Ahmad Naufal
Penulis Kolom

Penulis Lepas dan Peneliti di Forum Libertarian Indonesia. Pendidikan: SI Instika Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Pekerjaan: Wiraswasta. Tinggal di Guluk-Guluk Sumenep. Facebook: Naufal Madhure

Pagelaran Ludruk untuk Pembangunan Masjid

Ludruk merupakan salah satu kesenian tradional di Sumenep, Madura, yang sangat digandrungi oleh kaum tua dan sebagian kecil kaum muda Sumenep. Minimnya kaum muda yang menggandrunginya disebabkan anggapan yang menyatakan, bahwa ludruk itu kuno dan kampungan. 

Pagelaran ludruk mulai langka disebabkan lingkungan yang tidak lagi terbiasa menggelar kesenian ludruk serta populernya fatwa para kiai pesantren akan haramnya pegelaran kesenian ludruk.

Sejak saya kanak-kanak, dan mungkin sejak jauh sebelum saya lahir, fatwa keharaman pagelaran ludruk itu sudah muncul. Di madrasah dulu, para ustadz dan kiai acapkali menceramahi para santri akan keharaman ludruk. Dan tidak jarang fatwa-fatwa tersebut juga acapkali diceramahkan kepada khalayak masyarakat dalam acara pengajian (Madura: kompolan) yang ghalib dilaksanakan oleh masyarakat sekitar untuk menggali ilmu agama dari para kiai dan ustadz.

Yang menjadi illat keharaman pagelaran ludruk adalah adanya laki-laki yang memerankan perempuan (menyerupai perempuan), baik dandanan, tarian dan suaranya ketika ‘ngijung’. Begitulah yang diceramhkan para ustadz dan kiai di madrasah dan pengajian-pengajian di kampungku dulu.

Dulu, konon ludruk menjadi satu-satunya pagelaran seni yang paling digandrungi dan ramai ditonton oleh khalayak masyarakat di daerah barat Kabupaten Sumenep, yaitu  Guluk-Guluk, Pragaan, Ganding dan Lenteng. Setiap masyarakat mempunyai hajatan, misalnya, pernikahan, sunatan dan hajatan-hajayan lainnya, ludruk menjadi hiburan nomer wahid di antara hiburan-hiburan yang lain.

Baca juga:  Wadjda, Kisah Anak Perempuan Arab

Masyarakat di sekitar tempat tinggal saya dulu amat akrab dengan pagelaran ludruk. Nyaris tiada malam tanpa pagelaran ludruk. Namun, seiring berjalannya waktu, lambat laun kondisi seperti ini berubah drastis. Kini, ludruk tidak pernah lagi digelar di kampung-kampung tempat tinggal saya, daerah barat Kabupaten Sumenep. Fatwa haram itulah penyebab utamanya.

Jadi wajar ketika generasi berikutnya sangat tidak menyukai, apalagi menggandrungi ludruk. Kini ia menjadi tontonan yang haram, kuno, ketinggalan zaman dan tabu di hadapan generasi muda, termasuk generasi saya.

Kondisi seperti ini bertolak punggung dengan kondisi masyarakat di daerah timur Kabupaten Sumenep, yaitu Saronggi, Kalianget, Talango, Batang-Batang, Dungkek dan lain-lain. Di mana masyarakatnya, dari yang tua hingga yang masih belia sangat menggandrungi ludruk. Ia menjadi tontonan dan hiburan paling masyhur. Di tengah-tengah masyarakat ini lah, kesenian ludruk menjadi lestari dan senantiasa digelar dalam setiap hajatan dan pesta pernikahan.

Saya yang baru menikah dan berdomisili di Pulau Poteran, Talango Sumenep, menjadi begitu asing dengan pagelaran ludruk. Paradigma yang tertanam di kepala saya, bahwa ludruk itu haram, kuno dan kampungan masih melekat kuat. Segela bentuk pandangan saya terhadap ludruk yang tertanam sejak kanak-kanak terbawa utuh hingga saya menikah dengan orang Pulau Poteran, Talango ini.

Baca juga:  Humor Kiai Hasyim: Tukar Sandal di Masjid

Pada satu kesempatan, saya diajak keluarga menonton pagelaran ludruk di desa Kombang, Talango. Dengan rasa penasaran dan keingintahuan yang mendalam saya menontonnya. Pandangan saya yang negatif terhadap ludruk seketika sirna. Rupanya ludruk tidak seperti pandangan saya dan sebagian masyarakat sekitar tempat tinggal saya dulu.

Ludruk merupakan kesenian tradisonal yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pendidikan sejarah, baik sejarah tentang kearifan lokal, penyiaran agama Islam dan kerajaan-kerajaan di Nusantara lewat lakon yang diperagaknnya dengan diselingi lawakan dan diiringi musik gamelan. Betapa ludruk mengajarkan kita akan pentingnya moral dalam setiap pergaulan dan merawat warisan kebudayaan Nusantara. Ada banyak nilai edukasi di dalamnya yang bisa kita jadikan pelajaran.

Islam dan ludruk yang berbenturan atau sengaja dibenturkan sebagaimana terjadi di tempat tinggal saya dulu tidak saya temukan di tempat ini. Ludruk yang diklaim sebagai tontonan haram oleh otoritas agama, di sini ia bergandengan tangan dengan agama. Ia membantu eksistensi dan berkembangnya agama (baca: Islam). Ia lantang menyuarakan kebenaran, lantang mendakwahkan ajaran-ajaran Islam dalam setiap lakonnya.

Juga, ia membantu pembangunan Masjid di tempat ludruk itu digelar. Uang parkir kendaraan, uang saweran penonton dan uang kejung disedekahkan untuk pembangunan Masjid. Amaliah  yang amat religius dan islami, menurut saya. Hal ini sekaligus membuat perasaan saya terenyuh, betapa tinggi kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar.

Baca juga:  Pengembaraan Kiai Thoifur Madura Mencari Ilmu

Ludruk ikut memberikan sumbangsih terhadap pembangunan ataupun renovasi masjid. Masjid mendapatkan manfaat yang besar dari setiap pagelaran ludruk di desa tersebut. Dana yang terkumpul cukup meringankan pembangunan dan renovasi masjid-masjid sekitar. Sehingga para panitia dan takmir masjid tidak usah repot-repot mencari dana.

Bagi saya, terlepas dari fatwa haram, ludruk adalah warisan budaya kita yang harus terus dilestarikan dan diperkenalkan kepada khalayak ramai, khususnya generasi muda nan milenial, guna menjaga budaya dan kearifan lokal kita dari gempuran dan hegomoni modernisme serta cengkaraman budaya asing. Ludruk tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga menjadi tuntunan bagai masyarakat akan urgennya internalisasi nilai-nilai moral dalam setiap interaksinya dengan masyarakat yang lain. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top