Sedang Membaca
Kasyfu Tabarih Fii Bayani Shalat Tarawih, Kitab Mbah Kiai Fadhol Senori yang Membahas tentang Shalat Tarawih
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Kasyfu Tabarih Fii Bayani Shalat Tarawih, Kitab Mbah Kiai Fadhol Senori yang Membahas tentang Shalat Tarawih

Kasyfu Tabarih Fii Bayani Shalat Tarawih

Menjelang datangnya bulan Ramadan, polemik tentang perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih seakan tidak ada habisnya. Hal tersebut seakan menjadi bahan perdebatan tiap tahun menjelang dan ketika bulan Ramadan. Untuk menyikapi beragam ikhtilaf terkait jumlah rakaat shalat tarawih, maka Kiai Fadhol dari Senori, Tuban, menyusun kitab tersendiri yang mengupas secara mendetail berkaitan dengan shalat tarawih dengan judul, “Kasyfu Tabarih Fii Bayani Shalat Tarawih”.

Kitab yang tebalnya sebanyak 19 halaman ini membahas secara detail perihal shalat tarawih. Sebagai bab pembuka, Mbah Fadhol menguraikan secara terperinci dalil hadits shahih yang diriwayatkan oleh para sahabat radhiyallahu anhu. Menginjak pada bab kedua, Mbah Fadhol menerangkan secara detail tentang kaifiyah atau tata cara pelaksanaan shalat tarawih yang riwayatnya bersumber dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat.

Pada bab ketiga, Mbah Fadhol menguraikan jumlah rakaat dalam shalat tarawih dan perbedaan redaksi dalam hadits berkaitan dengan jumlah raka’at shalat tarawih yang diriwayatkan oleh para sahabat. Kemudian pada bab penutup, Mbah Fadhol meluruskan beberapa persepsi di kalangan masyarakat awam yang sampai saat ini dianggap sebagai suatu penyimpangan oleh kelompok yang lain.

Sebagai contoh, yakni perkataan Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau menggerakkan umat Islam untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah di masjid Nabawi pada masa beliau memimpin sebagai Khulafaur Rasyidin. Setelah sukses menggelar shalat tarawih perdana secara berjama’ah di masjid Nabawi, beliau kemudian berkata, “Paling nikmatnya bid’ah adalah yang kulakukan ini (shalat tarawih secara berjama’ah di masjid)”. Kemudian muncul pertanyaan, apakah perkataan Sayyidina Umar tersebut menyalahi hadits Rasulullah yang berbunyi,”Setiap bid’ah adalah suatu kesesatan dan setiap kesesatan, maka tempat kembalinya di neraka” ?.

Baca juga:  Kesetaraan Gender dalam Kitab Adabul Mar’ah Karya Kiai Utsman Al-Ishaqi

Maka untuk menyikapi permasalahan ini, Mbah Fadhol menjawab bahwa penggunaan diksi “bid’ah” dalam hal demikian ada dua penggunaan. Pertama, penggunaan kata “setiap” atau “kullu” yang dimaksud dalam hadits teresebut tidak semuanya disandarkan kepada suatu hal yang buruk. Selama bid’ah yang dimaksud itu tidak menyalahi perintah agama dan tujuannya untuk mengagungkan Allah dan Rasul–Nya, maka bid’ah tersebut tidak termasuk perbuatan yang sesat atau biasa disebut dengan bid’ah hasanah. Kedua, apabila diksi “bid’ah” digunakan setelah wafatnya Nabi shalallahu alaihi wa sallam untuk melakukan suatu perbuatan baru yang menyalahi kitabullah, sunnatullah, dan kaidah-kaidah syari’at, maka bid’ah yang semacam ini termasuk dalam kategori bid’ah dholalah atau bid’ah yang mengandung unsur menyesatkan.

Mbah Fadhol pun dalam kitab ini kemudian menyimpulkan, bahwa diksi “bid’ah” yang termaktub dalam hadits di atas tidaklah bersifat umum atau global, namun bersifat “Amm Khos (umum terkhususkan)”. Waba’du, sebagai penutup kitab yang rampung ditulis pada tanggal 24 Ramadhan 1386 Hijriah, Mbah Fadhol menyitir hadits Rasulullah yang berbunyi, “Ikutilah sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rasyidin setelahku yang mereka telah mendapatkan petunjuk”. Wallahu ‘Alam Bisshowab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
4
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top