Sedang Membaca
Gus Baha: Mendahulukan Ilmu, Baru Adab
Agil Mulya Gaffar
Penulis Kolom

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Prodi Ahwal Syakhshiyah.

Gus Baha: Mendahulukan Ilmu, Baru Adab

Gus Baha Sumber Masjid Ulil Albab Uii

Dalam sebuah kesempatan, Kiai Baha’uddin Nur Salim atau yang biasa dipanggil dengan Gus Baha menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan adab. Selama ini, saya sering mendengar narasi atau ‘doktrin’ yang menerangkan bahwa adab lebih utama daripada ilmu (al-adab fauq al-ilmu). Dengan sederet argumentasi tentunya. Tapi artikel ini akan menjelaskan sudut pandang yang berbeda dari sumber yang cukup otoritatif pula.

Pembahasan ini bermula dari perdebatan yang sering dialami Gus Baha dengan istrinya yang merupakan salah satu keluarga Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Adat pendidikan untuk anak di Sidogiri terbiasa mengajari untuk mendahulukan adab daripada ilmu. Sopan santun dan lain sebagainya.

Tapi hal ini berbeda dengan latar belakang Gus Baha yang sejak kecil diajari oleh bapak beliau untuk lebih mendahulukan ilmu daripada adab. Kata Gus Baha, ia -meski sampai sekarang- dibangunkan ketika tidur oleh anaknya untuk minta uang itu sudah biasa.

Bahkan misalnya, Gus Baha tidur dan anak beliau hendak ke WC tapi tidak berani, ya mereka membangunkan Gus Baha. Kejadian seperti itu sudah biasa sampai sekarang. Dulu, Gus Baha sering debat dengan istrinya, yang menurut istri Gus Baha kejadian seperti itu tidak sopan bagi anak.

“Cuma masalah uang saja, kok, sampai bangunin Bapak?!”

Tapi bagi Gus Baha begini,

“Baiknya memang begitu. Wong itu anakku. Itu anakku. Kalau butuh uang, masa minta ke orang lain?. Sudah benar minta ke bapaknya. Kamu ini aneh”.

Baca juga:  Juni dan Penggubah Puisi (1): Abdul Hadi WM; Penggubah, Penerjemah, Penafsir

Misalnya dia butuh uang lalu minta ke santri itu kan malah repot. Jadi, Gus Baha lebih percaya pada ilmu daripada akhlak/adab.

Lalu istrinya marah, “Dasar orang alim tidak bisa dibantah!”

Lama-lama setuju, “Dipikir-pikir masuk akal juga”.

Karena bapak Gus Baha dulu jarang mengajarkan adab. Yang diajarkan itu ilmu. Bagi bapak beliau, ilmu itu adalah segala-galanya, baru yang nomer dua itu adab.

Oleh karena itu, dalam kalimat thayyibah itu diawali dengan kalimat seperti ini :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا اِلَهَ اِلَّا الله

Artinya, “ketahuilah (pahamilah), bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah”.

Tidak masalah kamu baca kalimat itu dengan tidak sedikit tidak sopan. Tapi ilmunya permanen. Daripada sopan tapi tidak paham. Dalam kalimat thayyibah itu fa’lam (artinya: maka ketahuilah). Syukur-syukur kalau ilmunya benar dan akhlaknya benar.

Beda dengan anak sekarang. akhlaknya tertata, tapi ilmunya kurang memadai. Coba sekarang kita berpikir: anak itu anak kita. Dan kalau betul dibangunkan saat tidur itu korban, seharusnya korbannya anak itu adalah bapaknya, jangan orang lain.

Gus Baha sering kedatangan tamu, yaitu gus-gus dari pondok pesantren besar. Tapi ketika anaknya minta jajan, Gus Baha akan mendahulukan anaknya untuk membelikan jajan daripada menemui gus-gus itu. Karena Gus Baha adalah bapak dari anak-anaknya. Kalau anak-anaknya merepotkan, seharusnya yang menjadi korban adalah bapaknya. Jangan orang lain.

Baca juga:  Ulama Banjar (95): H. Syarkawi Berahim

Berbeda dengan keluarga Sidogiri: anak harus sopan pada orang tuanya. Berbeda dengan gaya pendidikan, latar belakang dan sosial-lingkungan yang mendidik Gus Baha seperti ini. Meskipun begitu, Gus Baha juga memberikan peringatan bahwa perdebatan seperti ini adalah perdebatan orang sholeh. Jadi tidak masalah. Artinya, visinya sama saja.

Yang repot itu perdebatan antara orang sholeh dan tidak sholeh. Semisal kata ibunya yang tidak sholeh, “sana minta uang pada kakekmu”.

Kata bapaknya, “tidak. Sana minta ke pamanmu!”.

Beginilah debat antara orang tidak sholeh. Anak-anaknya sendiri ditimpakan ke sana kemari. Nah, itu seburuk-buruknya debat. Karena menyuruh orang yang tidak terkait.

Oleh karena itu, dalam ilmu faroidh (warisan), kakek itu kan ahli waris. Ketika ada orang maninggal, kakek itu tidak mendapatkan warisan selama masih ada bapak. Istilah dalam ilmu faroidh itu mahjub (terhalang). Kalau ada bapak, maka kewajiban kakek itu juga mahjub (terhalang). Dalam faoridh itu mahjub. Di kewajiban juga mahjub.

Oleh karena itu, ngaji itu penting sekali. Makanya dari dulu, Gus Baha dan bapaknya itu seperti teman. Sekarang, Gus Baha dan anaknya juga seperti teman. Karena cara berpikir bapak Gus Baha begini,

“Kiai-kiai khusyuk itu aneh, Ha. Jaga wibawa, kok, di depan anak?!. Akhirnya ketika anak ingin pinjam motor, bukan pinjam ke bapaknya, malah ke tetangganya karena tidak berani sama bapaknya. Terutama di keluarga kiai”.

Baca juga:  Ulama Banjar (163): KH. Nur Salim Safran, Lc.

Kiainya punya motor, tapi anaknya malah pakai motor tetangga. Tidak berani pinjak ke bapaknya karena bapaknya terlalu kharismatik. Itu, kalau kata bapaknya Gus Baha, “ya itu sopan, tapi tidak nalar”. Hanya mendidik adab, tapi dia kan tidak mikir.

Kalau motor tetangganya dipakai anaknya, sedangkan tetangganya sedang butuh, mungkin tetangganya itu tetap hormat. Karena dia anaknya kiai. Tapi kan bisa saja dia sedang butuh. Artinya, korbannya bapaknya sendiri dong. Jangan orang lain. Itu cara berpikir bapaknya Gus Baha. Karena beliau merupakan pengagum ilmu.

Demikianlah ulasan tentang relasi ilmu dan adab. Bagaimana perbedaan dan keragaman ulama beserta latar belakang dan penguasaan khazanah keilmuan, membuat kita semakin bijak untuk menyikapi berbagai perisitiwa serta fenomena yang bermacam-macam.

Sehingga kita tidak saling menyalahkan. Lebih utama ilmu atau adab. Mereka memiliki landasan dan lingkungan yang berbeda, dan tentunya tidak bisa saling menjatuhkan antara satu dan yang lainnya. Lalu wawasan kita semakin luas dan lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan adalah rahmat yang tentunya harus kita syukuri.

Semoga bermanfaat. Sekian. Terimakasih.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top