Sedang Membaca
Alif dalam Term Sosrokartono dan Abdul Karim al-Jilli
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

Alif dalam Term Sosrokartono dan Abdul Karim al-Jilli

Pengalaman spiritual atau religio dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat. Dalam kategori William James, keadaan “mabuk Tuhan” yang memukau seperti itu akhirnya selalu dicoba untuk diabadikan dengan sesuatu yang kukuhdalam term semiotik disebut simboltentang yang kekal dan ketidak-jangkauan.

Atau yang terjangkauyang sebenarnya tentang yang luhur. Atau tentang yang indah memesona. Pengalaman itu boleh jadi buah rindu. Buah Cinta. Ia tanda damba dan takjub. Dalam keadaan itulah R.M.P Sosrokartono punya “Alif”, sesuatu yang juga lazimnya dialami oleh para asketis lainnya.

Dalam huruf Alif itulah, Sosrokartono hadir sebagai situasi terpuncak, momen yang tak lazim, makna yang sangat  sakral. Hal ini membuat ia sangat berhati-hati dengan sulaman Alifdalam karya kaligrafinya. Sosrokartono mengatakan, bahwasannya “memasang Alif harus dengan upaya laku, tidak boleh digantungkan begitu saja dan kemudian ditinggalkan, seperti menjemur baju”.

Perkataan  ini memberi pengertian bahwa ia tidak menginginkan seseorang memasang Alif sembarangan, orang yang boleh memasang Alif adalah orang yang sudah menjalani laku, karena Alif mempunyai makna yang dalam bagi kehidupan manusia di Dunia. (Abdullah Ciptoprawiro, Alif. h. 58)

Ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous, sebagaimana dialami Sosrokartono yang  menjadikan Alif sebagai simbol, maka dalam ketidaksadaran dan sadarnya, ia juga akan menyukai yang serba lurus dan jejeg, misalnya, ia menyukai Pring dan Lidi. (R.M.P. Sosrokartono, Serat saking Tanjung Pura).

Dalam ilmu Psikologi, kesukaan seseorang itu mempengaruhi perilaku dan pemikirannya. Hal ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi  dalam pemikiran Sosrokartono. Di abad ke-5, atau 500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan perasaan yang  mirip Sosrokartono: “Sepanjang waktu aku gemetar sendiri, seperti sebatang bambu di tepi sungai.”

Alif bagi Sosrokartno tidak hanya dimaknai sebagai huruf pertama hijaiyah, Alif juga tidak hanya seperti coretan angka satu yang berdiri, Alif menyimpan makna yang sangat dalam, dan mungkin kita tidak pernah menyadari itu. Diantara makna Alif bagi SosroKartono itu adalah Alif menggambarkan keesaan dalam kenyataan atau kasunyatan, yang merupakan perpaduan dan kesatuan empat fa’al Jiwa yaitu Catur Murti.

Alif merupakan kiasan kekuatan ghaib, antara lain untuk menyembuhkan penyakit. Alif merupakan sarana fokus konsentrasi ke arah tercapainya situasi keterbukaan Jiwa untuk menerima unsur-unsur dari luar. Alif sebagai pengganti kata Aku, dan Alif menggambarkan Jumbuhing Kawulo Gusti.

Baca juga:  Meneroka Lokalisasi Melalui Kehidupan Lalat Buah

Alif Keesaan

Bagi Sosrokartono, dalam kata Allah, terdiri dari lima huruf yang jamid, yaitu alif, lam, lam, alif dan ha. Masing-masing huruf punya filosifinya, tetapi semua terkumpul dan tertumpu pada yang utama yaitu Alif. Kenapa pada Alif?  Karena alif mengandung tauhid-dzati yaitu al-Ahadiyah, yang berarti semua yang wujud ini tiada, atau akan sirna kecuali al-Ahad-al-Haq (Ar-Rahman, 26-27). Tetapi semua yang wujud itu juga Esa, terdiri dari sukma, jiwa, raga dan jagad raya.

