Sedang Membaca
Mistisisme dalam Dunia Islam (1): Definisi, Pendapat Tokoh, hingga Pengendalian Diri
Ali Mursyid Azisi
Penulis Kolom

Penulis artikel ringan dan jurnal ilmiah. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Mistisisme dalam Dunia Islam (1): Definisi, Pendapat Tokoh, hingga Pengendalian Diri

Suluk Tempo.co

Dalam halnya dunia sufi (Tasawuf), untuk nama mistik sendiri yang biasa dipakai dalam islam banyak yang bertanya tanya apa yang ada di balik kata mistik tersebut. Banyak yang mendefinisikan atau menyebutkan bahwa mistik itu selalu berkaitan dengan hal yang sifatnya misterius dan sulit dijangkau jika dengan mengandalkan akal rasional bahkan dengan cara intelektualitas tidak cukup untuk mengetehui hal mistik tersebut.

Kata mistik sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang disebut dengan myein yang artinya menutup mata. Mistik sendiri kini disebut sebagai arus yang besar tingkat kerohanian yang mengalir dalam tiap agama. Jika diartikan secara umum atau luas, hal mistik ini juga dikatakan sebagai sebuah kesadaran diri manusia terhadap hal yang Maha Tunggal yang bisa juga disebut dengan nihil, cahaya, kearifan, cinta, penuh kasih sayang. Dengan kata lain adanya hubungan antara dengan Tuhannya di sini yaitu adanya sambungan/hubungan cinta yang tidak terucap. (Muzairi, Dimensi Perjalanan Mistik, 53).

Tetapi, definisi seperti ini hanyalah sebagai petunjuk bagi manusia yang biasa saja seperti halnya kita. Tujuan utamanya adalah bersatunya antara manusia dengan yang Ilahi (the transcendent realm). Dalam hal ini juga diperlukanlah suatu pengalaman seseorang baik itu melalui pikiran maupun indera yang berkaitan dengan pengalaman rohani seseorang. Ketika seseorang tersebut membebaskan dirinya dari sifat keduniawiannya atau ketergantungannya pada dunia atau dalam Islam disebut zuhud, maka cahaya yang ada dalam hatiya semakin terang yang biasa disebut oleh para sufi dengan menggosok cermin jiwanya sampai mengkilap.

Seorang psikolog dan juga sufistik yaitu Al-Ghazali pernah mengalami pengamalam puncak dari spiritual dengan motivasi yang disebut al-ma’rifah. Menurutnya, al ma’rifah adalah cahaya ilahi yang di tumpahkan/dihujamkan pada hati/kalbu yang bersih dan suci yang dikehendakinya (dikehendaki Allah). Jika ma’rifah ini dirasakan oleh seseorang makaorang tersebut akan mengalami pemyaksian musyahadah dan penyingkapan kasyaf terhadap ilmu yang sifatnya hakiki.untuk memperoleh ma’rifah sendiri perlu adanya penajaman zauq atau cita rasa sesudah penyucian diri dilakukan (tazkiyah al-nafs) dan juga riyadlah atau latihan.

Baca juga:  Abu al-Hasan al-Busyanji Dituduh Mencuri Keledai, Tetapi...

Sementara itu Abu Yazid al-Busthami yang juga merupakan seorang sufi dan juga psikolog juga mengalami puncak dari pengalaman spiritual yang beda dengan yang di alami al Ghazali, Abu Yazid mengalami penfalaman spiritual ini dengan menggunakan motivasi al-ittihad. Ittihad sendiri pada hakikatnya merupakan mystical union persatuan dari mistis dimana seorang sufi sudah mengalami peningkatan derajat kema’rifahannya melihat tuhan yang disitu hanya dengan melalui mata batin yang bersumber dari dalam hati sanubarinya yang bersih dan suci. Al-Busthami seringkali dalam kondisi ini mengalami theopatical atammering syatahat.

Husein ibn Mansur al-Hallaj juga mengalami pengalaman mistik, namun pengalaman mistik yang dialami oleh Husein ibn Mansur ini berbedan dengan kedua tokoh sufi di atas. Husein ibn Mansur al-Hallaj yaitu al hulul. Beliau mengisyaratkam hulul itu pada manusia dan tuhannya yang memiliki keterkaitan lahut wa nusul. Yaitu yang dimaksud adalah tuhan akan merasuk pada jasad manusia yang tergolong istimewa seperti halnya para imam dan Nabi.

