Afthonul Afif
Penulis Kolom

Penulis dan pemerhati isu-isu psikologi. Menyelesaikan S2 dalam bidang Psikologi Klinis di UGM Yogyakarta.

Hidup Tabah ala Ki Ageng Suryomentaram

Dalam sebuah kesempatan, Ki Prasetyo Atmosutidjo, anak dari Ki Atmosutidjo, pengikut generasi pertama Ki Ageng Suryomentaram, menyeritakan kepada penulis sebuah kejadian unik yang dialami oleh Ki Ageng. Waktu itu, rakyat Yogyakarta sedang berada dalam suasana pertempuran melawan penjajah Belanda dalam Agresi Militer Belanda Kedua tahun 1948. Tersiar di kalangan pejuang bahwa Ki Ageng Suryomentaram adalah sosok hebat yang dapat memberikan jimat kepada pejuang sehingga tubuh menjadi kebal dari terjangan peluru.

Kebetulan, saat itu Ki Ageng memang sedang giat-giatnya mempopulerkan Jimat Perang, sebuah semangat tidak takut mati di medan pertempuran dalam rangka mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Tidak sedikit pejuang yang mendatangi Ki Ageng dan memaksanya untuk memberikan jimat yang dimaksud. Karena terus dipaksa, Ki Ageng akhirnya mengabulkan permintaan para pejuang itu.

Ki Ageng kemudian membuatkan jimat yang dipesan itu, yakni dengan menulis sejenis mantra di atas kertas yang selanjutnya dibagikan kepada para pejuang. Namun, Ki Ageng mewanti-wanti kepada para pejuang supaya tidak membuka jimat tersebut sebelum perang usai untuk menjamin keampuhannya. Dengan semangat menyala-nyala dan berbekal jimat tersebut, para pejuang tanpa rasa takut kemudian terjun ke medan tempur untuk mengusir penjajah. Tidak dapat dianggap sepenuhnya kebetulan, sebagian besar pejuang yang membawa jimat itu ternyata selamat dari medan pertempuran. 

Setelah perang usai, seorang mantan pejuang kemudian membuka jimat buatan Ki Ageng itu. Dengan perasaan jengkel bercampur geli, ia kemudian membacakan mantra dalam jimat itu di hadapan teman-temannya.

Jimat itu bunyinya demikian, mati urip ora urusanku (hidup mati bukan urusanku). Sontak saja seluruh orang yang hadir di situ tertawa terpingkal-pingkal bercampur jengkel mendengar bunyi jimat tersebut. Mereka merasa dibohongi oleh Ki Ageng. Jimat yang mereka yakini ampuh itu ternyata hanya sepotong kertas bertuliskan kalimat dengan nada yang agak mengejek. Cerita ini kemudian tersebar luas di kalangan pengikut Ki Ageng sebagai lelucon, yang setiap kali diceritakan kembali pasti akan membuat orang tertawa terpingkal-pingkal.

Sejak semula Ki Ageng memang sudah anti dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran mistik dan klenik. Bahkan, inti dari ilmu yang digagasnya, Kawruh Jiwa, adalah koreksi menyeluruh terhadap kepercayaan-kepercayaan irasional yang luas berkembang di masyarakat waktu itu. Ki Ageng meyakini bahwa kunci keselamatan dan keberuntungan seseorang hanya ditentukan oleh ketabahan (tatag) dan usahanya dalam menghadapi setiap kesulitan yang menimpanya, tidak ditentukan sama sekali oleh kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural. 

Ajaran tentang ketabahan batin dalam menghadapi kesulitan hidup ini Ki Ageng sampaikan dalam sebuah wejangan yang berjudul Piageming Gesang, atau pegangan hidup, yang kemudian dimuat dalam buku Kawruh Jiwa: Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram 2 (1991, hal. 95-105) dengan judul yang sama. Tulisan ini banyak mengambil materi dari bab tersebut dengan memberinya bumbu contoh kasus sehari-hari.

Baca juga:  Catatan Tentang Majelis Al-Khidmah: Ajaran Kiai Asrori Supaya Jama’ahnya Betah Berdzikir

Pengertian Pegangan Hidup

Setiap orang pasti mengalami peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidupnya, baik yang membahagiakan maupun yang menyusahkan. Peristiwa-peristiwa tersebut kemudian dijadikan sebagai pelajaran hidup bagi orang supaya dapat lebih bijak dan tabah dalam menghadapi kejadian-kejadian serupa di masa mendatang.

Namun, cara orang dalam melihat pengalaman yang membahagiakan dan yang menyusahkan cenderung berbeda. Pengalaman menyusahkan umumnya dirasakan lebih mendalam dibanding dengan pengalaman yang membahagiakan. Mengapa demikian? Karena pengalaman-pengalaman bahagia itu cenderung tidak dihitung dan tidak dihargai, bahkan seolah-olah dianggap tidak pernah terjadi.

