Sedang Membaca
Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (4): Bagaimana Kiai Afif Memberi Argumen Terhadap Negara Pancasila?

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (4): Bagaimana Kiai Afif Memberi Argumen Terhadap Negara Pancasila?

Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (4): Bagaimana Kiai Afif Memberi Argumen Terhadap Negara Pancasila?

Tema lain yang sering dibahas dan dibedah oleh Kiai Afifuddin Muhajir adalah terkait konsep negara Pancasila.  Bukunya yang berjudul “Fiqh Tata Negara” menjadi salah satu buku rujukan terbaik dalam kajian politik Islam. Tema ini pula yang akan menjadi topik utama pidato pada pengukuhan gelar kehormatan (Dr. Hc) bidang fiqh & ushul fikih di UIN Walisongo Semarang Rabu 20 Januari 2020.

Dalam padangan Prof. Dr. Imam Ghazali Said, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya, argumen negara Pancasila yang dibangun Kiai Afif sangat menarik. Tidak seperti kebanyakan pemikir lain yang lebih memilih “menempel” ayat atau hadis pada butir-butir Pancasila, Kiai Afif lebih memilih argumen metodologis dengan pendekatan ushul fiqh.

Terkait Pancasila, mula-mula Kiai Afif, memberi pemetaan tentang fikih Islam, yang dipakai sebagai alat untuk membaca persoalan Pancasila. Kenapa fikih yang dijadikan alat untuk membidik? sebab bagian ini adalah bagian paling konkrit dalam sistem ajaran Islam tinimbang ajaran akidah ataupun tasawuf.

Dalam pandangan Kiai Afif, fikih dibagi menjadi dua. Fikih ibadah dan fikih muamalah. Keduanya di samping memiliki kesamaan juga memiliki banyak perbedaan. Salah satunya adalah jika fikih ibadah sifatnya terbatas, maka fikih muamalah sangat terbuka luas.

Dalam fikih ibadah, kaidah pokok yang dipakai adalah:

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada orang mukallaf adalah penghambaan-dogmatis bukan menoleh kepada substasi

Sementara dalam muamalah, kaidahnya adalah:

لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي دُونَ التَّعَبُّدِ، وَالْأَصْلَ فِيهَا الْإِذْنُ حَتَّى يدل الدليل على خلافه

”Konsep dasar dalam fikih muamalah adalah berpijak pada substansi bukan dogmatis. Dan asal dari fikih muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang memerintah sebaliknya”

Jadi dalam dua ranah itu, ada dalil yang berbeda. Jika dalam ranah ibadah adalah dalil wujudi atau al-Ilmu bi adam al-Dalil, yakni pengetahuan terhadap dalil yang membolehkan sementara dalam muamalah adalah dalil adami atau al-Ilmu biadam al-Dalil, yakni cukup tahu bahwa tidak ada dalil yang melarang,

Baca juga:  Ulama Banjar (191): H. Ahmad Syaukani Arsyad

Dari itu kemudian dapat diambil pengertian bahwa medan dalam fikih muamalah luas tak terbatas. Sekiranya dalam fikih ibadah keabsahan sebuah ibadah haruslah dikonfirmasi langsung, maka dalam fikih muamalah cukup tidak ada dalil yang melarang. Bukan hanya itu, jika dalam fikih ibadah yang dilihat adalah bentuk atau format maka dalam fikih mumalah adalah isi dan substansi.

Dalam kajian hukum Islam, ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis nabi terkait penyelenggaraan bernegara masuk dalam kategori muamalah. Abdul Wahhab Khallaf menyebut hukum-hukum ayat muamalah berupa kaidah-kaidah umum dan berupa prinsip-prinsip dasar. Prinsip itu adalah seperti keadilan (al-Adalah), kesetaraan (al-Musawah) dan permusyawaratan (al-Syuro).

Dengan mengacu keterangan di atas, maka ketentuan mengenai seluk beluk politik dan sistem pemerintahan tidak memerlukan dalil normatif agama secara terperinci dan mendetail. Dasar pembentukan sebuah negara dalam Islam adalah kemaslahatan yang dituangkan secara verbal dalam bentuk dalil kullī-ijmālī berupa prinsip-prinsip umum dalam berbagai seruan moral di atas. Sementara menyangkut detail-oprasionalnya, Islam sengat akomodatif dan kompatibel dengan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ketatanegaraan.

Bukan tanpa alasan kenapa dalam fikih muamalah dalil dan perangkat oprasionalnya tidak disebutkan secara rinci dan mendetail. Ini karena hukum-hukum yang terkait dengan muamalah berkembang sesuai dengan perkembangan waktu, tempat dan kemaslaḥatan manusia. Dalam konteks ini sabda Nabi Muḥammad Saw. menemukan momentumnya, Nabi bersabda:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.

Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.

Maka untuk menilai apakah Pancasila sesuai dengan Islam atau tidak? Jawabannya cukup cari apakah ada ayat al-Qur’an atau hadis nabi yang melarang Pancasila (dalil adami atau al-Ilmu bi adam al-Dalil) tidak perlu mencari dalil al-Qur’an atau al-Sunnah yang mendukung Pancasila (dalil wujudi atau al-Ilmu bi wujud al-Dalil).

