Sedang Membaca
Konsep Bahagia Menurut Imam al-Ghazali
Ahmad Muzammil
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan strata 1 jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir. Bergelut di organisasi literasi, Lembaga Pers Mahasiswa Pelopor Institut Keislaman Abdullah Faqih dan Pengajar ekstra kulikuler Jurnalistik di Pon.Pes. Ibrahimi Gresik. Facebook: Ahmad Muzammil. Sekaraang Berdomisili di Gresik.

Konsep Bahagia Menurut Imam al-Ghazali

Beberapa kitabnya Imam al-Ghazali yang menyinggung kebahagiaan adalah Kimiya’us sa’adah, Mizanul ‘Amal, Ihya’ ‘Ulumuddin dan al-Munqidh Minadh Dholal. Namun, di antara kitab itu yang paling dominan adalah Kimiya’us Sa’adah.

Lima Macam Nikmat Kebahagiaan

Bagi saya, bahagia itu tidak sederhana, sebagaimana quotes yang banyak beredar di media sosial. Sah saja mengatakan bahagia itu sederhana, tetapi jalan yang ditempuh untuk sampai kepada kebahagiaan tidak sederhana. Inilah beberapa jenis kenikmatan dan jalan tempuhnya:

  1. Nikmat Ukhrawiyah (nikmat berbau akhirat). Sukar dijelaskan, lebih banyak porsi percaya atau iman. Tidak bisa dijelaskan secara eksak. Kenikmatan ini tidak bisa dicapai kalau kita tidak ketemu nikmat jiwa.
  2. Nikmat Keutamaan Jiwa (Nafsiyah)

Jika di dunia jiwa dilanda galau, tidak tenang; entah karena apa, maka tidak akan ketemu kenikmatan ukhrawi. Seperti tertera dalam surat al-Fajr: yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah. Kalau maqam jiwa belum muthmainnah, maka tidak akan ketemu nikmat ukhrawi. Jadi, jiwa harus stabil dan dapat nikmat dulu. Cari kenikmatan jiwa bagaimana? Pertama akal; akal merasa nikmat dengan ilmu. Kita punya akal dan akal adalah bagian dari jiwa. Ia bisa merasakan nikmat kalau dapat ilmu, maka seringsering memberi gizi ke akal dengan ilmu, semakin banyak ia dikasih suplemen ilmu semakin ia akan merasa senang dan aman.

Paham itu bikin tenang dan tidak paham itu bikin galau, teori paling gampang itu. Maka akal, harus dikasih kenikmatan dengan ilmu.

Baca juga:  Kehampaan yang Bermakna dalam Arsitektur Islam

Kedua dirimu, kedirianmu, kepribadianmu, bikin ia merasakan nikmat dengan wara’; menjaga diri. Tidak boleh sembrono hidupnya kalau ingin tenang, rumus paling gampang adalah jangan melakukan yang haram, yang maksiat, hindari yang subhat. Kalau diri jauh dari tiga hal ini, pribadi akan merasa tenang. Tidak tertipu oleh nikmat sementaranya sesuatu yang haram, juga yang maksiat, apalagi yang subhat.

Bila akal selalu dapat suplemen ilmu dan diri selalu terjaga dari yang jelekjelek, diri akan nyaman, jiwa akan tenang.

Ketiga, perlu dan harus memanjakan jiwa dengan kesungguhan dan keberanian. Hidup yang serius, yang punya target, yang punya cita-cita dan berani.

Keempat: adil, hidup secara proporsional, baik di level fisik maupun di level rohani. Proporsional itu yang harusnya sepuluh dikasih sepuluh, yang harusnya satu dikasih satu. Fisik itu adil kalau sehari butuh makan tiga kali ya dikasih tiga kali. Rohani itu adil ya sesuai dengan kebutuhanmu. Apabila sudah terpenuhi sesuai porsinya akan dapat keutamaan; jiwa dan nafsiyah akan tenang, baru kemudian bisa mendapat kenikmatan ukhrawi.

