Sedang Membaca
Pemetik Puisi (22): Kota dan Agama
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pemetik Puisi (22): Kota dan Agama

Hasan Aspahani

Sekian tahun, omelan paling seru mengenai agama berlatar kota-kota, terutama Jakarta. Hajatan-hajatan politik biasa memunculkan agama. Sekian pengajian, udar pendapat, dan pemasangan poster-poster menjadikan agama masalah terbesar, terpenting, dan tergawat. Di Jakarta, segala hal itu menjadi berita di televisi, koran, dan majalah. Berita beredar cepat di media sosial, ditanggapi dengan sekian kocak, mangkel, sedih, dan pesimis. Pada abad XXI, Jakarta terlalu bermasalah dalam agama.

Isu-isu cepat besar. Para tokoh, pejabat, dan pengamat bergantian tampil memberi seruan menggunakan diksi-diksi (hampir) salam tapi berbeda kubu. Kita bosan menonton atau membaca berita. Hal-hal parah lekas menular ke pelbagai kota dan desa. Publik terbingungkan bahwa itu masalah agama berlatar Jakarta saja atau sengaja ada “pemerataan”. Masalah demi masalah membesar perlahan “dikempiskan” oleh pihak-pihak menjanjikan ada kerukunan, kedamaian, dan keadilan.

Kita menemukan dokumentasi agama dan kota melalui puisi gubahan Hasan Aspahani berjudul “Apa Agamamu, Jakarta.” Para penikmat berita mengetahui gelagat puisi merekam masalah-masalah hajatan demokrasi alias perebutan kekuasaan di Jakarta diramaikan masalah-masalah agama. Orang-orang mengetahui ada “pemboncengan” atau pemanfaatan. Akibat sulit dikendalikan adalah masalah-masalah menular atau “ditiru” di pelbagai kota.

Hasan Aspahani menulis: Jika sampai sesat/ di pos imigrasi negeri yang lain itu pun/ kota ini tidak akan dihadang pemeriksaan dengan pertanyaan:/ apa agamamu, Jakarta. Kita membaca bait mendokumentasi Jakarta terlalu sibuk dengan ribut penjelasan agama, bersinggungan politik dan bisnis. Agama mudah “dilebihkan” atau “disepelekan” saat Jakarta ingin mendapat tokoh-tokoh memperbaiki nasib kota. Sejak mula, agama “dipentaskan” mengabarkan kesalehan, kebaikan, ketulusan, kesederhanaan, kebahagiaan, dan lain-lain. Agama pun mudah teremehkan saat politik kebablasan menjadi “napas keseharian”.

Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (4): Pertanian Organik, Pertanian Maslahah Sesuai Turats dan Alam Indonesia

Hasan Aspahani melanjutkan: Mungkin, Jakarta akan tetap mencoba/ mengingat-ingat, nama-nama pahlawan dan jalan/ peta jalur trem, dan rumah-rumah dengan trotoar dan taman/ juga spanduk besar pengajia, dengan gambar ustazah, habib, dan/ iman// Mungkin, Jakarta tetap akan mencoba/ mengingat-ingat, sungai yang dangkal dan seseorang berkata,/ “bagaimana kau bisa berkaca di permukaan kotor itu?”// Padahal, kata Jakarta, itulah wajahmu dan wajahku, wajah kita itu.

Kota bersejarah panjang, dibentuk dan dimaknai para tokoh, dair masa ke masa. Ingatan atas masa lalu terbaca melalui nama, tanda, lambang, dan lain-lain. Jawaban untuk Jakarta memang tak mudah, setelah keburukan, kekeliruan, kebingungan, dan kegagalan terjadi ketimbang tersusun dari kebaikan, kesungguhan, keinsafan, dan kehormatan. Larik-larik terasa prihatin mungkin mengarah ke maklumat: “Jakarta punya agama.”

Perkara itu berbeda dari sodoran kalimat sebagai judul buku garapan Zeffry Alkatiri: Jakarta Punya Cerita (2012). Cerita telah terbentuk lama: “Pengaruh yang kuat dari masyarakat Betawi adalah keislaman dan kearaban yang masuk sejak abad ke-14. Fenomena tersebut antara lain dapat dilihat dari masih adanya masjid-masjid tua yang berdiri hingan saat ini.” Sejarah kota dan agama itu terbentuk memberi penguatan dalam pandangan hidup dan identitas. Pada masa mutakhir, agama di Jakarta terbaca dalam rentetan politis akibat sekian hal menghasrati kekuasaan: mengikutkan sejarah, identitas, dan pemaksaan tafsir.

Baca juga:  Mempertimbangkan Boikot Sebagai Bentuk Protes atas Konflik Israel-Palestina

Tangkapan dokumentatif masa mutakhir oleh Hasan Aspahani menghasilkan larik-larik sindiran: Maka pada suatu pagi yang disiarkan semua televisi/ Jakarta menjadi seseorang yang berjalan/ ke tempat pemungutan suara dan petugas di sana bertanya,/ “Namamu Jakarta? Di daftar pemilih namamu tak ada.”// Jakarta kembali ke Jakarta// Melewati Monas dan Gambir, Merdeka Selatan/ dan Teuku Umar, tak menghindar dari/ siapa saja yang mungkin akan bertanya,/ “apa agamamu Jakarta?” Kita membaca sambil mengingat masalah agama itu berkepanjangan sampai sekarang, masih saja berkutat persaingan pesona tokoh dan politik. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top