Sedang Membaca
Menengok Institut Kebudayaan Islam di Paris
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Menengok Institut Kebudayaan Islam di Paris

Beruntung sekali kami kemarin bisa mengunjungi lembaga ini. Namanya Institute des Cultures d’Islam. “Institut Kebudayaan Islam,” begitu bunyinya dalam bahasa kita.

Didirikan oleh pemerintah kota Paris, lembaga ini mempromosikan berbagai dimensi kultural Islam di seluruh dunia kepada publik Perancis. Islam bukan hanya Islam politik dan bukan hanya Arab sebagaimana sering dipersepsikan oleh sebagian masyarakat Barat.

Kami berdiskusi dengan dua orang pimpinannya, Stephanie Chazalou dan Beranice Saliou. Stepahnie adalah general manager, sementara Beranice adalah direktur seni. Keduanya menjelaskan program-program kerja mereka. Akhir tahun ini mereka akan menampilkan sebuah eksibisi seni tentang Jawa.

Yang menarik adalah lokasi di mana lembaga ini berada. Setelah keluar dari stasiun metro, kami segera menyadari tempat itu adalah Paris yang lain. Daerah ini, Goutte d’Or, sering disebut sebagai “no go zone”.

Menginjakkan kaki di Goutte d’Or akan terasa sekali daerah yang sangat multikultural, berbeda sepenuhnya dengan gambaran Paris yang turistik. Ini adalah daerah di mana stereotip tentang Afrika Utara dan Sub-Sahara bisa ditemukan dengan gampang.

Salah satu pertanyaan kami kepada Stephanie dan Beranice adalah, “Mengapa lembaga mereka dibangun di daerah seperti itu?”

Mereka tersenyum dan menerangkan bahwa memang itulah tantangan mereka selama ini: bagaimana menghapus berbagai stereotip mengenai Islam, termasuk yang melekat dengan kawasan Goutte d’Or yang menyeramkan, kepada publik Perancis yang sesungguhnya mempunyai persepsi yang sangat beragam.

Baca juga:  Kopi dan Masjid di Aceh

Saya kira usaha yang dilakukan oleh pemerintah kota Paris ini merupakan keprihatinan kita di negeri kita.

Saya menceritakan kepada Stephanie dan Beranice tentang proses reislamisasi yang berlangsung di Indonesia belakangan ini, yang lebih berorientasi politis. Jika tidak ditanggapi dengan kampanye Islam kultural, proses tersebut bisa berakibat fatal. Seolah-olah Islam hanya mengurusi kekuasaan politik yang saling baku hantam, tetapi melupakan dimensi kulturalnya yang sangat indah dan penuh kasih sayang.

Di Indonesia, kita berharap pada pesantren –kita bisa berdiskusi lebih dalam tentangnya– untuk melakukan penguatan Islam kultural: Islam yang dakwahnya tidak tergesa-gesa, Islam yang tidak menyulut perpecahan bangsa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top