Sedang Membaca
Ngaji Fikih: Hal yang Menyebabkan Ulama Berbeda Pendapat dalam Menetapkan Hukum
Ahmad Yaafi
Penulis Kolom

Penikmat kajian Islam, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo. Alamat: Ambulu Jember. Bisa disapa: IG @ahy_kr

Ngaji Fikih: Hal yang Menyebabkan Ulama Berbeda Pendapat dalam Menetapkan Hukum

Buku Ngaji Fikih

Katanya Islam adalah umat yang satu, lantas mengapa terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam? Pertanyaan ini seringkali muncul ketika terjadi putusan atau fatwa yang kontroversial terkait suatu hukum islam. Seperti contoh penetapan awal Ramadan dan hari raya Idulfitri. Banyak perbedaan dalam menentukan hal tersebut.Lantas apa penyebab para ulama islam berbeda pendapat dalam menentukan suatu hukum islam?

Dalam buku Ngaji Fikih karya Nadirsyah Hosen, beliau menjelaskan secara rinci penyebab para ulama islam berbeda pendapat dalam menentukan suatu hukum islam.

Sebenarnya ulama islam bersatu dalam ranah syariat, namun dalam ranah fikih ulama berbeda pendapat.

Syariat dalam dalam kajian hukum islam adalah aturan yang bermuara dari nash yang qath’i. Sedangkan fikih adalah aturan hukum islam yang bermuara dari nas yang bersifat zhanni.

Nash Qath’i

Istilah qath’i itu terbagi menjadi dua: Dari segi datangnya (wurud) dan dari segi teks (lafalnya). Seluruh ayat Al Qur’an dari segi datangnya ia bersifat qath’i as tsubut. Artinya bersifat pasti dan dan tidak mengalami perubahan.

نصوص القرآن جميعها قطعية من جهة ورودها وثبوتها ونقلها عن الرسول ﷺ إلينا، أي نجزم ونقطع بأن كل نص تتلوه من نصوص القرآن هو نفسه النص الذي أنزله الله على رسوله ، وبلغه الرسول المعصوم  إلى الأمة من غير تحريف ولا تبديل

Arinya:” Semua teks Al-Qur’an bersifat qath’i dari segi kemunculannya, penegasannya, dan transmisinya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita umat islam. Artinya, kita yakin bahwa setiap teks Al-Qur’an Anda baca adalah sama dengan teks yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, dan yang disampaikan oleh Rasul yang ma’shum kepada umat manusia tanpa distorsi atau perubahan.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih halaman 32)

Baca juga:  Sabilus Salikin (43): Bab III Macam-macam Tarekat: Tarekat Uwaisiyah

Akan tetapi tidak semua ayat Al Qur’an bersifat qath’i al dalalah. Qath’i ad-dalalah adalah ayat yang lafalnya tidak ada kemungkinan terjadinya penafsiran lain. Oleh karena itu ayat yang berkategori qath’i ad-dalalah tidak bisa dilakukan penafsiran dan ijtihad sehingga pada ranah ini tidak mungkin terjadi perbedaan pendapat ulama. Seperti contoh ayat yang menjelaskan kewajiban shalat yaitu “aqimus shalah”. Ayat ini bersifat qath’i, sehingga tidak dapat dilakukan aktifitas ijtihad dan ulama dari semua madzhab sepakat akan kewajiban shalat.

Begitu pula dengan hadis. Ia juga bersifat qath’i al-wurud dan qath’i ad-dalalah. Namun tidak semua hadis bersifat qath’i al-wurud (hanya hadis mutawatir) dan juga tidak semua hadis mutawatir bersifat qath’i ad-dalalah. Jika disimpulkan sebagai berikut:

Qath’i as tsubut atau Qath’i al wurud: Semua ayat Al Qur’an dan Hadis Mutawatir

Qath’i Al Dalalah: Tidak semua ayat Al Qur’an dan tidak semua Hadis Mutawatir.