Empat wujud ini menurut Sosrokartono simbol dari laku Catur Murti yaitu bersatunya empat fa’al, yaitu perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Berawal dari perasaan maka timbullah pikiran, kemudian berkata dan terakhir berbuat. Dengan bersatunya empat fa’al tersebut maka manusia akan menemukan kenyataan (Jawa: Kasunyatan) dari kenyataan ini akan menemukan Keeasan. (R.M.P. Sosrokartono, Laku Lan Maksudipun, Binjei, 12 November 1931)

Pengertian Sosrokartno mengenai Alif Ahadiyah ini senada dengan konsep Alif menurut sufi besar Abdul Karim Al-Jilli (1365-1421). Menurutnya, huruf Alif di awal kalimat Allah, mengantarkan kepada pengetahuan tentang Dzat Mutlak, yaitu al-Ahad, sebagai cermin dan washilah bagi segala yang wujud.

Apabila seorang hamba mampu bercermin melalui rahasia Alif, atau tauhid dzati ini maka akan terbuka takbir yang memisahkan antara makhluk dan khaliq. Diri manusia sebagai khalifah Allah dan Allah, ibarat dua cermin alif yang saling berhadapan yang satu sama lainnya dan bisa saling memandang (Abdul Karim Al-Jilli, Insan al-Kamil, Juz I, h. 26)

Alif Kekuatan

Menurut Sosrokartono dalam kalimat Allah, ada kata alif kedua, ia tak terlihat, juga tak tertulis, tetapi pasti diucapkan, yaitu alif yang sempurna, yang dalam tajwid bacaannya dipanjangkan. Tidak tertulisnya huruf Alif ini menunjukkan ada kekuatan gaib dalam huruf Alif. Di dunia ini ada yang tak terlihat, juga, tak terperhatikan, tetapi wujudunya nyata, itulah Sang Alif, huruf Alif kedua dalam kalimat Allah.

Alif ini adalah isyarat kekuatan gaib yang selalu tak terhindarkan. Hal ini disebabkan, selain Allah adalah dzat dan wujud yang paling nyata, dalam Alif pertama. Allah juga, wujud dan dzat paling abstrak dalam Alif kedua.

Dua hal itu adalah kehendak Allah. Kewujudan-Nya yang terang benderang bisa dikenali melalui indra-rasio, dan keabstrak-annya harus dikenali melalui usaha maksimal spiritual manusia, al-hasil dari upaya spiritual manusia menghasilkan jiwa yang siap menerima rahasia tajalli-Nya. Dengan demikian manusia akan bisa menyerap kekuatan maha gaib dari Allah.

Baca juga:  Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (2)

Dalam salah satu upaya menuju ke sana, Sosrokartono menunjukkan jalan itu, sebagaimana yang terkenal dalam salah satu postulatnya: Langgeng tanpo susah, tanpa seneng, antheng mantheng, sugeng jeneng… (Tegak lurus, tanpa bahagia tanpa duka, tenang di tengah tidak goyah dan menjaga nama).

Rahasia jiwa untuk menerima rahasia tajali dan kekuatan-Nya itu diperkenalkan oleh Sosrokartono, diantaranya dengan bersikap tegak-lurus seperti huruf Alif. Tegak di tengah,  berarti kita jangan sampai miring ke kiri atau ke kanan, atau condong ke atas atau kebawa, tetapi tetap di tengah.

Dalam term geometri posisi ini mungkin seperti dua garis lurus yang saling menyilangkan, dan di tengahnya terdapat angka 0. Angka 0 ini jika miring sedikit saja, maka akan bergeser menjadi minus satu (negatif) atau tambah satu (positif) dan seterusnya. Angka 0 berbeda dengan kosong atau nihil. Maka posisi ideal memang menjadi Alif-washati.

Garis keatas simbol nafs-ruhiyah (jiwa), garis kebawa simbol nafsaniah (hawa-nafsu), garis ke kanan al-aql (rasio) dan garis ke kiri khyali (fantasi).

Terkait terma Alif-kekuatan gaib, ini sejajar dengan konsep Abdul Karim dalam terma Alif ahl al-Ghaib. Huruf kedua dari kalimat Allah ini juga menunjukkan bahwa ada eksistensi lain dari kesederhanan tubuh-manusia, yaitu eksistensi ahl al-Ghaib, yang ia sebut sebagai ‘wadah’ insan al-Kamil, karena terpilih untuk bisa mendekati-Nya dan menerima tajali-Nya.

