Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Kisah Hikmah Klasik (3): Alasan kenapa Nabi Ibrahim Diperintah Menyembelih Putranya

Seperti karamah, banyak yang mengira kalau kasyaf adalah titik kulminasi seorang dalam berislam atau bertasawuf. Kasyaf tak lain adalah terbukanya tabir yang Allah telah menutupnya. Jika terbukanya tabir itu untuk melihat segala macam hal di langit dan bumi, tapi bukan hal-hal rahasia yang ada pada orang lain, maka itu bentuk kasih sayang Allah pada hambanya. Ia diberi observasi baru. Tapi jika dibukanya tabir itu pada hal-hal rahasia orang lain, untuk menyebut anugerah, nanti dulu. “Seseorang yang diberi kasyaf rahasia-rahasia orang lain oleh Allah tapi tak punya mental rahmat, kasyaf hanya menjadi fitnah baginya!” Tegas Syekh Nawawi al-Jawi syarah Tabwibil Hikam.

Perluaslah Rahmat Allah

Kasyaf bagi manusia kebanyakan akan membuatnya pada dua kemungkinan. Kemungkinan yang terbaik dari keduanya tetaplah pahit. Pertama, ia tahu rahasia dosa seseorang sehingga ia akan menganggapnya pendosa dan lari darinya. “Padahal etikanya harus welas asih kepada para pendosa, belas asih kepada semua hamba Allah,” terang Penghulu Ulama Hijaz itu.

Memang, para ulama itu haruslah jembar rahmat. Hujjatul Islam Imam Ghazali dalam Faishalut Tafriqah dengan lantang berkata:

فاستوسع رحمة الله تعالى، ولاتزن الأمور الإلهية بالموازين المختصرة الرسمية

“Perluaslah rahmat Allah. Jangan timbang urusan Allah dengan timbangan formal!”

Baca juga:  Kisah-kisah Hikmah (1): Al-Asma’i dan Seorang Badui

Syekh Akbar Ibnu Arabi dalam mukadimah Fushushul Hikamnya menuliskan bait syair yang indah, dengan ujung syair berbunyi

هذه الرحمة التي # وسعتكم فوسّعوا

“Rahmat Allah yang menjangkau kalian semua ini, luaskan!”

Imam Sya’rani dalam al-Mizannya berkata “Adanya Allah berkata kalau rahmatnya mendahului murkanya sebab Allah Maha Tahu bahwa makhluknya lebih banyak melakukan hal durhaka!”

Kemungkinan kedua akan dibuka hijab darinya sehingga bisa melihat para kekasih Allah, bukannya kian iman dan kuat i’timadnya pada Allah malah ia condong ke wali tersebut. Wali yang ditunjukkan oleh Allah bukannya menjadi perantara dia ke Allah, justru malah menjadi hijab antara dia dan Allah. Atau malah-malah, sudah tahu dia wali tapi malah memusuhinya, celakalah dia sebagaimana ancaman Allah dalam hadis kudsi “Siapa yang menyakiti waliku, maka ia telah menantangku,”. Musnahlah orang yang menantang Allah.

Karenanya, para ulama banyak yang berdoa agar dijauhkan dari kasyaf, sebab kasyaf melihat aurat orang lain yang Allah telah menutupnya. Ia lebih dekat ke fitnah daripada anugerah.

Nabi Ibrahim kerap dibuka tabir alam malakut sehingga ia bisa melihat hal-hal ghaib. Ia mendapati orang-orang bermaksiat pada Allah. Spontan kesalnya ia berdoa keburukan untuk orang tersebut hingga binasalah dia. Saking seringnya mendoakan keburukan bagi para pendosa itu, Ibrahim diberi teguran Allah “O, Ibrahim, doamu itu mustajab, berhentilah mendokan keburukan pada hambaku!”

Baca juga:  Keindahan Salat Malam Ramadan

Kekesalan leluhur para nabi itu beralasan. Dalam ilmu Tazkiyatun Nufus atau Tasawuf ada idiom populer yang mengatakan “Jika engkau berbuat dosa, jangan lihat kecilnya, tapi lihatlah pada siapa kamu berbuat dosa! Itu Allah Yang Maha Kuasa!”. Sebagai Khalilullah, ia tak sampai hati melihat orang-orang berbuat dosa.

Syekh Nawawi al-Jawi dalam Mishbahuzh Zhulam saat menjelaskan untaian kalam dari al-Hikam nomor 134, beliau menukil alasan kenapa kemudian Nabi Ibrahim diperintah menyembelih putranya sendiri.

Tiap malam ia diberi fasilitas Mikraj (perjalanan ke langit). Saat mikraj ia melihat orang-orang berbuat dosa, lantas ia berdoa “Ya Allah, musnahkan dia. Dia makan dari rizkMu, berjalan di persada bumiMu, tapi menyeleweng dari perintahMu,”. Doa itu senantiasa diucapkan ketika diperlihatkan orang-orang durhaka. “Cukup, Ibrahim, cukup! Pelan-pelan dengan umatku!”

Setelah itu ia dalam mimpinya diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya. Putra yang ia tunggu kehadirannya dan amat disayangi. Siapa yang disembelih ulama berbeda pendapat antara Ismail dan Ishaq. Meski tak sedikit yang menyatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq, tapi yang masyhur di masyarakat adalah Ismail.

Ketika ia akan mulai menggorokkan pisaunya, ia meratap “Ya Allah, ini buah hatiku dan orang yang paling aku sayangi,” lantas ia mendengar suara “Ingatkah engkau pada malam di mana engkau meminta kemusnahan hambaku? Bukankah engkau tahu aku amat menyayangi hambaku sebagaimana engkau sayang sama anakmu? Jika engkau terus memintaku memusnahkan hambaku, aku juga akan memintamu menyembelih anakmu satu persatu,”

Baca juga:  Dokter Beragama Nasrani Masuk Islam di Tangan Syekh As-Syibli

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top