Sedang Membaca
Warisan Kuliner Istana Prawoto: Membaca Berita dalam Serat Centhini
Ali Romdhoni
Penulis Kolom

Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang

Warisan Kuliner Istana Prawoto: Membaca Berita dalam Serat Centhini

Pemberitaan dalam Serat Centhini merekam eksistensi istana Prawoto yang telah dikosongkan pemiliknya, para raja kesultanan Demak Bintara. Istana Prawoto digambarkan dengan estetika, warisan kuliner, dan etika kehidupan kesehariannya.

Tidak hanya itu, serat yang lahir atas prakarsa raja Kasunanan Surakarta, Sinuhun Pakubuwana V (1820-1823 M) ini juga menjelaskan berbagai jenis buah-buahan yang tumbuh di alam pegunungan kapur di sekitar istana Prawoto. Jelasnya, Serat Centhini telah melukiskan dengan detail keberadaan istana Prawoto.

Saya berkesimpulan, raja Surakarta yang juga dikenal sebagai Sunan Sugih itu telah menerjunkan seorang peneliti untuk datang langsung ke Prawoto, dan tinggal di sana dalam hitungan waktu yang cukup. Wajar bila akhirnya sang penulis serat yang semula bernama Suluk Tambangraras ini bisa menceritakan keberadaan istana Prawoto dengan baik.

Syahdan, istana Prawoto kedatangan seorang tamu bangsawan, kerabat dekat kasepuhan Giri Kedathon, yaitu Raden Jayengresmi. Perjalanan putra Sunan Giri Prapen hingga sampai di Prawoto ditemani oleh dua orang abdi setianya, Gathak dan Gathok. Sementara istana Prawoto yang sudah tidak lagi didiami raja saat itu dirawat oleh Kiai Lurah Darmajati.

Bermula dari pertemuan kedua belah pihak kemudian terjadi diskusi, khususnya dalam pembahasan mengenai seluk beluk istana Prawoto, istana para raja kesultanan Demak. Sebagai tuan rumah sekaligus tokoh sepuh yang berdiam di dekat istana Prawoto, Darmajati membuka rahasia mengenai istana itu.

Lebih lanjut, lurah yang disebut dalam Serat Centhini memiliki putri cantik semata wayang itu mengenalkan kuliner khas Prawoto, yang tidak lain adalah warisan kekayaan budaya istana Prawoto. Selain kuliner, Darmajati juga menunjukkan segala jenis buah-buahan yang dihasilkan dari alam di sekitar istana yang subur.

Buah-buahan khas dari Alam Pegunungan sekitar Istana Prawoto

Matahari sudah condong ke barat. Waktu shalat Ashar pun baru saja berlalu. Mengetahui bakal segera ada seorang tamu dari jauh, Kiai Darmajati memberitahu istri dan anaknya. Pertama-tama, anggota keluarganya diminta untuk memetik buah-buahan dan aneka hasil tanaman yang bisa diolah menjadi menu masakan khas.

“Bu, ajak anakmu untuk memetik buah dan sayuran yang segar,” perintah Darmajati pada istrinya.

“Dan bila sudah cukup, siapkan hidangan yang pantas untuk tamu-tamu kita, ya” lanjut Darmajati.

“Hèh bokne Nok dèn agupuh, maranga têgal pribadi, kalawan atmajanira, sawuse sira ngundhuhi, apa saisining têgal, banjur olahên kang bêcik” (Serat Centhini).

Baca juga:  Dialog Habib Utsman dengan Masyarakat tentang Sedekah Laut

Selanjutnya Serat Centhini menyebutkan satu persatu jenis buah-buahan khas alam pegunungan Prawoto yang mashur dan galib dihidangkan kepada para tamu agung yang datang. Terlebih, hal ini masih ada kaitannya dengan tradisi kebangsawanan dan aturan yang dipegang para penerus (pewaris) dan kerabat dari istana Prawoto.

Buah-buahan itu antara lain: jambu dersana, manggis, rambutan, juwet (dhuwet), delima, jeruk (keprok), salak, dan mangga. Berdasarkan pemberitaan dalam Serat Centhini, delapan jenis buah ini identik dengan Prawoto (istana Prawoto).