Dengan dirasuki Tuhan inilah manusia mendapat kasab dengan sifat yang uluhiyah. Salah seorang tokoh sufisme yang jiga mengalami pengalaman mistik semacam itu adalah Ibnu Arabi. Karyanya yang berjudul Risalah al-Anwar fi ma Yumnah Shahib al-Khalwa min al-Anshar beliau menceritakan apa yang dialami oleh beliau selama beliau menerapkan dzikirnya secara terus menerus dan intensif. Pemahaman yang berbeda dari pengalaman mistik dikarenakan bersumber dari beberapa kajian yang juga pula beda antara agama, psikologi dan juga tasawuf. Maka dari itu dalam hal ini menggunakan istilah pengalaman religious karna adanya beberapa alasan yang perlu dijelaskan.

Baca juga:  Sabilus Salikin (100): Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (2)

Pertama, dari pengalaman religi yang dihasilkan bukanlah terjadi dalam proses yang tidak sadar, melainkan hal tersebut menggunakan metode atau sebuah usaha dengan cara yang sadar baik itu dengan dzikir dan hal yang lainnya yang disiti bertujuan untuk mendekatkan kepada-Nya. Kemudian dikenal sebagai jenjang menuju yang Esa, yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat, Ma’rifat.

Kemudian yang kedua yaitu dalam studi kajian dunia tasawuf yang akan mendapatkan pengalaman seperti itu hanyalah orang orang tertentu yang notabennya orang pilihan yang bersih hatinya baik akhlaknya dan tinggi ilmunya yaitu kalangan para Nabi, ulama, wali dan juga para sufi. Dalam psikologi Islam bahwa pengalaman religius dianggap sebagai ungkapan rasa religiusitas yang mana sudah tertanam di relung hati dari setiap insan.

Pengenalan diri yang terdapat dalam dunia tasawuf bisa dicapai dengan melakukan riyadhah al-nafs dan riyadha i-nafs keduanya tidak dapat dilakukan kecuali jiwa dari manusia itu telah mengalami penyucian. Al-Sarri al-Saqati berpendapat bahwa seseorang yang telah mencapai maqom ma’rifat sebaiknya ia mampu untuk mengendalikan dirinya.

Suhrawardi berpendapat bahwasanya tiap cahaya itu memiliki beberapa tingkatan intensitas dalam penampakannya, hal tersebut sangat bergantung dengan seberapa dekatkah ia dengan cahaya segala cahaya yang disebut dengan nur al-anwar, yang mana merupakan pusat dan sumber dari segala cahaya. Dikatakan paling sempurna cahaya tersebut jika semakin dekat dengan nur al-anwar yang kemudian dikatakan paling smpurnalah cahaya yang paling dekat dengan nur al-anwar tersebut dan juga sebaliknya.

Baca juga:  Fahruddin Faiz dan Catatan Ngaji Kitab al-Munqidz Min Adh-Dhalal Karya Al-Ghazali

Dunia sufi sendiri dalam melakukan konsentrasi pikiran terhadap obyek dan juga dalam membebaskan jiwa terhadap hal yang terbatas, dilakukan dengan cara meditasi yang hampir sama dengan meditasi dalam ajaran Buddha.  Meditasi yang dimaksud ialah sufi meditation yang dalam bahasa Arab disebut dengan muraqabah. Kontemplasi atau muraqabah ini dilaksanakan dengan posisi duduk dan juga memejamkan mata. Jika semakin sering si pelaku melaksanakan amal yang semacam ini maka semakin mudah pula ia merasakaan keadaan khusyuk (trance).

Salah satu tokoh psikologi Carl Gustav Jung juga berpendapat bahwa pengalaman religius itu dialami secara tidak sadar oleh manusia. ungkapan tersebut bermula dari teori-teorinya yang lebih dikenal dengan pemikiran alam bawah sadar yang kolektif collective unconsciousness mind. Ajaran agama Kristen setelah melalui masa pemurnian secara lama maka disebut dengan via purgativa dan orang yang mencari atau pencari bisalah mencapai tempat orang tersebut diberkati, kearifan dan juga cinta. Dari hal semacam itulah baru dapat mencapai suatu pencarian mistik yang  disebut unio mystica.

Hal tersebut dapat juga diungkapkan bahkan juga diyakini sebagai kolaborasi cinta yang disebut dengan visio beatifika, yaitu dimana tempatnya jiwa dapat menyaksikan apa apa yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera manusia yang juga diliputi dengan yang disebut dengan cahaya Tuhan, seperti itulah gambaran penyingkapan cadar ketidaktahuan, yang dimaksud adalah ciri-ciri dasar dari Tuhan dan juga makhluknya yang tertutupi yang disebut cadar ketidaktahuan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top