Fikih adalah salah satu bagian dari ajaran Islam yang menurut sebagian orang sulit dipelajari terutama bagi mereka yang tidak berkesempatan menikmati pendidikan Islam khususnya pesantren. Akan tetapi di era digital seperti sekarang ini, semua sumber informasi bisa diakses melalu internet, bahkan hukum agama sekalipun.
Tak jarang, banyak orang dengan bermodalkan pemahaman agama dari internet dan menghafalkan dalil al-Qur’an dan Hadits langsung berani tampil di media sosial. Dengan retorika penyampaian yang kekinian, pengikutnya tidak bisa dibilang kecil. Parahnya–dengan minimnya pengetahuan dan kedalaman keilmuannya–mereka mencomot dalil sesuka hati dengan men-judge status haram, bid’ah bahkan kafir terhadap amaliyah sebagian kelompok yang mereka tidak sukai.
Menurut Gus Nadir, sapaan akrab KH. Nadirsyah Hosen, fikih bukan hanya halal-haram atau bahkan kafir, jika kita hanya terjebak pada persoalan demikan, berarti kita telah abai terhadap khazanah keilmuan ribuan tahun lalu yang tentunya sangat kaya, dinamis, berpolemik, dan sesuai konteks saat para ulama zaman dahulu itu hidup.
Klaim merasa paling benar itu sebenarnya sudah menunjukkan ketidakbenarannya. Pada ranah pendalaman kajian Fikih, kita disuguhi berbagai perbedaan pandangan para imam Madzhab. Sehingga kajian fikih bisa dilihat dari sumber dalilnya dan pandangan para Ulama dalam memutuskan hukum. Mereka melihat kasus perkasus bukan menggeneralisasinya.
Melihat fenomena dewasa ini, klaim sebagian pihak yang merasa dirinya atau kelompoknya paling benar berdasarkan ijmak digunakan untuk menyerang kelompok lain perlu dipertanyakan lagi validitas dan keabsahan datanya. Di dalam bukunya, Gus Nadir mengutip pendapatnya Syekh Wahbah Al-Zuhaili, benarkah ijmak yang dimaksudkan merupakan ijmak sebagai salah satu sumber ketiga, yang bersifat qath’i dan siapa yang menentangnya dianggap keluar dari Islam? Berhati-hatilah.
Syekh Wahbah al-Zuhaili mengajak berhati-hati kepada kita dalam memverifikasi klaim ijmak ini. Banyak ternyata yang klaim itu bukan ijmak (konsensus semua ulama), tetapi hanya ittifaq (kesepakatan) di antara para imam mazhab, atau satu mazhab, atau karena tidak diketahui ada yang menyelisihi pendapat itu.
Kemudian, mengapa para Ulama berbeda pendapat?. Inilah khazanah kekayaan fikih dinamis yang lentur dan menyesuaikan dengan tuntutan zaman sehingga bisa diterima di tempat manapun dan kapanpun tanpa menyulitkan para penganutnya. Dari aspek sumbernya, di antaranya adalah Dalil al-Qur’an sebagian lafalnya mengandung lebih dari satu makna (musytarak). Susunan ayatnya membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat. Huruf “fa”, “waw”, “aw”, “illa”, “hatta” dan lainnya mengandung banyak fungsi, tergantung konteksnya. Pada hadits pun, para ulama melihat kedudukan hadits dan makna suatu hadits tertentu.
Dari aspek metode ijtihad para Ulama, juga terjadi perbedaan berdasarkan letak geografis dan kondisi sosialnya waktu itu. Seperti Imam Malik berada di lingkungan yang masih banyak terdapat sahabat Rasulullah Saw. Sementara Imam Abu Hanifah sebaliknya tinggal di lokasi yang sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Rasulullah Saw. Fakta ini menimbulkan perbedaan bagi keduanya dalam menetapkan hukum. Imam Malik tidak hanya menggunakan hadis yang diterimanya melalui sahabat Rasulullah di Madinah dibanding rasio, tetapi menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Berbeda halnya dengan Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang untuk menggunakan rasio dan sangat selektif dalam menerima riwayat hadits, lebih-lebih ketika sudah mulai berkembang hadits palsu di daerahnya.
Khilafah Bukan Sebuah Kewajiban
Menariknya dalam buku ini juga terdapat pembahasan khilafah. Menunjukkan bahwasanya khilafah adalah bukan persoalan pokok agama, melainkan sebagai ijtihad para ulama dan pempimpin terdahulu. Menurutnya, selepas Nabi wafat, beliau tidak menunjukkan siapa penggantinya sehingga kekosongan kepempinan diserahkan kepada umat. Begitupun juga selepas masa Khulafaur Rasyidin, kepemimpinan beralih secara turun temurun. Maka dari itu para ulama semisal Imam al-Mawardi, merangkai serpihan sejarah dan dan petunjuk umum nas al-Qur’an menjadi fikih Siyasah.