Menurut Al-Jilli, bahwa, anna dzat Alallahuta’ala ghaib al-Ahadiyah allati kullu yara musthafiyah lima’atin la waqiah ‘alaiha…(dzat Allah adalah ghaib al-Ahadiyah, yang tiap ungkapan yang mencoba mendiskripsikannya dari berbagai sisi tidak akan sesuai dengan kenyataan, tetapi ia bisa dipahami koheren, karena kekuatannya. Untuk memberi penjelasan tentang dzat esensi Alif yang gaib ini al-Jilli menganalogikan dengan dzat seokor burung quds yang terbang di angkasa yang hampa, tetapi punya kekuatan. (Abdul Karim Al-Jilli, Insan al-Kamil, Juz I, h. 22 dan 26)

Alif Kemarifatan

Alif kemarifatan berarti gabungan antara Alif yang nyata dan yang tak nyata, tetapi terbaca itu. Sosrokartono lalu mentesakan antara “Aku (wujud kasar) + Aku wujud al-ghaib“= Kema’rifatan. Alif nyata berarti Jumbuhing Kawulo Gusti. Sementara Alif yang tak kasat mata berarti Manunggaling Kawulo Gusti. Kedua terma dia atas, yaitu jumbuhing dan Manunggaling Kawulo Gusti mempunyai makna yang sama yaitu kemarifatan bersatunya manusia (alam) dengan Tuhan, yang membedakan hanya lafadz dan pelafalannya saja.

Menurut Sosrokartono jagad raya ini hanyalah jumbuhing, atau wadah kasar bagi tajalli atu manuggaling-Nya. Maka dalam pengetahuan-kemarifitan segala yang ada di alam raya ini tidak ada arti kecil maupun besar, tinggi maupun rendah. Karena semuanya pada hakikatnya adalah mir’ah dari Alif Ahadiyah.

Konsekwensi dari pemikiran itu, meniscayakan bahwa tidak ada eksistensi yang hakikat dari sekadar wadah-kasar, seperti status kaya-miskin, kawula-ningrat, atau rakyat-penguasa. Semua adalah sama secara hakikat (alif kedua), meski begitu tiap posisi (alif pertama) memberi nilai dan peluang pada makna: “Ngawula dateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip, …” (mengabdi kepada abdinya Tuhan dan memperbaiki keindahan hidup).

Baca juga:  Islam Indonesia dan Tantangan Diplomasi Perdamaian

Diungkapkan bahwa Sosrokartono memiliki tiga buah Alif, yaitu: Sang Alif warna hitam, dengan dasar putih. Sang Alif warna putih, dengan dasar biru muda, dan Sang Alif warna putih, dengan dasar merah.

Menurut Sosrokartono, sebelum Tuhan bertajali dan dikenali oleh makhluknya, Tuhan dalam keadaan ‘amma atau tidak dikenal, simbol ini berwarna hitam, dengan dasar putih. Lalu al-‘amma menerima al-Ahadiyah, Tuhan dalam keadaan ini bertajalli bagi diri-Nya atau penampakan dirinya pada Dzat yang Esa, Tuhan dalam keadaan ini masih belum bisa disifati, simbol ini alif berwarna putih, dengan dasar biru muda.

Kemudian Tuhan menampakkan Dzat-Nya (Iniyyah) pada alam-raya. Iniyyah adalah isyarat bagi munculnya Tuhan dengan segala kesempurnaan dari sisi bathin-Nya. Di posisi ini Sang Alif warna putih, dengan dasar merah, sebagai puncak dari kemarifatan seorang hamba dengan Tuhan.

Terma simbol warna-warni di atas juga dimunculkan oleh al-Jilli berdasarkan hubungan timbal-balik; Tuhan ingin dikenal oleh makhluknya dan mahluk atau ciptaan ingin mengenal Tuhannya, maka terjadilah suatu kepentingan bersama yang menjadi keinginan masing-masing.

Lalu manusia menadapatkan tingkatan kemarifatan secara berjenjang dari perbuatan, nama, sifat, sampai dzat Tuhan secara lengkap, dalam hal ini kemarifatan sempurna adalah posisi menjadi insan al-Kamil setelah melalui empat fase, yaitu tajjali pada af-‘al, tajjali pada sifat-Nya, tajalli pada asma-Nya dan dan tajalli pada Dzat-Nya. Hal ini bisa terjadi karena manusia mempunyai nous Tuhan yaitu, nafs, ruh dan qulb. (Abdul Karim Al-Jilli, Insan al-Kamil, Juz I, h. 56). Wallahu’alam bishawab.

Kasongan, 2 Oktober 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
2
Terinspirasi
6
Terkejut
0
Lihat Komentar (3)

Komentari

Scroll To Top