Sedang Membaca
Menyoal Sastra dan Agenda Penguasa
Hafis Azhari
Penulis Kolom

Pengarang novel "Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten"

Menyoal Sastra dan Agenda Penguasa

Sastrawan Y.B. Manunwijaya pernah menjelaskan dalam bukunya “Sastra dan Religiositas” (1982) perihal sejarah Sultan Hamengku Buwono V yang menulis Serat Purwakanda (Kakak Sulung), meskipun karya sastra itu merujuk pada sastra Jawa kuno berjudul “Kanda”. Namun Serat Purwakanda merilis dan menyatakan diri lebih awal dari naskah “Kanda”, bahkan mengkualifikasi diri sebagai “Purwa” seakan-akan lebih asli dan lebih otentik dari naskah Kanda.

Naskah sastra itu bertema tentang hal ihwal keturunan asli yang dianggap sah dan legitimate. Keterangan silsilah dewa-dewi Hindu dan Jawa yang dihubung-hubungkan dengan Adam, kemudian disimbolisasi dengan tokoh Sang Hyang Tunggal yang memiliki empat putera mahadewa, yakni Sang Hyang Puguh, Punggung, Manan dan Samba. Dengan demikian, kisah tersebut menisbatkan anak yang paling tampan dan baik hati adalah si bungsu, Sang Hyang Samba.

Akhirnya, tampillah Sang Hyang Tunggal sebagai kepala para dewata yang mengangkat si bungsu selaku penerus takhta dewa-dewi di Suwargodimulyo. Kakak-kakaknya protes dan saling berselisih, Sang Hyang Puguh dan Punggung dihempaskan oleh sang penguasa dari permukaan bumi, hingga kemudian berburuk rupa. Kisah terus berlanjut, dan keduanya memohon ampun pada Sang Hyang Tunggal, meski kemudian tak boleh memasuki pintu gerbang Suwargodimulyo.

Kepala para dewata kemudian menjuluki Sang Hyang Puguh sebagai Togog dan diberi tugas untuk menjaga orang-orang Jawa (Nusantara) yang berada di luar negeri. Hal ini identik dengan pembuangan orang-orang Jawa berkualitas di kepulauan Buru pasca peristiwa politik 1965 lalu. Kemudian, Sang Hyang Punggung dijuluki Semar, dan bertugas menjaga orang-orang Jawa (Nusantara) di dalam negeri. Lalu, Sang Hyang Samba akhirnya dinobatkan sebagai kepala para dewata, bergelar Bathara Guru yang didampingi perdana menteri yang setia (Sang Hyang Manan) yang diberi gelar Bathara Narada.

Baca juga:  Dari Muslim tanpa Masjid Menuju Masjid tanpa Imam

Di sini nampak siasat politik kolonialisme Belanda, seakan diteruskan oleh Soeharto sebagai mantan anggota KNIL yang bersikukuh menyelenggarakan keamanan dan ketertiban Hindia Belanda (status quo). Kita bisa menghubungkan kisah dalam Serat Puwakanda, bahwa dalam perjalanannya, pihak kolonial dinisbatkan sebagai Sang Hyang Tunggal, yang terus menerus memboyong jutaan gulden dari usaha dan jerih-payah rakyat jelata, terutama hasil perkebunan dan rempah-rempah yang dikendalikan oleh pemerintahan mereka.

Sejarawan dan sastrawan kita

Jarang sekali sejarawan dan sastrawan kita – terkecuali Y.B. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer – yang menyoal secara eksplisit tentang kekuasaan Hindia Belanda yang “bermain” di wilayah bahasa dan kesusastraan Indonesia. Dokumen-dokumen gaib dan misterius itu jelas mengandung unsur legitimasi takhta kerajaan (kosmos makro) untuk mengendalikan dan melumpuhkan para kawula alit (kosmos mikro), hingga kemudian terbukti bahwa pihak kolonial hanya mendukung tampilnya si bungsu yang tampan dan baik hati, yakni Sultan Hamengku Buwono V yang usianya baru menginjak dua tahun ketika ayahnya, Sultan Hamengku Buwono IV wafat.

Tentu saja Diponegoro tidak sepakat dengan keputusan Belanda yang mengangkat bocah balita menjadi penerus takhta kerajaan. Lalu, siapa lagi yang akan tampil selaku eksekutif kalau bukan perdana menterinya, yakni Patih Danurejo yang sejak mula-mula memihak dan berkolaborasi dengan Belanda. Hingga kemudian, terungkaplah bahwa Sang Patih merupakan setingan yang dipermainkan Belanda, dan telah dilegitimasi oleh sastra Jawa yang diadaptasi oleh mereka.

