Sedang Membaca
Ngaji Filsafat di Masjid (1): Meneroka Agenda Kegiatan Masjid
Nur Wahid
Penulis Kolom

Orang Dalam Masjid Jendral Sudirman. Mengurusi Bagian Media dan Penerbitan.

Ngaji Filsafat di Masjid (1): Meneroka Agenda Kegiatan Masjid

Img 20201013 Wa0100

Pertama kali masjid berdiri sebagai pusat ibadah dan aktivitas umat Islam. Pada awal Islam mulai mendapatkan pengikut setelah serangkaian dakwah Nabi Muhammad Saw, peran masjid menjadi penting.

Rumah Nabi Saw sendiri berhimpitan persis dengan dinding masjid. Bisa dibayangkan, masjid hampir-hampir tidak pernah sepi dari banyak urusan: dakwah, musyawarah, sosial, pemecahan masalah menyangkut hajat hidup umat dengan posisi Nabi sebagai pembawa risalah, pemimpin, semuanya banyak mengambil tempat di masjid. Tentu saja keberadaan masjid sebagai tempat sujud bagi setiap hamba-Nya sebagai yang utama.

Dalam Al-Qur’an, kata “masjid” terulang sebanyak 18 kali. Dari segi bahasa, kata “masjid” terambil dari akar kata “sajadasujud”. Artinya patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah, Nabi Saw mendawuhkan, “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri” (M. Quraish Shihab, 2000).

Dari hadis Nabi Saw di atas barangkali dapat disambungkan dengan tujuan (from) memakmurkan masjid itu seluasnya (for) memakmurkan bumi. Akhir semuanya berpulang sebagai bentuk penyucian diri bagi setiap hamba-Nya.

Peran dan Fungsi Masjid

Dari segi bangunan, masjid yang dibangun Nabi Saw pertama sangatlah bersahaja. Memanfaatkan bahan-bahan dari alam: batu, tanah, pelepah dan batang pohon kurma, Masjid Quba berdiri tidaklah mewah, namun tetap memenuhi kearsitekturan sebuah masjid.

Masjid Nabawi pada masa Nabi Saw, sudut beranda yang menjadi selasar masjid, dipergunakan sebagai tempat tinggal kaum fakir miskin yang tidak berkeluarga, atau yang disebut para Ahlus Suffah. Terdapat juga khutub sebagai tempat belajar membaca dan menulis bagi anak-anak.

Dari segi bentuk bangunan Masjid Nabawi, terus berkembang menjadi model dasar bangunan pada umumnya masjid. Arsitektur masjid yang berupa ragam bentuk, baru berwujud seiring pencapaian peradaban Islam.

Baca juga:  Jejak Nabi Khidir di Negeri Persia

Sementara itu dalam rangka memakmurkan masjid, di mana pun masjid berdiri mengambil peran mendakwahkan Islam, memberi kebermanfaat sosial-ekomomi, maupun memainkan fungsi kultural lainnya.

Seperti keberadaan Baitul Mal sejak zaman Nabi—dan secara intensif pada masa Umar bin Khattab—pengelolaan keuangan masjid untuk kesejahteraan kalangan fakir, miskin maupun anak yatim. Mal yang diperoleh didistribusikan juga untuk pembangunan komunitas muslim. Ini artinya pembangunan fisik masjid bukan yang pertama.

Sebagai titik sentral pergerakan dakwah Islam, fungsi masjid mengalami dinamika sejarahnya tersendiri. Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah (661-750), otoritas penguasa sampai dikuatkan di atas mimbar. Fungsi masjid seolah sebagai gambaran dari kepentingan politik ideologi kekuasaan yang masuk ke dalam masjid.

Kondisi baru berubah pada masa Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah (717-720). Khalifah Abdul Aziz banyak melakukan reformasi, di antaranya agar mengakhiri khutbah dengan pesan berbuat adil, seruan untuk beramar makruf nahi munkar.

Sepanjang kekhalifahan Bani Umayyah selama 90 tahun tidak sepenuhnya terciderai preseden politik masuk masjid, bahkan menyumbang besar bagi peradaban Islam. Seperti kebadaan tempat penyimpanan bermacam manuskrip dan kitab-kitab di perpustakaan Masjid Umayyah, di kota lama Damaskus, Suriah. Benih dan pencapaian ilmu pengetahuan Bani Umayyah selama masa kekhalifahan di Damaskus (661-750) serta kekhalifahan di Kordoba (756-1031) merupakan capaian bagi peradaban Islam.

Berganti pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah (750-1258), unsur politis mulai dikesampingkan. Fungsi masjid pun tidak an sich sebagai tempat ibadah, tetapi menjadi ruang dalam pengembangan keilmuan (Johs Pedersen, 1991: 644). Lingkaran studi (halakah) membahas dan mendiskusikan ilmu pengetahuan masuk dalam agenda kegiatan masjid.

Pengkajian keilmuan yang dilakukan tidak sebatas mempelajari ilmu-ilmu agama, namun juga mengambil ranah filsafat, sains, dan ilmu pengetahuan umum lainnya. Termasuk upaya penerjemahan karya-karya peradaban masa lalu, dan ditambah berjalannya halakah-halakah keilmuan, tradisi berdiskusi, dan perpustakaan, mendorong bagi peradaban Islam lebih lanjut.