Orang baru bisa menghargai pengalaman-pengalaman bahagianya apabila kebahagiaan tersebut telah lama terjadi. Ambil contoh, orang memiliki jabatan yang strategis, gaji yang tinggi, sehingga penghidupannya layak. Ketika kondisi tersebut masih berlangsung, orang tidak menyadarinya. Baru setelah ia pensiun dari pekerjannya, ia kemudian menyadari bahwa kondisinya dulu itu merupakan pengalaman hidup yang membahagiakan. 

Kondisi yang menyebabkan pengalaman bahagia itu begitu berharga juga sering kali muncul ketika orang sedang mengalami kesusahan. Itulah sebabnya, tidak selamanya pengalaman susah itu sepenuhnya menyusahkan. Pengalaman ini dapat menjadi cermin bagi orang untuk meninjau kehidupannya secara menyeluruh. Dengan demikian, pengalaman susah merupakan bahan bagi orang untuk dapat merasakan dan menghargai kebahagiaannya. Jika setiap orang berpikir demikian, mereka tidak akan kekurangan bahan untuk mendapatkan kebahagiaan. Kondisi kehidupan yang melahirkan kebahagiaan dan kesusahan silih berganti inilah yang kemudian dapat dijadikan sebagai pegangan hidup seseorang. Ketika susah ia tidak putus asa, dan ketika bahagia ia tidak lupa.

Misalnya, seorang gadis yang bapaknya berganti istri berkali-kali. Tentu saja ia mengalami kesusahan yang hebat. Ketika ia dapat menanggung kesusahannya itu dengan sabar, dan tidak melakukan tindakan yang dapat merendahkan kehormatannya, maka ia akan memiliki banyak bekal untuk menghadapi perjalanan hidup selanjutnya. Apabila keadaannya berubah, berganti menguntungkan sedikit saja, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Sebut saja ia disunting oleh seorang pemuda yang baik dan memiliki hidup yang layak, maka kebahagiannya akan berlipat-lipat. Kebahagiaan ini timbul bukan karena perkawinannya, melainkan karena berubahnya keadaan yang dapat dimaknai sebagai pelajaran hidup.

Penderitaan dalam hidup itu dialami oleh setiap orang. Apabila tidak datang dari luar, maka ia datang dari dalam diri sendiri. Dengan kata lain, orang bertindak sesuka hatinya sehingga menimbulkan kesusahan. 

Orang yang tidak memiliki cukup pengalaman susah akan mudah terjatuh dalam penderitaan ketika pengalaman susah itu menimpa dirinya. Ia juga menjadi kurang menghargai kebahagiaannya, atau tidak puas dengan kebahagiaan yang telah dimilikinya. Orang seperti ini akan kesulitan memahami kesusahan dan kebahagiaan orang lain. Ketika melihat orang lain susah ia akan senang, sementara ketika melihat orang lain bahagia ia akan iri hati. Rasa yang demikian ini akan merusak hati, akibatnya ia tidak dapat merasakan rasa orang lain. Apabila kerusakan hati ini tidak segera diperbaiki, maka ia akan semakin parah, hingga dapat membutakan hati. Padahal, hati merupakan alat untuk merasakan rasa sendiri dan rasa orang lain. Itulah sebabnya, orang yang buta hati akan melakukan tindakan-tindakan yang menabrak rasanya sendiri dan rasa orang lain. Ketika tertimpa kesusahan akan mengeluh, sementara ketika mendapat kebahagiaan menjadi lupa daratan. 

Baca juga:  Sufisme, Islam, dan Kesenian

Kekurangan Pengalaman Susah

Orang yang selama hidupnya kurang mengalami kesusahan tidak akan memiliki cukup bahan untuk merasakan kebahagiaan. Ia akan mudah putus asa meski sedikit saja mengalami kesusahan. Sebaliknya, ia kurang bisa menghargai kebahagiaan karena tidak memiliki bahan pembanding yang mencukupi.

Ambil contoh anak yang kurang memiliki pengalaman susah karena dimanja oleh orang tuanya. Setiap hal yang diinginkannya dengan mudah akan terwujud. Akibat dari kondisi yang memanjakan ini, anak tersebut kemudian tidak dapat mengatur dirinya sendiri. Anak tersebut tidak tahu apa yang mesti dilakukannya. Akibat ketidaktahuannya itu, ia kemudian bingung, lalu rewel.

Anak yang tumbuh dalam suasana pengasuhan seperti ini akan lebih sering melakukan tindakan-tindakan di luar kendalinya. Ia menjadi nekad, melakukan tindakan yang semestinya tidak ia lakukan. Ambil contoh suka tawuran dan mengonsumsi obat-obat terlarang. Melihat anaknya demikian, orang tua kemudian mengaturnya dengan kekerasan, padahal sebelumnya memanjakan. Melihat dua hal yang bertentangan ini, anak kemudian menjadi bingung, lalu semakin nekadlah ia.

Tindakan kekerasan tersebut tidak memuaskan hati si anak, malah menimbulkan rasa dendam. Akibatnya, anak menjadi pandai menipu dan mulai berani melawan orang tuanya. 