Serat Centhini menyebutkan:

“Mênok angundhuha jambu, dêrsana kalawan manggis, kêpêl kokosan rambutan, dhuwêt pulih aja kari, lan dalima ingkang tuwa, jêruk kêprok salak mêdhi. Pêlêm santok sêngir madu, pilihana kang matêng wit…”

Di sini menjadi jelas, hingga Serat Centhini ditulis, kekhasan istana Prawoto terutama dalam hal kekayaan buah-buahan yang dimiliki masih terjaga. Dewasa ini pun beberapa jenis buah yang disebut di atas masih tumbuh dan bisa dijumpai di Prawoto. Tentu masih ada banyak lagi jenis buah yang keluar dari alam pegunungan Prawoto dan sekitarnya.

Kuliner Warisan Kerabat Istana Prawoto

Selain berbagai jenis buah-buahan, dari Serat Centhini kita juga bisa mengetahui bahwa kerabat istana Prawoto mewariskan kekayaan pengetahuan dan budaya kuliner khas. Dikisahkan, Nyai Darmajati sore itu juga menyiapkan hidangan beraneka ragam untuk menyambut tamu suaminya. Ini dia lakukan setelah mendapat perintah dari sang suami.

“Wis mangsa bodho sirèku, pikirên lan bokmu nyai, aywa na ingkang kuciwa… (artinya, Aku percayakan sepenuhnya kepadamu, istriku. Jangan sampai ada yang mengecewakan),” demikian kata Darmajati pada istrinya, sebagaimana tertulis dalam Serat Centhini.

Puthu beralaskan daun pisang kemudian dibungkus daun pohon jati. Makanan ini masih bisa diketemukan di pasar tradisional di Prawoto, meski mulai jarang (Foto: Penulis)

Adapun menu masakan yang disiapkan Nyai Darmajati adalah sayur bening, sambal jagung, sayur menir, pecel ayam panggang, lalapan kemangi, ayam betutu, ayam betina goreng, gesek ikan kutug (gabus) yang dipecel, sambal bawang merah dengan lalap seledri, sunti (tunas) bawang putih sebagai penambah rasa kecut, dan lalapan mentimun.  

Serat Centhini menuliskan:

“…Olaha jangan bêningan, sambêl jagung jangan mênir, pêcêl ayam kang kumanggang, lalaban cambah kêmangi. Bêtutu ayam ywa kantun, lan gorengan ayam èstri, gèsèk-kutug gêgêpukan, sambêl brambang lalab slèdri, kêkêcutan sunthi bawang, lawan katimun sumêrit.”

Selain itu masih ada lagi menu pelengkapnya, yaitu sambel goreng (berbahan utama tempe), campuran udang dan hati, rambak, petis. Tentu tidak ketinggalan menu utamanya, nasi liwet dan ayam jantan.

Baca juga:  Rokat Sang-Pasang: Islamisasi Tradisi Hindu di Madura

“Sambêl gorèng kring ywa kantun, urang campurên lan ati, rambak kulite kang ayam, pêtis kang wus kok bumboni, sêga lêmês sêga akas, liwêt pitik jago biri” (Serat Centhini).

Jenis minumannya pun beragam dengan rasa bervariasi. Antara lain: wedang kopi dengan gula tebu, wedang cara, dan wedang blimbing. Demikian pula dengan beragam makanan kecil sebagai pelengkap hidangan. Antara lain: puthu, semar mendem, aneka criping, dan pisang goreng.

Serat Centhini menyebutkan:

“Wedang kahwa gula têbu, saringên têpas kang rêsik, nyanyamikan puthu-têgal, carabikang mêndut koci, sêmar mêndêm buntêl dadar, kinopyok ing santên kanil.”

“Wedang ronning blimbing wuluh, sing anyêp rêndhêmên warih, rêrêmikaning dhaharan, criping kaspe criping linjik, pisang gorèng nganggo gula, criping tela karag gurih.”

Etika dan Estetika dalam Perjamuan Tamu

Sampai akhirnya, semua jenis masakan hampir siap untuk dihidangkan, seiring dengan perjalanan Kiai Darmajati mengajak tamu-tamunya untuk melihat bangunan istana, serta beberapa tempat penting petilasan raja-raja kesultanan Demak Bintara. Waktu shalat Magrib menjelang, Darmajati mengajak tamunya kembali ke rumah.

Di pendapa, lampu-lampu berbahan bakar minyak jarak menerangi ruangan. Darmajati kemudian menemuai istrinya yang sejak awal menyiapkan aneka hidangan yang dia pesan. Jayengresmi dipersilahkan duduk di kursi tamu. Sementara kedua pengikut setianya, Gathak dan Gathuk lebih memilih duduk di emperan atau teras pendapa.

