Ahmad Solkan
Penulis Kolom

Alumnus PP At-Taslim Soditan Lasem Rembang, kini menempuh kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga.

Wajah Kelam HAM di Indonesia

E Aggqvuyaa42qi

Perusakan terhadap masjid Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) tak bisa dibenarkan. Bahkan oleh semua agama, tak ada yang mengajarkan untuk berbuat demikian. Sebenarnya ada banyak celah untuk menjerat tindakan perusakan masjid Ahmadiyah. Mula-mula dari kacamata HAM. Menurut kacamata HAM, perusakan masjid termasuk tindakan yang menyimpang dari HAM.

Lalu, menurut hukum negara, tindakan perusakan masjid bisa dikelompokkan ke dalam tindakan kriminal. Kemudian dari kacamata etika, perusakan masjid tidak dapat dianggap benar menurut etika masyarakat Indonesia. Apalagi Indonesia tergolong dalam negara dan bangsa timur yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan norma kesopanan.

Ada beberapa kelompok di Indonesia yang mengaku menjadi kelompok paling religius, agamis dan paling Islam. Bahkan surga telah dikapling sendiri menurut mereka. Seolah orang Islam lain yang tidak sepemahaman dengan mereka dianggap ahlunnar. Bahkan mereka menganggap siapa saja yang berbeda dengan pemahaman mereka terhadap agama Islam halal darahnya, hingga patut disebut kafir.

Penulis sebenarnya penasaran, bagaimana proses berislam mereka sehingga bisa sekaku dan saklek begitu. Mengapa harus yang kaku jikalau yang fleksibel lebih asik. Tapi tidak masalah, beragama merupakan privasi tiap-tiap manusia. Ia berhak mengamalkan ajaran agamanya sesuai yang ia pahami. Namun, bukankah privasi orang dibatasi oleh privasi orang lain, sebagaimana kebebasan seseorang pun dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Baca juga:  Masjid dan Toiletnya

Beragama secara kaku tentu tidak ada yang melarang. Kok kurang kerjaan sekali ada orang yang mengurusi agama orang lain atau bahkan mencaci makinya. Meskipun fenomena ujaran kebencian dan caci maki online lagi marak sekali. Akan tetapi ada pengecualian atau tanda kutip, seseorang tidak boleh mencampuri keberagamaan orang lain apalagi memaksakan. Selama apa yang ia lakukan tidak merugikan orang lain dan masyarakat luas, tentu tak layak untuk men-judge apalagi bertidak kasar terhadap orang tersebut. Tidak pantas. Pun bila ia sudah jelas-jelas salah.

Adapun bila apa yang orang lain kerjakan berbeda dengan yang kita kerjakan harusnya ada pemakluman karena orang lain berbeda dengan kita. Termasuk dalam agama. Beruntungnya hal seperti ini setidaknya telah dicontohkan dua kelompok Islam yang mempresentasikan wajah Islam di negeri ini. Betul sekali, antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua ormas Islam yang pengikutnya mayoritas di negeri ini telah memberi contoh yang elok. Perbedaan tak harus dijadikan ajang untuk berselisih dan bergesekan. Namun perbedaan hadir sebagai bentuk ajang untuk saling melengkapi.

Soal banyak aliran umat Islam adalah sebuah hal yang mutlak. Bahkan Nabi telah memprediksikan umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga buah aliran. Jadi perbedaan itu sudah merupakan hal yang fitrah. Tak perlu lagi diperuncing apalagi dijadikan arena berselisih.

Baca juga:  Khutbah Jumat: Refleksi Hijrah Nabi

Pembakaran masjid di Sintang, Kalbar menambah daftar potret kelam keberagamaan khususnya Islam di Indonesia. Selain itu sudah pastinya akan membuat wajah Islam terlihat tidak ramah alias mencureng. Eskalasi yang terus naik ditambah provokasi lewat media di Sintang sana patut disayangkan. Atas nama apapun perusakan masjid tidak bisa dianggap kebaikan dan kebenaran.

Pada dasarnya manusia ialah makhluk berakal. Oleh karenanya maka dari itu manusia dikarunia otak untuk berpikir. Agar pikirannya tidak ekstrim dan liar maka Allah juga mengaruniakan hati nurani kepada manusia. Setidaknya bila masyarakat di Tempunak, Sintang, Kalbar masih awam dalam memahami agama, atau pun berbeda cara pikir atau pemahamannya terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonsia (JAI), tidak perlu menggunakan cara yang brutal atau ekstrim dengan melakukan perusakan masjid dan pembakaran gedung di sebelah masjid. Sebab manusia sudah dikaruniai Allah otak untuk berpikir dan hati untuk merasa. Tiadakah empati, paling tidak, bila kita berbeda pemahaman atau pun berbeda apapun.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top