Baca juga:  Khutbah Jumat: Perilaku Korupsi dan Bahan Bakar Api Neraka

Munculnya halakah-halakah keilmuan pada masa sahabat, kekhalifahan, terus menyumbang bagi peradaban Islam sampai puncak kejayaan Islam. Namun setelahnya, kecenderungan umat Islam terkotak pada romantisme masa lalu, sementara pengkajian keilmuan tidak banyak mencerahkan. Dalam upaya menegaskan kembali masjid sebagai pusat peradaban, seharusnya pengkajian khazanah keilmuan dilakukan terus-menerus.

Sejauh ini, cermin keberadaan masjid lebih cenderung tampak memenuhi dimensi kefisikan, sementara dimensi jiwa kemasjidannya kurang mendapat perharian. Gambaran dari jiwa kemasjidan setidaknya terpacak dari agenda kegiatan masjid yang berpeluang besar sebagai pusat peradaban dan halakah keilmuan.

Tegasnya, masjid mampu turut memformat bentuk pembelajaran, pengajaran, forum pembahasan, dan mendiskusikan makalah masuk sebagai agenda kegiatan masjid. Masjid dapat mengupayakan agenda kegiatan pada kedalaman pengkajian keislaman, keilmuan, ranah keintelektualan, sosial-kebudayaan, serta ditunjang adanya perpustakaan masjid, koleksi kitab-kitab, buku-buku induk sebagai rujukan.

Dari segi jumlah, masjid di Indonesia pada 2019, seperti yang disebutkan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla, kurang lebih 800.000. Artinya, setiap 225 orang muslim mulai dari bayi hingga dewasa setidaknya memiliki satu masjid. Pertanyaannya, seberapa banyak masjid yang menjejakkan agenda kegiatannya pada kedalaman pengkajian keislaman, keilmuan, dan menggarap ranah keintelektualan? Seberapa banyak perpustakaan masjid yang menyediakan kitab maupun buku rujukan utama?

Menjawab Tantangan, Meretas Jalan

Peradaban Islam jaya berkat penguasaan ilmu pengetahuan, dan masjid punya peran penting dalam merekayasa kehidupan manusia. Karena itu, masjid yang terletak di daerah tertentu, mempunyai tugas dan fungsi tertentu pula. Rekayasa dan tugas sebuah masjid dapat berangkat dari pembacaan tanda-tanda zaman, situasi tempat di mana masjid berada.

Tanda-tanda zaman berupa gejolak perubahan besar kebudayaan masyarakat modern, telah begitu giat menumpas sendi-sendi kearifan hidup. Beton-beton semakin banyak tumbuh berdiri tinggi mengelilingi kota.

Baca juga:  Agar Perusakan Masjid Ahmadiyah Tidak Terulang Kembali

Pembenahan fisik memang merupakan garis besar peradaban modern. Masjid-masjid yang berdiri, baru dibangun, atau masjid yang sedang direnovasi pun agaknya lebih menitikberatkan pembenahan fisik. Masjid-masjid mulai terbungkus memewah-mewahkan diri. Sedangkan isi agenda kegiatan masjid di dalamnya agaknya kurang mendapat perhatian—terutama yang berfokus pada jalan ilmu.

Memakmurkan masjid salah satunya dapat terarah dengan mengembangkan pada ranah kegiatan yang menumbuhkan kesadaran keilmuan.

Generasi baru di zaman milenial kini adalah kalangan muda Islam yang sedang mengejawantah membangun diri dan jiwa keislamannya. Semangat belajar agama tumbuh kuat. Namun sayangnya, kecenderungan semangat kalangan muda milenial pada tahap belajar agama dipalarelkan seturut passion. Trend kajian-kajian yang diselenggarakan akhirnya menajam secara formalis.

Glorifikasi kesadaran keberislaman apabila tidak dengan keluasan wawasan, keterbukaan beragam perspektif, mengupayakan jalan memahami konteks dan pengolahan hati dalam memahami teks-teks agama, bukan tidak mungkin malah membentuk eksklusivitas dalam beragama dan terbatas bagi kelompok sendiri. Peluang besar pada generasi muda Islam yang hidup di zaman teknologi dan berkarib dengan banyak literatur, sedapatnya meretas jalan pengkajian khazanah keilmuan Islam.

Meneroka agenda kegiatan masjid pada ranah penggarapan keilmuan memungkinkan tumbuh di banyak masjid, tanpa meninggalkan fungsi utamanya masjid. Tinggal disesuaikan dengan kondisi di mana masjid berada, kondisi yang dihadapi, serta sumber daya yang dimiliki.

Upaya memakmurkan masjid tidak lantas membatasi fungsi masjid hanya pada ranah peribadatan. Fungsi-fungsi lainnya dapat dimungkinkan bertumbuh seraya inisiatif dan kreativitas pengurus masjid dalam mengupayakan hal ini tanpa meninggalkan tugasnya dalam melayani jamaah.

Berangkat dari masjid menjejakan agenda kegiatannya pada pengkajian keislaman, keilmuan, menggarap ranah keintelektualan diidamkan sebagai upaya merengkuh kembali hikmah kebijaksanaan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top