Sempat viral tagar #TengkuZulS4mpahMUI pasalnya dalam sebuah unggahan video Tengku Zulkarnain (Tengku Zul) terkait isi ceramahnya yang dianggap rasis. Dalam video tersebut ia menyampaikan guyonan yang membanding-bandingkan cara dakwah ulama Jawa dan Batak, dua suku yang umumnya dipandang mempunyai karakter yang kontras. Ulama Batak digambarkan mempunyai gaya tegas tanpo tedeng aling-aling (Jawa: tanpa ada yang ditutup-tutupi, apa adanya) dalam berdakwah, dan ulama Jawa yang kalem dan lemah lembut.
Pernyataannya tersebut dianggap rasis dan menghina suku Jawa, apalagi disampaikan dalam ceramah agama atau dakwah. Bahkan, ia mendapatkan ultimatum untuk segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Jika tidak maka akan dilaporkan ke pihak berwajib.
Pada dasarnya, yang disampaikan oleh Tengku Zul saya kira adalah humor yang wajar-wajar saja. Ki sanak bisa dengan mudah menemukan para da’i lain yang kerap kali membawakan ceramah yang isinya tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh Tengku Zul.
Lantas, mengapa kemudian respon terhadap Tengku Zul menjadi berbeda?
Setidaknya, ada dua alasan mendasar terkait hal itu. Pertama, respon negatif terhadap isi ceramah Tengku Zul muncul karena ketika seseorang menyampaikan sesuatu, audien telah mempunyai penilaian atau konstruksi berpikir terhadap si pembicara, dalam hal ini Tengku Zul, berdasarkan track record-nya. Sudah maklum bahwa ia sering kali menyampaikan statemen kontroversial yang tidak berdasar dan acap kali mengundang kegaduhan publik dan menyeretnya ke ranah hukum.
Misalnya, dalam menyatakan sikap tidak sepakatnya terhadap UU PKS, ia menuduh jika pemerintah mengesahkan RUU ini, maka itu sama halnya dengan melegalkan perzinahan. Pun demikian dengan pernyataanya pada saat pilpres 2019 yang mengatakan bahwa sejumlah kontainer berisi surat suara telah dicoblos untuk salah satu paslon.
Melihat sepak terjang panjangnya yang demikian, maka mereka yang tidak sepakat, bahkan tidak suka, dengan pernyataan-pernyataan Tengku Zul kemudian memposisikannya sebagai out-group atau the other (liyan). Konstruksi berpikir tentang si liyan ini selanjutnya dapat bertransformasi menjadi sosok musuh dengan segala atribut yang disematkan kepadanya (enemy image). Maka tidak heran jika dengan munculnya unggahan video ceramahnya yang menyerempet isu SARA, sontak publik pun menganggapnya sebagai suatu yang rasis.
Kedua, dalam dunia media apalagi media daring, sebuah narasi yang disampaikan oleh seseorang bisa jadi dipahami berbeda oleh audien yang membaca atau mendengarnya sebagaimana dinyatakan dalam teori encoding-decoding oleh Sturat Hall. Hal itu terjadi karena adanya sebuah proses memahami narasi yang diterima pada audien yang salah satunya dipengaruhi oleh konstruksi berpikirnya itu.
Dalam kasus video Tengku Zul ini, ketika audien dengan konstruksi berpikirnya terhadap sosok Tengku Zul sudah terbentuk sebagaimana yang saya sampaikan pada poin pertama, maka bisa jadi meskipun dalam video tersebut ia hanya bercanda–tanpa bermaksud menghina–audien yang menontonnya tetap saja menganggapnya sebagai sebuah pelecehan.
Tentu saja, tidak sedikit pula yang menganggap video tersebut hanyalah humor. Untuk memahami mengapa ada perbedaan pandangan dalam menanggapi video itu, saya akan sedikit jelaskan pembagian posisi audien menurut Stuart Hall dan mengkontekskannya dengan video ceramah Tengku Zul.