Tidak beberapa lama, putri semata-wayang Kiai Darmajati keluar menuju pendapa membawakan minuman, kemudian nyamikan (makanan ringan). Lirih tapi jelas, terdengar suara Nyai Darmajati menyapa tamunya, ramah.

“Silahkan, raden. Mangga dicicipi, seadanya,” kata Darmajati tidak mau kalah dengan istrinya yang telah lebih dulu mempersilahkan.

“Darmajati aturira aris, sumangga sang anom, kaparênga ngunjuk sawontêne, myang nyanyamik wêdalaning ardi…” (Serat Centhini).

Jayengresmi menuruti kata-kata sang tuan rumah. Dicicipinya semua hidangan ringan di depannya. Tidak terkecuali minumannya. Gathak dan Gathuk apa lagi, kecepatan keduanya dalam menyantap nyamikan mengalahkan tuannya.

Dikatakan dalam Serat Centhini:

“…(n)dhêku Jayèngrêsmi, wedang wus ingunjuk. Sarwi dhahar cariping kaspèi, têlas tigang kêthok, Gathak Gathuk tan beda suguhe, kacung ngriku nêdha dènrahabi, bikut rarywa kalih, ngombe srupat-sruput. Angathêmil nyamikan pat piring, gasik lir sinapon…”

Meja tamu di pendapa rumah Darmajati menjadi saksi keakraban mereka. Namun waktu salat Maghrib menghentikan jamuan sore itu. Darmajati kemudian mengajak para tamunya untuk bergeser menuju masjid guna menunaikan ibadah salat Maghrib.

Baca juga:  Tradisi Al-Azhar: Muazin Harus Tunanetra

Kiai Lurah itu buru-buru memberi petunjuk kepada istrinya, bahwa jamuan makan inti baru akan dilaksanakan setelah jamaah shalat Isya. 

“…Manjing Mahrib alinggar rahadèn, maring langgar ki wisma umiring, dumuginya masjit…” (Serat Centhini).

Sampai di masjid, Gathuk segera mengumandangkan azan, petanda ajakan untuk mendirikan salat. Selesai azan, mereka salat sunah dua rakaat. Setelah salam, Gathuk cepat-cepat mengucapkan iqamat. Setelah itu, mudah diduga, mereka yang sudah di masjid melaksanakan salat Maghrib berjamaah.

Setelah salam, Jayengresmi, Gathak, Gathuk (dan mungkin juga Kiai Darmajati) tidak langsung bubar, melainkan membaca doa dan wirid sampai masuk salat Isya. Iya, Jayengresmi dan dua santrinya bertahan di masjid sampai selesai mendirikan salat Isya.

“Kawarnaa kang ana ing masjid, Gathuk adan gupoh, bakda sunat kinamatan age, nulya parlu usali Mahribi, bakda apupuji, têkèng Ngisa-nipun” (Serat Centhini).

Sekembalinya dari masjid, selesai shalat Isya, Darmajati mendapati putrinya telah selesai menyiapkan makan malam, untuk mereka sekeluarga dan juga tamu. Iya, jamuan makan malam tetah terhidang. Meja makan berlapis kain berenda. Aneka jenis makanan memenuhi hampir seluruh permukaan meja.

Sembari menunggu para peserta jamuan, kain putih bersih melindungi seisi meja dari segala kemungkinan, meski hanya udara malam yang bisa merebut bau sedap yang keluar dari hidangan. Dilah (lampu) oncor brenggala menerangi ruangan, menciptakan suasan makan malam yang tidak biasa. 

“Tata dhahar nèng bangku sinamir, tinutup ing lawon, dilah thonthor brênggala liline…” (Serat Centhini).

Kiai Darmajati kembali ke masjid, mengajak para tamunya yang telah sempurna melakukan shalat dan membaca wirid untuk kembali ke rumah.

“Kyai Darma mring langgar ngaturi, ing sang prawira nom, bilih sampun paragat pêrlune, bok-paduka (ng)gènnira sasaji, dhaharnya sang pêkik, mangkya sampun rampung” (Serat Centhini).

Darmajati sekeluarga, dan juga para tamunya menikmati hidangan. Mereka larut dalam keakraban di meja makan. Batas-batas kelas sosial dan status kebangsawanan mereka pudar, kalah dengan asap yang keluar dari cething bambu berisi nasi liwet.

Pelan-pelan Jayengresmi mencicipi makanan yang ada di depannya. Di ujung meja, Gathak dan Gathuk mulai tak nyaman duduk. Akhirnya dia tersadarkan, ikat pinggang harus dikendorkan. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top