Sedang Membaca
Al-Mawazinul Khamsah: Polemik Fatwa Terjemah Khutbah Jumat Himpunan Raden Natadilaga Cikampek (1940)

Dosen di UNU Jakarta. Selain itu, menulis buku dan menerjemah

Al-Mawazinul Khamsah: Polemik Fatwa Terjemah Khutbah Jumat Himpunan Raden Natadilaga Cikampek (1940)

Kitab ini berjudul Al-Mawazinul Khamsah fil Bahts ‘an Ikhtilafil ‘Ulama fi Mas’alah Tarjamah Khutbatil Jum’ah yang menghimpun polemik fatwa-fatwa ulama Nusantara dan Timur Tengah terkait masalah boleh atau tidaknya diterjemahkan khutbah Jumat dari bahasa Arab ke dalam bahasa ‘ajam (non-Arab).

Kitab ini ditulis dalam dua bahasa, yaitu Arab dan Melayu beraksara Arab (Jawi/Pegon) yang diupayakan oleh Raden Natadilaga, seorang ulama-menak (bangsawan) Sunda dari Dawuan, Cikampek (kini Karawang, Jawa Barat), yang juga pemimpin organisasi Syafa’atul Ikhwan (President Sjafaatoel Ichwan) yang berhaluan tradisionalis, juga pemimpin redaksi sebuah majalah berbahasa Melayu aksara Arab bernama Al-Thabib yang terbit secara berkala.

Saya sendiri mendapatkan naskah kitab ini dari perpustakaan pribadi KH. Soleh Syamsuddin Lateng (Banyuwangi, Jawa Timur), yang tersimpan di lemari buku masjid peninggalan beliau. Saya berkesempatan untuk menziarahi makam KH. Soleh Lateng, rumah kediaman beliau, dan juga masjid serta pesantren yang didirikan beliau pada pertengahan bulan September 2017.

Soleh Lateng (w. 1952) adalah ulama besar Banyuwangi asal Palembang, bergelar Kiagus, yang merupakan murid kesayangan KH. Kholil Bangkalan sekaligus kawan dekat KH. M. Hasyim Asy’ari Jombang. Dalam sejarahnya, KH. Soleh Lateng tercatat sebagai salah satu tokoh pendiri NU di Surabaya pada 1926, juga menjadi ketua NU cabang Banyuwangi pertama. Silsilah KH. Soleh Lateng (b. Kiagus Abdul Hadi b. Kiagus Abdurrahman Palembang) menyambung kepada Kiagus Bodrowongso, ulama sekaligus bangsawan Palembang yang hidup di abad ke-17 M.

Selain kitab ini, di perpustakaan tersebut juga saya menemukan koleksi kitab-kitab langka lainnya, seperti kitab karangan KH. A. Wahhab Hasbullah yang ditulis pada tahun 1924, juga kitab karangan TGH. Zainuddin Abdul Majid yang ditulis tahun 1950, kitab karangan KH. Ammar b. Faqih Maskumambang yang ditulis tahun 1939-an, dan lain sebagainya.

Sebagaimana tertera pada kolofon, kitab al-Mawazin al-Khamsah ini diselesaikan pada bulan Dzul Qa’dah 1359 Hijri, bertepatan dengan Desember 1940 Masehi. Raden Natadilaga menulis:

Baca juga:  Kitab Salat Pertama di Jawa Dicetak Hingga India

تمت والله ورسوله أعلم دالم بولن ذو القعدة 1359 – ديسمبر 1940. سلام تعظيم كفد سكلين أهل الخير

(Telah selesai, hanya Allah dan Rasul-Nya jualah yang maha mengetahui, dalam bulan Dzul Qa’dah 1359 – Desember 1940. Salah takzim kepada sekalian ahli kebaikan).

Tercatat pula setelah jumlah kalimat di atas, alamat Raden Natadilaga, yaitu Halte Dawoean Postk, Tjikampek (Java). Karya ini dicetak setahun kemudian (1360 H/ 1941 M) di Percetakan Sayyid Utsman, yang beralamatkan Petamburan nomor 67, Batavia Centrum (kini Jakarta). Jumlah keseluruhan halaman versi cetak adalah 31 halaman.

