah kasus yang luar biasa, sebab biasanya yang terjadi adalah tekanan di antara sesama komunitas muslim sendiri. Perempun muslim yang sekuler tidak suka dengan tekanan sosial yang seolah-olah mengharuskan mereka memakai jilbab. Bagi mereka, itu adalah intoleran.
Kalau perkara pokoknya terletak di arena sosial, lalu mengapa negara harus ikut turun tangan? Doktrin negara liberal yang bersandar pada prinsip rule of law memang memungkinkan hal itu terjadi. Negara harus memastikan baik “kebebasan dari” (freedom from) maupun “kebebasan untuk” (freedom for) terpenuhi. Namun apakah doktrin tersebut bisa efektif di masyarakat kita yang dituduh pada pengamat asing sebagai illiberal itu?
Bagi saya, efektif atau tidaknya suatu kebijakan sangat tergantung pada relasi antara negara dan masyarakat sipil yang seimbang—juga kekuatan pasar di sisi yang lain. Mungkin SKB 3 Menteri lahir dari motif yang luhur, yaitu mau memberantas intoleransi yang telah menggejala di sekolah-sekolah dalam 30 tahun terakhir. Namun karena diterbitkan ketika relasi negara dan masyarakat sipil timpang seperti sekarang, peraturan tersebut mengandung resiko yang mestinya dipertimbangkan.
Urusan SMKN 2 Padang pada dasarnya adalah perkara lokal yang sebaiknya juga diselesaikan secara lokal dengan melibatkan otoritas-otoritas masyarakat sipil setempat. Lagi pula, kita belum tahu perubahan konstelasi kekuasaan apalagi yang akan terjadi pasca-2024, bukan?
Baca esai-esai Amin Mudzakkir di sini