Pada dasarnya, audien yang menerima sebuah informasi dibagi ke dalam tiga kelompok posisi. Pertama: kelompok dominant-hegemonic position. Audien yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang mempunyai konteks dan pandangan yang sama persis dengan si pembuat narasi (author). Mereka memahami atau meng-amini (taken for granted) sebuah narasi sebagaimana yang disampaikan oleh author. Dalam kasus video Tengku Zul, yang masuk dalam kategori posisi ini adalah mereka para pendukung atau, paling tidak, yang selama sepakat dengan pandangan- pandangannya.
Kedua, kelompok negotiated position. Audien dalam posisi ini mampu memahami sebagaimana yang dimaksud oleh author, namun mereka juga mempunyai pemikiran lain terkait narasi yang disampaikan melalui analisisnya. Misalnya, seseorang yang melihat video ini mengamini bahwasannya Tengku Zul hanya bercanda, agar hadirin tidak mengantuk. Namun, kelompok audien ini juga meyakini bahwa selain bercanda, Tengku Zul sebenarnya juga mempunyai tujuan tertentu, yakni membela diri dari para haters yang menuduhnya sebagai ulama yang sering menyampaikan ceramah bernada provokasi dan tidak toleran dengan menggunakan isu karakter dan identitas kesukuan.
Ketiga, kelompok oposisional position. Audiens dalam posisi ini memahami sebuah narasi berbeda dengan yang dimaksud oleh author. Atau, bisa jadi mereka mengerti maksud si author namun lebih memilih untuk keukeuh meyakini pemahaman berdasarkan analisis mereka sendiri. Kelompok ini lah yang saya singgung sebelumnya sebagai audien yang telah memiliki gambaran konstruksi berpikir tentang Tengku Zul sebagai liyan, bahkan musuh.
Saya sendiri menganggap bahwa ceramah yang disampaikan oleh Tengku Zul itu biasa-biasa saja, sekedar humor. Gus Dur dalam banyak kesempatan pun kerap menyampaikan guyonan serupa. Misalnya, ketika dia menceritakan obrolan tiga pemuka agama tentang umat agama mana yang paling dekat dengan Tuhan. Karena berdasarkan rekam jejaknya Gus Dur adalah orang yang komitmen dalam memperjuangkan kemanusiaan dan kerukunan umat beragama, maka tidak ada orang yang tersinggung dan menganggapnya rasis. Mereka dengan mudah menangkap cerita itu tulus dan murni sebagai humor.
Lalu, coba anda bayangkan jika cerita yang sama itu disampaikan oleh sosok Tengku Zul dengan rekam jejak yang sudah menempel pada dirinya, tanpa saya jelaskan, anda tentu bisa membayangkan bagaimana jadinya.
Di sisi lain, seperti halnya mbah Sujdiwo Tejo, budayawan Jawa, yang melalui twitnya merasa tidak tersinggung, saya pun menganggap ceramah dalam video tersebut biasa-biasa saja. Namun, bukan berarti lantas saya sepakat dengan disebarnya video tersebut di media sosial. Saya lebih tidak sepakat dengan orang yang mengunggahnya. Sungguh tidak elok karena isinya lebih cocok menjadi konsumsi kalangan terbatas.
Seperti halnya dalam tradisi pesantren, ketika mempelajari ilmu tauhid (teologi), tidak jarang seorang ustaz membandingkan konsep ketuhanan dalam Islam dengan konsep agama lain untuk memantapkan keimanan sang murid. Cara yang digunakan terkadang dengan menggunakan humor yang bisa jadi kurang elok didengar oleh bagi saudara non-muslim. Namun, itu hanyalah humor, dan yang paling penting hanya untuk kalangan terbatas (saat belajar) dan tidak disebarluaskan di media sosial yang rawan misinterpretasi.
Akhirnya, menyebarkan video ceramah yang humornya mendekati rasis dan rawan disalahpahami adalah hal yang tidak elok. Namun, tidak kalah tidak elok orang yang secara reaksioner menanggapinya dan membawanya ke ranah hukum. Apalagi yang bersangkutan mendaku sebagai orang Jawa. Saya jadi teringat sebuah adagium Jawa yang mengatakan “Wong Jowo Ilang Jowone”, orang Jawa hilang (karakter) jawanya.