Dari alur fikir di atas, bahwa Pancasila tidak ada dalil yang melarang baik dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka gerakan NKRI Bersyariah seperti yang pernah digelorakan sebuah Ormas, tidak perlu. Seperti kita tahu ini, NKRI Bersyariah adalah adalah soal penerapan sanksi seperti dalam bunyi verbal teks agama misal sanksi bagi pezina, pencuri dan lain sebagainya.

Baca juga:  Kiai Sahal Mahfudh (4): Dari Pesantren untuk Indonesia dan Dunia Islam

Jika mau berifikir konsisten, hukum pidana yang mau diterapkan dengan syariah maka proses pembuktian juga harus sesuai dengan syariah pula, misalnya, kasus berzina, sanksinya harus empat orang yang melihat langsung kasus perzinahan. Ditambah mereka semua harus orang yang adil-berintegritas. Dan itu semua tampak sangat sulit terjadi. Ini bukti bahwa sanksi pidana dalam Islam tampak teoritis sekali (uqubah nazariyah).

Di samping beratnya beban pembuktian di atas, Kiai Afifuddin Muhajir juga menambahkan alasan problematik, bahwa ada hal-hal lain yang menyebabkan hukuman had tidak gampang diterapkan seperti persyaratan harus tidak ada syubhāt, yakni tidak ada kesangsian yang melingkupi situasi dan kondisi ketika kasus kejahatan terjadi. Oleh karena itu, dapat dipahami kenapa Sayyidinā Umar ibn Khattāb sebagai Amīr al-Mu’minīn tidak melaksanakan hukuman potong tangan kepada orang yang telah terbukti melakukan pencurian yang bertepatan dengan masa paceklik.

Jika demikian, dalam pandangan Kiai Afif, yang perlu digelorakan adalah bukan NKRI Bersyariah dalam artian yang sempit seperti masalah hukuman potong tangan dan lain-lain tetapi penerapan syariat secara universal yakni mencakup keadilan, kesetaraan, dan rasa aman-nyaman bagi seluruh umat manusia tak terkecuali umat non-muslim.

Kenapa demikian? Sebab wajah islam yang paling dominan bukan hanya soal aspek sanksi dan hukuman, Jika kita jujur Alquran sebagai sumber utama dalam islam, ayat-ayat yang berkaitan dengan hukuman, seperti had, qisas dan takzir hanya berjumlah—dalam penelitian Abdul Wahhab Khallaf—sekitar 368. Dengan rincian:

  1. Al-Aḥkām al-Aḥwāl al-Syakhṣiyah berjumlah 70 ayat.
  2. Al-Aḥkām al-Madaniyah berjumlah 70 ayat.
  3. Al-Aḥkām al-Jinā’īyah berjumlah 30 ayat.
  4. Al-Aḥkām al-Murāfā’ah berjumlah 13 ayat.
  5. Al-Aḥkām al-Dusturiyah 10 ayat.
  6. Al-Aḥkām al-Dauliyah berjumlah 25 ayat.
  7. Al-Aḥkām al-Iqtiṣādiyah berjumlah 10 ayat.
Baca juga:  Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (1)

Wajah Islam yang paling tampak adalah prinsip umum seperti keadialan, kesetaraan dan keamanan bagi seluruh umat manusia.

Untuk mewujudkan hal itu, dalam Pandangan Kiai Afifuddin Muhajir, yang perlu digelorakan bukan NKRI Bersyariah akan tetapi tarbiyah islamiyah, yaitu pendidikan dan pemahaman nilai-nilai keislaman, seperti yang dilakukan di pesantren-pesantren. Sebab dengan pendidikan Islam tersebut umat Islam akan mempelajari agama secara benar dan substansial. Agama, dalam hal ini Islam tidak hanya dimaknai sebagai agama potong tangan, rajam dan lain-lain tetapi Islam adalah sebuah nilai keadialan, kedamaian dan peradaban bagi seluruh alam.

Pancasila sebagai dasar negara dalam pandangan Kiai Afifuddin Muhajir adalah sah dan sudah sesuai dengan ajaran Islam. Dalam terminologi fikih, pancasila masuk dalam segmen fikih muamalah. Dalam ajaran fikih muamalah, keabsahan sebuah perkara tak perlu menunggu ada dalil yang memperbolehkan secara sharih cukup tidak ada dalil yang melarang.

Pancasila sebagai dasar negara memang sudah final dan selesai, tapi ia sebagai produk. Sementara Pancasila sebagai proses tak pernah final dan selesai. Kita, semua elemen bangsa masih harus terus mengisi ruang-ruang kehidupan bernegara dengan hal-hal positif, keterbukaan, keadilan hukum, ekonomi dan politik, kesejahteraan, kemakmuran, kejujuran dan nilai positif lainnya adalah hal-hal yang tak pernah final dalam sistem apapun sampai kapanpun. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top