Sedang Membaca
Tiga Bekal KH. Afifuddin Muhajir dalam Menghadapi Khilafiyyah

Pengajar di Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Dosen Fak. Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang.

Tiga Bekal KH. Afifuddin Muhajir dalam Menghadapi Khilafiyyah

Islam mengenalkan kepada kita bahwa agama yang membawa kerahmatan ini memiliki dua hal dalam urusan ajarannya, ada yang dinamakan ajaran pokok atau ushuliyyah dan pula yang dikenal dengan ajaran cabang atau furu’iyyah. Ushuliyyah itu seperti rukun Iman dan rukun Islam, sedangkan yang furu’iyyah itu adalah hal-hal yang menjelaskan dan menterjemahkan yang ushuliyyah tersebut.

Para ulama bersepakat bahwa masalah-masalah furu’iyyah lebih banyak dari pada persoalan ushuliyyah. Ibnu Rusyd misalnya menyatakan bahwa “banyak persoalan yang terjadi diantara manusia yang tidak terbatas padahal teks-teks agama (bacalah al-Qur’an dan hadis) adalah terbatas”.

Karena arena furu’iyyah yang demikian luas, tak terbatas, bahkan akan selalu muncul ragam perbedaan pendapat (khilafiyah). Hampir semua karya keilmuan dalam Islam, baik dalam kaitannya dengan akidah, fikih, maupun tasawuf, dijumpai ragam perbedaan pandangan antara satu ulama dengan ulama lainnya.

Mengenai akidah, misalnya, dalam lintasan sejarah kita dapat melihat beragam mazhab, seperti Ahlus Sunnah (Sunni), Mu’tazilah, Jabariyah, Syi’ah, Khawarij. Bahkan yang merasa Sunni sekalipun masih terdapat aliran yang beragam, seperti al-Asya’irah dan al-Maturidiyah, dan belum lagi mazhab kekinian ala ala kaum Hijrah yang kian hari kian ramai saja. Apalagi dalam bidang fikih, kita tidak asing dengan empat imam mazhab besar yang satu diantaranya memiliki model istinbat hukum yang bervariatif. Belum lagi, dalam satu mazhab tertentu, seperti dalam mazhab Syafi’i, memiliki banyak ragam pendapat dalam satu masalah.

Baca juga:  Murid-Murid Imam Syafi’i (3): Abu Ibrahim al-Muzanni, Sang Pembela Mazhab Syafi’i

Begitu pula dalam tasawuf, kita mengenal beragam ajaran tarekat yang memiliki cirri dan karakteristik yang berwarna-warni. Maka dari itu, untuk menjadi muslim yang baik harus memiliki kecerdasan dan kesadaran betul akan hadirnya sebuah perbedaan dalam melihat masalah furu’iyyah. Karena perbedaan merupakan satu hal yang niscaya, kata Sang Bijak seperti itu.

Dalam tradisi pesantren, kita sering mendengar ungkapan: ikhtilaful al-aimmah rahmat (perbedaan pendapat dari para imam adalah rahmat). Meski demikian, satu catatan yang perlu digaris bawahi adalah perbedaan pandangan tersebut bisa menjadi rahmat tatkala disikapi dengan bijak dan arif. Namun, kenyataan yang ada saat ini belum tentu seideal itu. Karena, sebagian dari kita kini banyak yang dengan mudahnya menyalah-sesatkan satu pendapat yang sedikit atau banyak berbeda dengan pendapatnya. Padahal itu kan masih dalam urusan yang cabang dan bahkan bisa saja urusan ranting saja.

Misalnya, kalo boleh ambil contoh, hanya soal urusan maulidan, tahlilan, dan qunutan, ada sebagian dari saudara seiman yang dengan ringan kata membid’ahkan mereka-mereka yang melakukannya dengan alasan ini dan itulah. Mereka tidak menyadari bahwa urusan-urusan seperti itu masih dalam bingkai furu’iyah.

Romo K.H. Afifuddin Muhajir, salah satu pakar Ushul Fikih Indonesia dan salah satu pengasuh P.P. Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo sekaligus Rois Syuriah PBNU ini pernah menyatakan kepada penulis dan santri yang lain saat dalam suatu seminar bahwa dalam problematika fikih dan khilafiyah setidaknya harus ada tiga hal yang harus dipahami oleh siapapun itu.

Baca juga:  Ulama Banjar (130): KH. Muhammad Rosyad

Pertama, namanya saja khilafiyah, maka sudah pasti produk yang dihasilkan darinya ada perbedaan pendapat (khilaf) di antara para imam/ulama. Kedua, adanya khilaf tersebut karena hal tersebut merupakan produk ijtihad para imam/ulama. Sehingga, kemungkinan adanya dalil dan cara mengambil hukum yang berbeda adalah sebuah keniscayaan dalam ijtihad. Ketiga, karena sifatnya yang ijtihadi dan khilafiyah itulah, maka kadar kebenarannya hanya pada level kebenaran zanny (katakanlah 75% saja) tidak pada kebenaran yang yakin (100%), apalagi mutlak mutlak-absolut.

Apa yang disampaikan oleh Kyai Afif ini selayaknya dijadikan pegangan bagi setiap santri dalam menyikapi pelbagai problematika masyarakat yang muncul dan berkembang. Penulis meyakini bahwa ketiga unsur yang ditawarkan oleh Kyai Afif tersebut setidaknya dapat meminimalisir dan menghindarkan diri kita jatuh ke dalam mental kagetan, gumunan, lan gampang kepincut (kagetan, mudah terpesona, dan ikut-ikutan). Jadi, marilah kita bersama-sama menjadi muslim yang cerdas dan bijak dalam menghadapi masalah yang ada. Ada ungkapan yang menyatakan la dina li man la ‘aqla lahu (tak ada “kualitas” agama yang baik bagi mereka yang tak punya akal “sehat”).

Akhir kata, Imam Syafi’i pernah dawuh: Setiap kali aku berdebat dengan orang alim, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya. Ibnu Rusyd juga pernah berkata bahwa “musuh paling besar bagi Islam adalah orang bodoh (alias yang kagetan tadi) yang suka mengkafirkan yang lain”. Wallahhu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top