Untuk mendapatkan kenikmatan jiwa, maka badaniahnya juga harus beres dulu, kalau ini tidak beres, jiwa juga tidak akan beres. Misalnya, kaya dulu, punya istri dulu, pinter dulu, fasilitas dulu, baru jiwanya bisa tenang. Jadi badaniah dulu.

  1. Nikmat Keutamaan Badan (badaniyah)

Menurut rumusnya Imam al-Ghazali, paling gampang untuk mendeteksi apakah badaniah sudah nikmat, sudah bahagia yaitu yang pertama sehat, yang kedua kuat, yang ketiga elok (cakep), dan yakinlah bahwa dikaruniai panjang umur.

Baca juga:  Tiga Ulama Sufi yang Kaya Raya

Orang yang merasa punya kualifikasi empat ini, secara badaniyah, ia sebenarnya sedang bahagia secara fisik. Namun, supaya bisa merasakan nikmat badaniah, kita butuh kenikmatan eksternal dari dunia di luar diri kita.

  1. Nikmat Eksternal (Kharijah)

Kita butuh punya harta, kita butuh punya keluarga, kita butuh dihormati orang. Jadi kita butuh kenikmatan-kenikmatan ini, kenikmatan di luar diri. Dari kenikmatan di luar diri itulah kita akan merasa nikmat secara fisik, dari nikmat secara fisik, kita akan nikmat secara rohani atau jiwa dan dari kenikmatan rohani atau jiwa tadi, nanti secara ukhrawi kita juga akan merasa nikmat.

Namun, kenikmatan dari luar tersebut butuh pelengkap kenikmatan luar yang sangat luar, yaitu kenikmatan taufiqiyah, kenikmatan yang menunjukan bahwa Allah itu sayang pada kita dan sudah memberi banyak kenikmatan. Sebagus apapun kehidupan kita hari ini, tapi merasa dicueki Allah atau apalagi Allah benar-benar cuek, maka ia tidak akan merasakan kenikmatan apapun.

Kamu melakukan korupsi; enak lo korupsi itu, kamu banyak dapat uang, mau apa saja bisa, namun karena kamu tahu bahwa dengan korupsi ini Allah tidak akan ridho padamu maka ndak jadi nikmat. Maka dasar dari semua kenikmatan tadi adalah keutamaan taufik.

  1. Nikmat Keutamaan Taufik.
Baca juga:  Zat yang Maha Membolak-balikkan Hati

Taufik macamnya ada Hidayah, rusyd, syadid dan ta’yid. Pertama-tama yakin bahwa Allah ridho pada diri, setelah itu cari bekal yang dibutuhkan untuk merasakan nikmat, untuk bahagia; cari harta, cari kehormatan, cari status; tidak masalah, itu sumber kenikmatan. Andaikan semua itu sudah dapat maka diri akan dapat kenikmatan duniawi, kenikmatan badaniyah dan dengan bekal kenikmatan badaniyah jiwa juga akan merasa nikmat, bahagia dan tenang, ketika jiwa bahagia insya Allah besok di akhirat bahagia.

Maka rumus pertama bahagia adalah pastikan bahwa perbuatan yang dilakukan itu diridhoi oleh Allah. Setelah itu baru berpikir cari uang di mana, cari kerja di mana, cari istri. Sudah dapat kekayaan, dapat status, dapat kerja, itu nikmat. Hasil semua itu adalah kenikmatan badaniah. Jadi sehat, kuat dan elok.

Tahap mencapai kesempurnaan kebahagiaan adalah pertama, capai dan dapatkan kenikmatan taufiki (pastikan bahwa Allah ridho dengan apa yang akan dilakukan.), kedua kenikmatan khariji (kenikmatan eksternal; harta, keluarga, status, dll.), ketiga kenikmatan badaniyah (sehat, kuat, elok, dan yakin bahwa dikaruniai panjang umur.), keempat, kenikmatan jiwa muthmainnah (akal diberi suplemen ilmu, menjaga diri atau wara’, kesungguhan-keberanian dan adil.) bila keempat kenikmatan ini sudah didapatkan, maka kenikmatan yang terakhir akan didapat, yakni kenikmatan ukhrawi, akhirat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top