Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Makna Keluarga Nabi dalam Selawat

Allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

Sebagai orang muslim, selain salat juga ada selawat—atau dalam KBBI disebut dengan selawat, dua hal yang paling tidak bisa kita tinggalkan dalam keseharian. Apalagi tren musikalisasi selawat kian mendominasi dan dekat dengan masyarakat secara umum.

Saking pentingnya selawat, salat tanpa selawat pada Nabi tidak akan dianggap absah secara fikih. Ia duduk tegak menjadi salah satu tiang inti salat. Jika ia ditiadakan maka tentu cacat.

Di sini saya sedang tidak berbicara tentang selawat, tapi lebih ke membahas rentetan narasi yang diikutkan pada Nabi dalam selawat, khususnya makna dari diksi “aal” yang bermakna “keluarga” atau “kerabat Nabi”.

Terlebih terdapat larangan, sebagaimana dinyatakan oleh Syekh al-Amir al-Kabir dalam hasyiah atas Jauharatut Tauhid, berselawat atas Nabi tanpa menyusulkan aal setelahnya. Selawat yang tidak menyusulkan “aal” disebut dengan selawat buntung (al-batra’). Lantas siapakah maksud keluarga yang selalu kita “langitkan” dalam selawat?

Pertanyaan ini menunjukkan bahwa para ulama berbeda dalam memilih dan menentukan makna dari keluarga Nabi. Untuk mengurainya dengan tepat, para ulama memberikan kaidah bagus dalam memaknai “aal”.

Maksud dan makna dari “aal” tidak boleh dilepaskan secara liar ataupun dimonopoli oleh sebagian umat, maka dari itu maksud dari “aal” berbeda mengikuti konteks. Konteks keluarga Nabi biasa disebutkan dalam tiga tempat: Zakat (maqaamuz zakat), Doa (maqaamud du’a) dan Pujian (maqaamul madah).

Baca juga:  The Insult: Membuka Kembali Luka Sejarah Lebanon

Selanjutnya makna “aal” secara tepat dapat kita temukan jika mendudukan pada konteks dari tiga konteks tersebut.

Pertama, dalam kaitannya dengan zakat. Dalam bab zakat, Nabi dan keluarganya tidak boleh menerima zakat—berikut sedekah. Nah keluarga Nabi yang dilarang menerima zakat ini siapa saja?

Abdu Manaf memiliki empat anak: Hasyim kakek Rasulullah dari ayah, Muthalib moyang Imam Syafii, Abdu Syams dan Novel.

Imam Malik menyatakan bahwa kerabat Nabi yang dilarang menerima zakat adalah muslimun dari Bani Hasyim saja.

Sementara Imam Syafii menambahkan satu lagi, yaitu muslimun dari Bani Muthalib. Jadi, kerabat Nabi dalam konteks ini hanya dua yang disebut pertama, dua terakhir tidak masuk. Selain itu, dua keluarga terakhir justru sangat memusuhi Nabi.

Dari sini, apakah “aal” yang dimaksud dalam selawat kita sehari-hari hanya kembali pada dua keluarga di atas?

Sementara ulama mengatakan iya. Bahkan bukan hanya dua keluarga itu saja, tapi juga pada anak cucu Rasulullah dari Ali dan Fatimah. Makna itu selalu berlaku baik selawat dengan narasi yang umum seperti allahuma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi (Ya Allah curahkan selawat atas Muhammad dan kerabatnya juga para sahabatnya) ataupun selawat dengan narasi “aal” dimaksudkan secara khusus ke keluarga Nabi seperti mukadimah kitab Taqriib anggitan Syekh Abu Syuja’: wa shallallahu ‘ala sayyidina muhammadinin nabiyyi wa aalihi at-thaahiriin (Semoga Allah senantiasa mencurahkan selawat atas Sayyidina Muhammad dan kelurganya yang suci)

Baca juga:  Pegon Melayu, Lestari di Malaysia

Kalau lihat konteks, bahwa aal dengan makna kerabat Nabi secara hakiki hanya ketika narasi selawat menunjukkan bahwa itu untuk keluarga sebagaimana dalam contoh kedua, kalau contoh pertama maka masih umum.

Kedua, dalam konteks doa. Selawat secara bahasa seakar dengan salat yang bermakna doa. Selain dari pada itu kita berselawat dalam rangka melangitkan doa. Sebab, sebagaimana makna yang masyhur, bahwa selawat yang datang dari kita, selain Allah dan malaikat, bermakna doa.

Jika “aal” dalam selawat mengiriskan doa maka “aal” tersebut maksudnya adalah seluruh kaum muslimin, sekali lagi seluruh kaum muslimin, baik yang saleh maupun pendosa. Terlebih pendosa lebih membutuhkan doa daripada yang taat, bukan? Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama memaksudkan selawatnya dalam kitab-kitab atau nazamnya dalam konteks doa. Misal seperti nazam khariidarul bahiyah-nya Syekh ad-Dardiri.

Ketiga, dalam konteks pujian. Jika “aal” dalam selawat dinarasikan pujian, maka yang masuk di situ adalah mereka seluruh kaum muslimin yang saleh nan bertakwa saja, pendosa tidak masuk sebab pendosa tidak pantas dipuji, terlebih jika pujian itu diikat dengan Rasulullah dalam satu kalimat. Makna ini sah sebab Rasulullah bersabda:

“Keluarga Muhammad adalah seluruh orang yang bertakwa.” Maka masyhur dikatakan bahwa Salman al-Fairis adalah kerabat Nabi karena ia pribadi yang saleh dan taat. Rasulullah tidak mengatakan “Saya kakek atau nenek moyang orang-orang yang bertakwa”.

Baca juga:  Adat Istiadat Keumaweuh (2): Menggali Jenjang Tradisi Keumaweuh Masyarakat Aceh

Dalam konteks ini, bisa saja keturunan Rasulullah yang tidak saleh lagi bertakwa—semoga Allah menjaga keturunan Rasulullah dari dosa-dosa—tidak masuk dalam konteks selawat yang ini. Misal kita berselawat dengan redaksi yang dicontohkan oleh Syekh al-Baijuri: Allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammadin wa ‘ala aalihi al-ladzina ikhtartahum litha’atik (Ya Allah curahkan selawat atas Sayidina Muhammad dan keluarganya yang telah Engkau pilih taat kepadamu).

Dari sini kita tahu, bahwa aal atau kerabat Nabi dalam selawat juga yang lain menyandang ragam makna yang berbeda sesuai konteks dan juga maksud pelafal selawat itu sendiri, sebagaimana Syekh ad-Dardiri dalam Khariidatul Bahiyah yang mengatakan:

…wa aalihi wa shahbihi al-athhaari…. Meski di situ beliau memberi sifah suci (al-athhaar) yang berarti maksud secara lahirnya adalah keluarga Nabi dengan makna sebenarnya, akan tetapi dalam syarah atau penjelasnya beliau menyatakan bahwa maksudnya dalam konteks doa bukan yang lain, berarti aal dalam nazhamnya tersebut bermakna seluruh umat Islam, baik yang taat ataupun pendosa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top