Pada prinsipnya, Serat Puwakanda adalah jenis karya sastra yang mengandung misi dakwah, syiar atau seperti yang dinyatakan para generasi milenial, “power of influence”. Ia seakan tampil sebagai pengoreksi dari naskah lama yang banyak menjadi rujukan para sastrawan Jawa (Kanda), bahkan menganggap tafsiran Ronggowarsito (Serat Paramayoga) seakan tidak berlaku lagi. Padahal, dokumen sastra itu sudah benar-benar diakui validitasnya oleh Istana Surakarta (Solo). Namun kemudian, lihainya permainan politik Belanda – menurut Pramoedya Ananta Toer – mampu menyusup masuk ke relung-relung kesusastraan Jawa (Nusantara), sampai pada gilirannya Pangeran Diponegoro diidentikkan sebagai tokoh Togog yang berburuk rupa.

Baca juga:  Anak dan Kamus

Sedangkan, Sang Hyang Samba tetap kukuh mengejawantah dalam diri Sultan Hamengku Buwono V. Lalu, pihak kolonial mengultuskan diri bersama Patih Danurejo sebagai Semar yang berwibawa dan berkharisma, dan tugas utamanya tak lain sebagai pemangku dan pemberi petuah yang menjamin keamanan dan ketertiban orang-orang Jawa di dalam negeri.

Pertempuran imajinatif

Menurut petuah (fatwa) Romo Mangunwijaya, dunia politik, sastra dan religiositas di tanah Jawa, merupakan satu-kesatuan sebagaimana pelaksanaan prarencana Tuhan ke dalam layar duniawi. Bagi orang-orang berpenghayatan mistis, seluruh semesta ini dapat mewahyukan diri sebagai sakralitas kosmik. Jadi, setiap peristiwa dalam kosmos mikro yang fana ini hanyalah pengejawantahan lakon kosmos makro yang mengatasi kehendak rakyat alit dan kawula, dan merupakan takdir yang harus diterima dan ditaati dengan sepenuh hati.

Kisah yang terungkap dalam Serat Purwakanda, bukan satu-satunya, bukan semata-mata fiktif, melainakn sebagai kemenangan ide dan gagasan kolonial (penguasa) untuk memenangkan “pertempuran imajinatif”. Patut kita nyatakan salut bagi mereka yang punya keberanian moril untuk mengungkap konsep tradisional kekuasaan Jawa yang banyak dianut oleh kalangan politisi kita hingga saat ini. Dalam alam tradisional mereka, peran rakyat kawula memang hanyalah sekunder belaka, karena yang dianggap primer adalah kedudukan sang penguasa. Jadi, citra manusia tradisional, seakan hanya kelir jagad cilik yang berfungsi sebagai bayangan yang dianggap tidak sejati, dan untuk itu hanya dapat bergerak berkat peran Ki Dalang (jagad gede).

Konsep kekuasaan feodal dalam piramida tatanan hirarkis kekuasaan Jawa, nampaknya berbeda dengan ajaran Hibrani baik Islam, Kristen maupun Yahudi. Dalam tradisi ajaran Hibrani, manusia tidak boleh melupakan nasibnya untuk menikmati kehidupan dunia ini, karena pada prinsipnya rasa syukur dan kenikmatan hidup di dunia adalah senyawa dan merupakan cikal-bakal untuk meraih kebahagiaan hidup di negeri akhirat kelak.

Baca juga:  Hikmah Rukun Haji (4): Sa’i, Tempat Bertemunya Dua Tradisi Besar

Banyak analisis yang diungkap para jurnalis dan sastrawan generasi milenial, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih atas apresiasi yang baik, hingga kritik-kritik yang pedas dan tajam sekalipun, terutama untuk “menyerang” karya-karya saya. Tidak sedikit sejarawan, sastrawan hingga jurnalis yang berikhtiar mengulik kembali tentang kejayaan sastra kita di masa lalu, termasuk artikel-artiel yang mengapresiasi karya-karya saya, baik di Kompas maupun harian lainnya. Tetapi pada prinsipnya, tidak sedikit karya-karya penulis senior maupun yunior yang bagus-bagus, di samping juga produktif, ketimbang karya-karya saya yang jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.

Tulisan saya yang terakhir, Jenderal Tua dan Kucing Belang diniscayakan untuk membuka tabir-tabir gelap, terkait dengan dunia sastra yang memiliki kekuatan untuk melegitimasi kekuasaan yang korup dan sewenang-wenang. Saya merasa perlu untuk meluruskan, bahwa novel tersebut bukan saja menyentil problem kekuasaan. Tetapi juga ingin menegaskan, bahwa kita tidak menghendaki setiap kelompok dan ormas – khususnya dari kalangan mayoritas – merasa setiap anggota dari organisasinya adalah yang paling top kesalehannya, paling afdhal, hingga paling ahli sunnah wal jamaah (aswaja) di permukaan bumi ini. Di sisi lain, tafsir tunggal kekuasaan yang selama ini merasa paling NKRI dan paling bhineka tunggal ika, juga perlu dijembatani dengan kesadaran yang lebih memanusiakan manusia Indonesia dengan sebaik-baiknya. ***

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top