Selain kisah seorang hamba dalam beribadah, masjid juga memiliki kisah sebagai bangunan. Bangunan yang berbentuk persegi atau persegi panjang, dengan dikelilingi empat tembok, sama dengan model bangunan-bangunan lainnya.
Tanpa fungsi dasar teologis, masjid tidak memiliki nilai transendental. Namun perlu dilihat juga bahwa keberadaan masjid selalu lekat dengan konteks historis, budaya, dan makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam konteks historis, masjid Nabawi misalnya lekat dengan sejarah Agama Islam diseba luaskan pada masa-masa awal. Masjid Demak, lekat dengan kejayaan Agama Islam di masa lalu. Dari sisi kebudayaan, masjid yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan.
Masjid di Indonesia, dengan masjid di Timur Tengah, dan masjid di Eropa memiliki perbedaan. Sebab budaya yang mengitarinya juga berbeda. Masjid di Jawa dengan masjid di Sulawesi, juga ada perbedaan, meski pun perbedaannya tidak tampak secara kasat mata.
Kemudian perihal pemaknaan. Masjid di Jawa misalnya memiliki empat pintu dan dua ruang akan berbeda maknanya dengan masjid di Lombok, meskipun bentuk dan komponennya sama. Bahkan sama-sama di Jawa, jumlah pintu masjidnya sama, maknanya juga akan berbeda. Masjid pertama mungkin memaknainya sebagai simbol syariat, masjid yang satunya lagi mungkin memaknainya sebagai tanggal masjid didirikan. Termasuk atap masjid.
Atap masjid menjadi komponen utama yang harus ada. Sebab dari sisi pragmatisnya sebagai pelindung dari panas dan hujan, sekaligus sebagai faktor pendukung kenyamanan umat Islam berada di dalam masjid. Sama dengan masjid itu sendiri, atap masjid sebagai komponen utama juga memiliki sejarah, budaya, dan maknanya sendiri.
Menurut guru sejarah saya ketika mengajar di SMA mengatakan bahwa atap-atap masjid di Indonesia merupakan akulturasi dari budaya-budaya yang ada sebelum Islam datang. Masjid beratap tumpang misalnya, menurut beliau merupakan akulturasi dari budaya Hindhu, yaitu pure.
Para penyebar Agama Islam yang datang awal mula tidak mungkin langsung mengganti segala kebudayaan yang ada di Nusantara pada masa itu. Sebab budaya sebelumnya sudah mengakat kuat di masyarakat. Melalui gerakan yang pelan-pelan, para pendakwah mengubah simbol-simbol dari budaya terdahulu yang sesuai dengan syariat Islam dan mengeliminasi simbol-simbol yang bertentangan. Salah satunya atap yang hendak dijadikan bangunan masjid.
Di masjid desa saya misalnya, rata-rata atapnya berlapis dua. Atap yang atas lebih kecil dibanding yang bawah. Nah…atap dua ini merupakan simbol dari rukun Islam yang pertama, yakni syahadat. Ada juga yang memaknai atap berlapis dua ini sebagai kehidupan yang dijalani oleh manusia. Hidup di dunia disimbolkan dengan atap yang bawah, atap yang lebih lebar dari atap di atasnya.
Hidup di akhirat disimbolkan dengan atap di atasnya yang lebih kecil. Sebab hidup di dunia merupakan ladang, maka tempatnya lebih besar. Sedangkan hidup di akhirat adalah memanen, dan belum tentu yang menanam di ladang kelak bisa memanen. Maka disimbolkan dengan atap atas yang lebih kecil.
Tapi ada juga masjid yang atapnya tidak tumpang, atapnya hanya satu. Atap satu ini dimaknai dengan keesaan Allah. Hanya satu yang patut untuk disembah, yang patut dijadikan sandaran, yaitu Allah SWT. Artinya, orang-orang yang ada di dalam masjid seharusnya sudah melepas gelar keduniawiannya. Karena di dalam masjid semua makhluk di hadapan-Nya sama.
Masjid di Desa Macanbang, Gondang, Tulungagung yang dekat dengan tempat ziarah makam Sunan Kuning memiliki atap tumpang tiga. Beratap tumpang tiga ini dimaknai sebagai Iman, Islam, dan Ihsan.
Menurut Abdul Ghafur dalam risetnya soal Perspektif Historis Arkeologis Tentang Keragaman Bentuk-Bentuk Masjid Tua Di Nusantara mengungkapkan bahwa atap masjid di Nusantara bisa dibedakan menjadi dua, yakni masjid beratap tumpang seperti kebanyakan masjid-masjid di Nusantara dan masjid beratap kubah yang pengaruhnya mulai masuk ke Indonesia pada abad ke 19. Bahkan, ada juga masjid yang memiliki atap dengan kombinasi tumpang dan kubah, seperti Masjid Istiqlal di Jakarta.
Dari sini bisa kita ambil pelajaran bahwa urusan peribadatan sekalipun, yang lekat dengan unsur sakral juga ada unsur sejarah, budaya, dan makna yang mengitarinya. Sangat mungkin sekali, atap-atap masjid di masa depan memiliki corak yang berbeda dengan masjid-masjid hari ini yang banyak ditemui di sekeliling kita. Demikian.