Kitab kuning merupakan suatu kekhasan pondok pesantren. Disebut kitab kuning karena pada awalnya kitab tersebut menggunakan kertas yang berwarna kuning. Kendati kini telah banyak beredar kitab-kitab bercetakan kertas berwarna putih, penyebutan kitab kuning masih tetap populer dipakai sampai saat ini.
Penyebutan kitab kuning sendiri merujuk kepada karya-karya pustaka ulama klasik dalam khazanah Islam di jazirah Arab yang tersebar masuk ke Nusantara pada sekitar abad ke-16 Masehi. Proses awal penyebarannya dijembatani oleh para ulama Nusantara yang melakukan rihlah ilmiah ke Tanah Haram, yakni Mekkah dan Madinah, dua kota yang menjadi pusat keilmuan dan peradaban Islam pada masa itu.
Dari sana kemudian kalangan pesantren menetapkan kitab kuning sebagai acuan kurikulum pendidikannya. Namun, Mohammed Abed Aljabri dalam bukunya, Nahnu wa al-Turats, menjelaskan bahwa kitab kuning yang diterima di kalangan pesantren adalah hasil seleksi ketat para ulama Nusantara dengan berpijak pada kerangka ideologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (biasa disingkat Aswaja).
Karena itu, penyebutan kitab kuning berbeda dengan istilah turats yang memiliki cakupan makna lebih luas meliputi semua peninggalan intelektual ulama klasik, entah yang berideologi aswaja, Jabariah, Kadariah, maupun Muktazilah.
Penelitian terhadap asal mula pondok pesantren di Indonesia telah banyak dilakukan berbagai kalangan sehingga menghasilkan beberapa pandangan dan pendapat yang saling berseberangan. Akan tetapi, yang pasti bahwa pondok pesantren sudah ada sejak ratusan tahun silam. Bahkan pada purwa kala keberadaanya, pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang menjadi tumpuan masyarakat umum ketika itu.
Hal tersebut senada dengan ulasan Gus Dur dalam salah satu artikelnya, “…Dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru kebangsawanan dan mereka yang karena hubungannya dengan keraton dididik dalam lembaga pendidikan kekeratonan, pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton. Karena itu, dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama…”
Dalam perkembangannya belakangan ini, kebanyakan pondok pesantren di tanah air memang telah banyak berbenah demi menyesuaikan diri dengan derap kemajuan zaman. Namun, antara satu pesantren dengan pesantren lainnya masih dapat dibedakan ke dalam dua klasifikasi besar, yakni pondok pesantren tradisional (salafiyyah) dan pondok pesantren modern (khalafiyyah).
Secara ringkas, pondok pesantren tradisional dapat dipahami sebagai pondok pesantren yang masih eksis memegang teguh tradisi serta kultur awal pesantren dalam setiap aktivitas kepesantrenannya, sedangkan pondok pesantren modern adalah sebaliknya.
Kultur pesantren yang dimaksudkan di sini adalah realitas keseharian santri di pesantren tradisional yang tidak hanya belajar (ngaji), tetapi juga berkhidmah (ngabdi). Dengan belajar mereka memperoleh ilmu, sedangkan melalui khidmah mereka bakal mendapat kucuran berkah. Keduanya, ngaji dan ngabdi, merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam keseharian santri di pondok pesantren tradisional.
Sementara di pesantren modern, hal demikian (mengaji sekaligus mengabdi) sudah jarang dijumpai. Apalagi di lembaga pendidikan umum yang nonpesantren. Maka tidak mengherankan manakala di lingkungan pesantren tradisional akan dapat dengan mudah dijumpai pengajian sorogan (individual) dan pengajian bandongan (kolektif).
Selain itu, kiai selaku pengasuh pesantren, amat disegani dan ditakzimi oleh para santrinya. Mereka, santri-santri itu, akan dengan senang hati, bahkan terkadang sampai berebut, untuk ikut bekerja membantu sang kiai dalam ihwal semisal mengurusi sawah, kebun, atau kolam ikan milik sang kiai.
Di lain sisi, pesantren-pesantren saat ini dapat pula dibedakan melalui keunggulan dan fokus keilmuannya yang berbeda-beda. Semisal, pesantren tahfizh al-qur’an yang hanya berfokus pada ilmu Alquran dan tahfizh (hafalan)-nya saja, sehingga kemampuan membaca kitabnya menjadi kurang mumpuni. Ada pula pesantren yang mengambil spesialisasi pada kajian kitab kuning semata sehingga memiliki kelemahan dalam penguasaan baca-hafal Alquran. Akan tetapi, ada pula segelintir pesantren yang berkonsentrasi memadukan keduanya, concern mengaji Alquran sekaligus peduli betul terhadap pengkajian kitab kuning.
Seyogianya memadukan pembelajaran ilmu Alquran dan pengkajian kitab kuning dengan tanpa mengutamakan salah satunya merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, Alquran tidak sebatas mampu dibaca dan dihafalkan saja, tetapi tahapan terpentingnya adalah dipahami untuk kemudian diamalkan dalam keseharian.
Adapun untuk memahami Alquran bukanlah perkara mudah dan sederhana. Alquran yang notabene berbahasa Arab itu tidak cukup dimengerti hanya dengan mengandalkan terjemahan berbahasa Indonesia. Namun, pemahaman tamam dan paripurna terhadap kitab suci tersebut dapat diperoleh melalui penguasaan seperangkat ilmu tata bahasa Arab (lazim disebut sebagia ilmu alat) berikut kaidah-kaidah ilmu tafsir, yang mana itu semua bertalian erat dengan kemampuan membaca kitab kuning.
Itulah yang dimaksudkan dengan pengkajian kitab kuning dalam konteks ini. Yakni, pembelajaran ilmu nahwu dan ilmu shorof, selaku materi dasar dari ilmu alat. Selain ilmu mantik, ilmu bayan, dan yang lainnya.
Sebab itu, sangat disayangkan bilamana seorang hafizh al-qur’an (penghafal Alquran) kurang memahami makna kandungan Alquran lantaran tidak memiliki skill membaca kitab kuning. Bukankah Alquran itu pedoman hidup umat Islam? Lalu, bagaimana mungkin ia mampu memahami ketentuan hukum dan berbagai hikmah yang terkandung di dalamnya sementara dirinya tidak paham nahwu-shorof serta ilmu tafsir?
Begitu pula dengan santri yang pandai membaca kitab, namun kurang menguasai ilmu Alquran. Bukankah Alquran itu sumber utama syariat Islam? Lantas bagaimana mungkin ia leluasa berdalil tanpa modal kemapanan dalam membaca dan menghafal ayat-ayat Alquran?
Lagi pula, kedua macam ilmu di atas (Alquran dan kitab kuning) hanya dapat dipelajari secara baik dan benar dengan cara mondok alias mengaji di pesantren. Sebab, sumber dan transmisi (sanad) keilmuan guru-guru di pesantren sudah terjamin koneksitasnya sampai ke Rasulullah saw. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh di sana dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan malar-malar di akhirat kelak. Begitu pula dengan pemahaman yang diajarkan adalah pemahaman yang lurus dan berimbang antara pemahaman nushush (makna tersurat) dan maqashid (makna tersirat). (RM)