Dalam kata pengantarnya, Raden Natadilaga menulis:

مك دسين اكن ممبجراكن مسئلة خطبة جمعة تنتغ هاروسن دان تيدهاروسن دترجمهكن كدالم بهاس عجم دبيكين توجوه فصل

(Maka di sini akan membicarakan masalah khutbah Jum’at tentang harusnya dan tidak harusnya diterjemahkan ke dalam bahasa ‘ajam, dibikin tujuh pasal).

Al-Mawazinul Khamsah (foto: ginanjar)

Kitab ini dibagi oleh penghimpunnya ke dalam tujuh pasal. Pasal pertama menghimpun salinan Risalah Khutbah Jum’ah yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Bangkahulu.

Pasal kedua memuat risalah Tanbihul Thalabah fi Khutbatil Jum’ah bi Ghairil ‘Arabiyyah karangan KH. Ahmad Sanusi Gunungpuyuh (Sukabumi).

Pasal ketiga memuat fatwa ulama Al-Azhar Kairo yang dimuat dalam majalah Nurul Islam, juz ke-24, halaman 311. Pasal keempat memuat penggalan nazhaman yang dikarang oleh KH. Ahmad Qusyairi b. Shiddiq Pasuruan tentang hukum permasalahan terkait.

Baca juga:  Inilah Kitab Astronomi Karya Bangsawan Sunda Abad 19 yang Menjadi Pelajaran Wajib di Mekkah

Pasal kelima memuat nazhaman yang berjudul al-Rududul Mufhimah ‘ala Mani’il Tarjamah karangan Habib Salim b. Ahmad b. Jindan al-‘Alawi Betawi yang membantah nazhaman karangan KH. Ahmad Qusyairi b. Shiddiq sebelumnya.

Pasal keenam memuat dialog imajiner antara dua orang bersaudara, yang satu sebagai pihak yang menyokong pendapat haramnya menerjemahkan khutbah Jumat, sementara yang lainnya sebagai pihak yang menyokong bolehnya menerjemahkan khutbah tersebut. Pasal ketujuh adalah ulasan, kesimpulan, dan pendapat yang diambil oleh Raden Natadilaga.

Dalam kesimpulannya, Raden Natadilaga tampak mengajak kedua belah pihak yang berpolemik terkait hukum boleh tidaknya menerjemahkan khutbah ke dalam bahas ‘ajam untuk sama-sama saling menghormati pendapat satu sama lain, karena antara keduanya memiliki sandaran dalil yang sama-sama kuat.

Raden Natadilaga menyerukan lebih penting menjaga persaudaraan dan persatuan ummat Islam di Nusantara daripada mereka tenggelam dalam konflik dan polemik yang berkepanjangan dalam masalah-masalah yang sebenarnya bersifat furu’iyyah dan bukan ushuliyyah.

Kitab Al-Mawazinul Khamsah  merupakan bilangan ke-15 (lima belas) dari seri yang disusun oleh Raden Natadilaga, yang keseluruhannya berjumlah 19 buah seri.

Seri-seri tersebut memuat polemik fatwa ulama Nusantara dan Timur Tengah terkait permasalahan-permasalahan Islam yang mengemuka dan menghangat di Nusantara pada masa itu. Polemik tersebut berasal dari kalangan tradisionalis (seperti Nahdlatoel Oelama/NU) yang berhadapan dengan kalangan modernis (seperti Al-Irsyad, PERSIS Bandung, Muhammadiyyah, dan lain-lain).

Di antara permasalahan yang diperdebatkan adalah masalah ijtihad dan taklid, masalah ziarah kubur, masalah menerjemahkan khutbah dengan bahasa non-Arab, masalah melafalkan niat ketika memulai salat, dan lain-lain.

Baca juga:  Tips Nyaleg ala Kitab Alfiyah Ibnu Malik

Seri pertama, misalnya, memuat bantahan atas pendapat-pendapat Syekh Ahmad Surkati, tokoh asal Sudan yang bermukim di Nusantara dan mendirikan organisasi Al-Irsyad yang berhaluan modernis. Seri keenam memuat pendapat Muhammadiyyah yang mengatakan salat hari raya sebaiknya dilaksanakan di lapangan, bukan di dalam masjid. Seri kesebelas memuat polemik fatwa ulama terkait hukum memukul kentongan (bukan bedug) sebagai pertanda masuk awal waktu salat, dan lain sebagainya.

Banyuwangi-Bogor, September 2017-Maret 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top