Apabila pengalaman susah dalam keluarga tersebut tidak dijadikan sebagai pelajaran bersama, maka dampak buruknya akan semakin menjalar keluar seiring semakin tumbuh dewasanya si anak. Ia tidak hanya membuat masalah di keluarganya saja, tetapi juga menjadi sumber masalah di masyarakatnya. Melihat anaknya demikian, orang tua malah sering kali melakukan kekerasan terhadap anak, memukul atau mengusirnya dari rumah. Orang tua tidak menyadari bahwa perilakua anak yang demikian ini juga disebabkan oleh cara mengasuhnya dulu yang terlalu memanjakan anak. 

Untuk menjadi pribadi yang tangguh dan berbudi baik, sebenarnya seseorang tidak harus membutuhkan pengalaman susah yang banyak. Apabila pengalaman-pengalaman yang kurang susah itu dimasak dengan bumbu yang tepat, maka ia akan menjadi pegangan hidup yang bermanfaat. Adapun bumbu tersebut adalah rasa sama. Rasa sama ini merupakan bekal bagi orang untuk mengerti rasa orang lain. Meski ia tidak mengalami sendiri sebuah penderitaan, namun ketika di dalam dirinya tumbuh rasa sama, maka ia akan mampu merasakan penderitaan orang lain.

Ia akan memiliki kesadaran bahwa semua manusia pada dasarnya sama, sebentar senang dan sebentar susah. Mungkin kali ini orang lain yang menderita, namun besok, lusa, boleh jadi ia yang akan mengalaminya. Kesadaran inilah yang kemudian menimbulkan ketentraman dalam pergaulan.

Baca juga:  Sabilus Salikin (111): Ajaran-ajaran Akbariyah-Ibnu Arabi

Cukup Pengalaman Susah

Pada anak-anak tertentu, misalnya yatim dan cacat, mengalami penderitaan adalah kondisi yang tidak dapat ditolaknya. Kondisi tersebut terjadi begitu saja tanpa ia ketahui sama sekali. Apabila anak ini tidak dididik untuk melihat penderitaannya sebagai pelajaran, maka kondisi tersebut dapat menimbulkan rasa marah pada anak, sehingga ia menyalahkan nasibnya. Rasa marah ini kemudian menjadi dasar rasa hidupnya.

Rasa marah ini kemudian menentukan sikapnya atas orang lain. Ia menuntut orang lain untuk membantunya. Namun, apabila mendapat pertolongan dari orang lain, anak ini tidak akan berterima kasih, karena ia beranggapan bahwa pertolongan tersebut memang susah semestinya orang lain berikan kepadanya. Anak ini juga bisa berpendapat, bahwa tindakan orang lain yang menolong dirinya dapat disebut sebagai keutamaan, jadi orang lain harus berterima kasih kepadanya, karena telah membantu orang lain melakukan keutamaan. Perasaan yang demikian merupakan benih lahirnya kejahatan. Jika tidak disadari dan diatasi, maka akan menyebabkan kebutaan hati.

Sebaliknya, apabila pengalaman susah itu diterimanya dengan sabar, dipetiknya sebagai sebuah pelajaran, maka perasaan anak itu akan menjadi lapang dan tabah. Apabila menerima pertolongan dari orang lain, ia akan menyampaikan terima kasih yang berlipat-lipat, dan terharu atas pertolongan tersebut.

Apabila rasa terima kasih dan terharu ini menjadi dasar rasa hidup si anak, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi penyayang dan pandai menghargai orang lain. Atas sikapnya ini, orang di sekitarnya akan senang menerimanya, yang selanjutnya menjadi bahan pertimbangan bagi orang lain untuk lebih bermurah hati kepadanya. Akibatnya, dalam pergaulan ia akan lebih mudah mendapat kemudahan. Karena mengerti rasanya sendiri dan rasa orang lain, ia kemudian tidak akan nyaman tergantung dengan orang lain, karena pertolongan orang lain itu tidak datang setiap saat, atau ia tidak dapat menuntut orang lain untuk menolongnya. Ia lalu belajar menjadi pribadi yang mandiri dan tidak menyusahkan orang lain.

Orang yang dapat memetik pelajaran dari penderitaannya, akan tumbuh rasa bijaksana dalam hatinya. Rasa bijaksana ini akan membuat orang sanggup melihat penderitaan orang lain. Ia akan mudah mengulurkan bantuan kepada orang lain, tanpa harus didahului dengan sebuah permintaan, atau bahkan tanpa sepengetahuan orang lain. Jadi, bijaksana itu tidak dapat dipahami sebagai pandai menghindari penderitaan, melainkan sanggup dan tahan terhadap penderitaan. Rasa tabah ini kemudian akan menimbulkan rasa damai dalam hati, dan ketika menjalar ke dalam pergaulan akan melahirkan kedamaian yang lebih besar, yang dirasakan oleh banyak orang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top