Sedang Membaca
Dzikir Nasyid atau Banasyid: Tradisi Unik Masyarakat Banjar dalam Berdzikir
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Dzikir Nasyid atau Banasyid: Tradisi Unik Masyarakat Banjar dalam Berdzikir

Keterangan : Abah Guru Sekumpul Berdzikir Nasyid bersama Habib Muhammad bin Abdurrahman Al Ahdal Mekkah.

Seluruh penjuru Tanah Air pada Minggu malam kemarin (5/1) seakan dibuat takjub dengan peringatan Haul Abah Guru Sekumpul ke-20 yang jatuh tiap bulan Rajab tanggal 5. Haul yang dihadiri kurang lebih 4 juta jama’ah dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara tersebut tentunya memiliki dampak positif dalam menggerakkan roda perekonomian masyarakat Martapura.

Jika pada umumnya peringatan haul seorang ulama identik dengan pembacaan surah Yasin, tahlil, serta pembacaan biografi ulama yang dihauli, maka ada hal yang berbeda nan unik dalam peringatan haul seorang ulama yang diadakan oleh masyarakat suku Banjar.

Peringatan haul di tanah Banjar biasanya dibuka dengan pembacaan maulid nabi, kemudian diteruskan dengan pembacaan tahlil singkat, lalu terkadang diadakan pula pembacaan kitab Dalail Khairat Imam Jazuli secara berjama’ah, yang kemudian setelah do’a-do’a dilantunkan, diadakanlah tradisi dzikir nasyid atau orang Banjar biasa menyebutnya “Banasyid”.

Terkait siapa yang pertama kali membawa tradisi Banasyid atau dzikir nasyid di Jazirah Borneo ini, kita dapat melihat pada sebuah kitab yang berjudul “Al-Qashaid Lii Syaikh Al-‘Ilmi Al-Allamah Muhammad Arsyad Al-Banjari Al-Kalampayan” karya almarhum Guru Hudari.

Dari kitab yang dicetak khusus dan terbatas ini dapat diindikasikan bahwa yang pertama kali membawa praktek dzikir nasyid di tanah Borneo khususnya daerah Banjar adalah Syaikh Arsyad Al-Banjari atau biasa dikenal sebagai Datuk Kalampayan.

Baca juga:  Islam di Banjar (1): Ritual, Makhluk Gaib hingga Tingkah Generasi Milenial

Dalam sebuah thesis yang ditulis oleh Ibrahim Idrus ketika ia menganalisa praktik dzikir nasyid yang dilangsungkan di Majelis Ta’lim Bani Isma’il asuhan Almarhum Guru Banjar Indah/KH. Syaifuddin Zuhri. Dzikir nasyid ini memerlukan pengajaran atau bimbingan khusus dan tidak sembarangan orang mempraktikkan dzikir nasyid ini tanpa ada arahan dari seorang guru, disebabkan jika seseorang mempraktikkan dzikir nasyid tanpa bimbingan seorang guru yang sudah memiliki lisensi/ijazah, maka hal– hal yang tak diinginkan akan menimpa seseorang tersebut.

Jika kita amati dengan seksama, praktek dzikir nasyid ini hampir sama pola penerapannya dengan tarian para darwish di Turki yang ajarannya digagas oleh Jalaluddin Ar–Rumi. Namun yang membedakan adalah jika dzikir nasyid hanya menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri seraya membaca pujian kepada Allah dan Rasulullah dengan suara jahr/keras, maka tari para darwish di Turki identik dengan memutarkan tubuh secara terus menerus dengan arah melawan jarum jam sampai sya’ir-sya’ir yang dibacakan telah usai.

Dalam kitab karangan Guru Hudari yang juga memuat sanad ijazah dzikir nasyid tersebut, dapat kita ketahui bahwasannya Datuk Kalampayan atau Syaikh Arsyad Al Banjari menerima ijazah tersebut dari gurunya di Mekkah yang bernama Syaikh Athaillah bin Ahmad Al Makki.

Baca juga:  Tradisi Apresiasi Sastra; Dari Pasar Seni Di Jazirah Arab Hingga Shalawatan Di Indonesia

Adapun dalam praktiknya terdapat dua versi metode yang diterapkan pada prosesi dzikir nasyid ini, pertama versi Guru Hudari dan yang kedua versi Guru Fahmi Sekumpul. Kedua metode tersebut dapat digunakan secara bersamaan, dikarenakan Guru Fahmi Sekumpul menerima ijazah Dzikir Nasyid ini dari Abah Guru Sekumpul (K.H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari) dan Guru Hudari menerima ijazah dzikir nasyid dari Al-Muhadits K.H. Anang Sya’rani Arif, yang mana Guru Sya’rani ini juga merupakan guru dari Abah Guru Sekumpul ketika nyantri di Ponpes Darussalam, Martapura.

Biasanya beberapa minggu atau beberapa bulan sekali sebelum acara dzikir nasyid dilangsungkan, diadakanlah latihan atau briefing terlebih dahulu dan latihan ini juga diikuti oleh orang-orang tertentu saja. Kurang lebih ada 3 sampai 10 orang saja yang mempelajari syair dalam dzikir nasyid ini beserta dengan praktik gerakannya. Di Sekumpul sendiri, praktik dzikir nasyid ini terakhir dilantunkan pada Haul Abah Guru Sekumpul ke-14 di tahun 2019 atau sebelum adanya pandemi covid-19.

Dari tahun ke tahun praktik dzikir nasyid ini hanya dilakukan terbatas di acara-acara haul ulama seantero Kalimantan Selatan atau haul Syaikh Samman al-Madani (guru Datuk Kalampayan di Madinah Al Munawwarah yang menggagas tarekat Sammaniyah) dan itu pun kebanyakan tidak ditayangkan secara streaming, mengingat kaum Muslim dari kalangan puritan seakan tidak ada habis-habisnya meroasting tradisi ini dengan dalih tidak ada dalilnya.

Baca juga:  Ketika Ramadanku Bergandengan dengan Paskahmu

Akan tetapi jika kaum puritan tersebut mau meninjau ulang secara keilmuan dari kacamatan ushul fiqih dan qawaid fiqhiyah, maka akan ditemukan dalil dari salah satu kaidah fikih yang berbunyi “Al-Adatun Muhakkamun”, artinya adat istiadat dapat dijadikan suatu landasan hukum. Tentunya dengan catatan selama adat tersebut tidak menyimpang jauh dari syari’at dan apabila kita aplikasikan ke dalam praktik dzikir nasyid ini.

Maka kita akan menemukan bahwa dzikir nasyid ini tidaklah menyimpang syari’at sebagaimana yang telah mereka katakan. Dikarenakan dalam praktiknya, yang dibaca di dalam dzikir nasyid ini berupa puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Waba’du, dzikir nasyid merupakan tradisi baik yang menjadi ciri khas corak keislaman di tanah Banjar dan sudah seyogyanya tradisi ini perlu dilestarikan oleh masyarakat Banjar. Wallahu a’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top