Nash Zhanni

Nash zhanni juga sama dengan nas qath’i, ia terbagi menjadi dua: Dari segi datangnya dan lafalnya. Beberapa ayat Al Qur’an terdapat sejumlah ayat yang lafalnya membuka peluang terjadinya berbagai macam penafsiran. Misalnya dalam soal batasan iddah bagi perempuan dalam surah Al Baqarah ayat 228. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Penyebabnya adalah perbedaan memahami lafal “quruu”, ada yang memaknai lafal quruu adalah haid ada yang mengartikan suci. Ini yang dinamakan zhanni ad-dalalah. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Wahab Khalaf dalam kita karyanya Ilmu Ushul Fiqih halaman 34 berikut:

Baca juga:  Kitab Abwab al-Faraj dan Optimisme sebagai Hamba Allah

أما دل على معنى لكن يحتمل أن يؤول ويصرف من هذا المعنى ويراد منه معنى غيره، مثل قوله تعالى: “وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِالْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ” فلفظ القرء في اللغة العربية مشترك بين معنيين يطلق لغة على الظهر ويطلق لغة على الحيض. والنص دل على أن المطلقات يتربصن ثلاثة قروء، فيحتمل أن يراد ثلاثة أظهار ويحتمل أن يراد ثلاث حيضات، فهو ليس قطعي الدلالة على معنى واحد من المعنيين، ولهذا اختلف المجتهدون في أن عدة المطلقة ثلاث حيضات أو ثلاثة أطهار

Artinya: “Adapun yang menunjukkan atas suatu makna namun, namun bisa saja dapat diartikan dan dibelokkan dari makna tersebut dan dimaksudkan untuk mengartikan makna yang lain, seperti firman Allah Swt: “Dan perempuan yang dicerai harus menunggu tiga kali haid.” Kata “quruu’” dalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yakni suci dan haid. Ayat tersebut menyatakan bahwa perempuan yang dicerai menunggu tiga quruu’, maka boleh jadi yang dimaksudkan adalah tiga masa haid, dan boleh juga yang dimaksud adalah tiga masa haid. Hal ini bukanlah qathi ad-dalalah karena satu lafadz mempunyai dua makna. Para ahli hukum berbeda pendapat mengenai apakah masa tunggu bagi wanita yang dicerai adalah tiga masa haid atau tiga masa suci.”

Baca juga:  Pluralisme Tanpa Kehendak Bersama

Selain hadis mutawatir hadis lainnya juga bersifat zhanni al-wurud. Hal ini menunjukkan bahwa boleh jadi ada satu ulama yang memandang sahih suatu hadis, namun ulama lain tidak memandang hadis itu sahih. Bahkan hadis yang zhanni al-wurud ternyata juga banyak yang lafalnya bersifat zhanni ad dalalah. Dengan demikian sudah terbuka potensi perbedaan pendapat dalam menafsirkan suatu hadis. Jika nash zhanni dipetakan, maka sebagai berikut:

Zhanni al-wurud: Selain Hadis Mutawatir

Zhanni al-dalalah: Lafal dalam Hadis Mutawatir dan lafal hadis yang lain (Masyhur,Ahad).

Dari penjelasan diatas sudah ditegaskan bahwa syariat tersusun dari nash qath’i, sedangkan fikih tersusun dari nas zhanni. Berikut contoh produk hukum antara syariat dan fikih:

  1. Kewajiban puasa Ramadhan. (Nashnya qath’i dan ini syariat. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama)
  2. Kapan mulai puasa, dan kapan Ramadhan? (Nashnya zhanni, hadisnya mengatakan harus melihat bulan, tetapi kata “melihat” mengandung penafsiran dan ini fikih. maka lumrah terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal puasa ramadhan)
  3. Membasuh kepala dalam berwudhu itu wajib. (Nashnya qath’i dan ini syariat)
  4. Sampai mana batasan membasuh kepala? (Nashnya zhanni, karena pada kata “bi” pada “wamsahu biruusikum” terbuka penafsiran dan ini fikih).

Demikian penjelasan alasan ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum islam semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top