Melawan statmen Hizbut Tahrir (selanjutnya disebut HT) selama ini yang merupakan organisasi transnasional untuk menggantikan hukum yang berlaku di berbagai Negara menjadi sistem satu kepemerintahan di bawah naungan Khalifah. Untuk memuluskan tujuan politiknya, terjadi pemelintiran pendapat Ulama kredibel oleh HT, salah satunya adalah pendapat Imam Nawawi yang mewajibkan didirikannya khilafah. Padahal beberapa karyanya tidak menjelaskan khilafah.
“Akhir-akhir ini Hafidz Abdurrahman, pimpinan HTI mengutip keterangan di kitab al-Majmu’ karya Imam Nawawi soal khilafah. Hal ini sungguh sangat memalukan karena Imam Nawawi menulis hanya sampai bab Riba kemudian keburu wafat dan beberapa jilid selanjutnya diteruskan oleh Imam al-Subki dan Syekh Muthi’iy.”
Juga di kitab Raudhaut Thalibin Imam Nawawi memperbolehkan menyebut pemimpin dengan istilah khalifah, imam atau amirul mukminin. Tidak peduli apapun gelarnya, karena menurutnya yang terpenting adalah adanya sebuah pemimpin di suatu wilayah. Jika tidak ada maka akan terjadi kekacauan.
Membingkai Fikih dengan Kearifan Lokal
Kita belajar sunah Nabi melalui Imam Saif Al-Din Al-Amidi, dalam kitabnya yang berjudul ushul al-fiqh dikutip oleh Gus Nadir. Menurutnya para pakar ushul fikih berbeda pandangan tentang perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar’i.
Pertama, perbuatan Rasulullah merupakan hal biasa sebagaimana dilakukan oleh manusia lainnya seperti makan, minum, duduk, dan berdiri yang merupakan pebuatan mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum. Ini hanya terikat persoalan budaya dan etika. Contohnya Rasulullah makan menggunakan tiga jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab, tetapi akan agak sulit jika diterapkan di tanah air ketika sedang makan sayur lodeh.
Kedua, terdapat beberapa perbuatan Nabi yang merupakan kewajiban baginya, akan tetapi bagi umatnya adalah sunah, seperti salat Tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tetapi secara khusus dibenarkan kepada Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan puasa wishal (terus menerus tanpa berbuka).
Ketiga, Perbuatan Nabi yang secara tegas sebagai pelaksanaan dan penjelasan terhadap ibadah seperti salat dan haji. Misalnya nabi bersabda “Ambillah cara manasik hajimu dari saya.” atau ”salatlah kalian sebagaimana saya salat.” Dalam kategori inilah, perbuatan Nabi menjadi ketetapan dan memilki konsekuensi hukum.
Pada masa Rasulullah Saw. Penduduk Madinah masih sedikit. Dan suara Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan bisa didengar oleh seluruh penduduk Madinah. Berbeda halnya pada masa Utsman, umat Islam semakin banyak. Sehingga suara azan tidak bisa didengar oleh seluruh umat Islam. Maka dari itu khusus salat Jum’at, khalifah Utsman membuat kebijakan dengan menambah jumlah azan Jum’at.
Di Negara kita azan Jumat dua kali, mengikuti tradisi pada masa khalifah Utsman bin Affan. Tidak hanya itu, ketiadaan pengeras suara pada zaman dahulu, para Kiai memperbolehkan menabuh beduk sebelum azan dikumandangkan. Karena orang yang jauh dari masjid yang tidak bisa mendengarkan suara Azan bisa mendengarkan suara beduk.
Akhirnya, fikih memang seharusnya dibuat menjadi tidak kaku dan stagnan, bukan hanya pada ruang lingkup keharaman perbuatan dan kekafiran pelaku perbuatan, akan tetapi di dalamnya juga ada nilai etika dan estetika yang harus kita pelajari dan pahami. Sehingga Islam bisa di terima di tempat manapun dari belahan bumi bagian barat sampai ujung timur dan dari berbagai dimensi waktu.
Judul : Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual
Penulis : Nadirsyah Hosen
Penerbit :Bentang Pustaka
Edisi :Cet I, April 2020
Tebal :442 Halaman
ISBN :978-602291-703-8