Sedang Membaca
Pandemi, Optimalisasi Edukasi dan Digitalisasi Zakat
Aditya Budi S.
Penulis Kolom

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang, Aktif di Lembaga Filantropi Nasional.

Pandemi, Optimalisasi Edukasi dan Digitalisasi Zakat

Ketika dunia pernah menawarkan konsep sosialisme yang dilahirkan oleh Karl Marx (Sosialisme-Marxisme) sebagai upaya menundukan hegemoni kapitalisme dan meruntuhkan tembok kesenjangan sosial rakyat jelata. Islam jauh sebelum itu telah memiliki konsepsi profetik tersendiri yang berbicara soal kesetaraan sosial-ekonomi dan distribusi kekayaan secara adil dan solutif.

Syeikh Yusuf Al-Qardhawi menyebut zakat bukan hanya mengenai sistem fiskal semata melainkan juga terkait erat dengan sistem moral, politik dan sosial (Qardhawi; 1988).

Potensi zakat nasional pada tahun 2018 yang diriset oleh Baznas, dimana seharusnya bisa terhimpun Rp 233,8 triliun, sekitar 1,56% dari PDB, pada realitanya jumlah yang berhasil terhimpun masih jauh dari angka tersebut. Yaitu pada kisaran Rp 8,1 triliun atau baru tercapai kisaran 3,4% saja dari potensi keseluruhan (Insight Buletin Ekonomi Syariah, Edisi III. Agustus 2019. hlm. 6). Artinya, dari data tersebut masih banyak ruang-ruang yang belum sepenuhnya bisa dioptimalkan.

Tantangan Zakat Nasional

Jika ditilik secara mendalam, setidaknya ada tiga faktor utama mengapa capaian zakat nasional belum optimal sesuai dengan potensinya.

Pertama, edukasi terkait kewajiban zakat yang masih belum merata dan menyasar ke hampir semua kelompok. Dalam tataran dunia pendidikan, pelajaran terkait zakat pun belum sedetil shalat. Informasi terkait zakat yang tersedia dalam kitab-kitab klasik umumnya masih tampil dalam konteks masa lalu (Muhammad dan Ridwan Mas’ud: 2005). Sedangkan persoalan mengenai zakat sendiri sudah sangat kental dengan persoalan kontemporer yang begitu komplek.

Kedua, dakwah tentang kewajiban zakat sendiri belum secara holistik. Yaitu bukan hanya soal fiqih semata melainkan juga perlunya memberikan penyadaran ke masyarakat terkait pentingnya manajemen zakat secara kolektif kelembagaan. Artinya potensi zakat yang sedemikian besar tidak tercecer dan menyebar secara sporadis dengan cara mentasarufan secara individual.

Namun melalui lembaga amil zakat (LAZ), manajemen secara kolektif dana zakat seratus ribu rupiah dari seratus orang (muzaki) dari masyarakat dapat digunakan untuk program pemberdayaan yang berkesinambungan. Memberi ‘kail’ yang memungkinkan lebih dari satu keluarga hidup dan berkembang secara ekonomi. Konsepsi seperti itulah yang seharusnya diinformasikan secara masif ke umat Islam.

Baca juga:  Bicara Kota, Mengangkat Manusia

Ketiga, yaitu mengenai belum optimalnya ceruk potensi pasar digital dalam penghimpunan zakat. Saat ini adalah era big data, maka transformasi menuju digitalisasi zakat adalah sebuah keniscayaan. Ada ungkapan populer bahwa siapa yang menguasai data maka akan menguasi dunia. Jadi bukan lagi soal penguasaan uang melainkan dunia atau negara berlomba-lomba untuk mengusai data.

Optimisme Di Masa Pandemi

Data BPS pada Agustus 2020 menunjukan adanya peningkatan pengangguran sebanyak 2,67 juta orang. Sehingga secara total ada 9,77 juta orang menganggur di Indoensia setelah terjadinya pandemi covid-19. Namun ada satu fakta yang menarik, yang menunjukan bahwa betapa masyarakat Indonesia sangat berbeda dengan negara lain ketika krisis covid-19 ini menimpa.

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mencatat selama pandemi covid-19 pada tahun 2020 justru terjadi peningkatan penghimpunan sebesar 30% daripada tahun sebelumnya. Pada Tahun 2019 Baznas mampu menghimpun dana ZIS sebesar Rp 296 miliar sedangkan pada Tahun 2020 mampu mencapai hingga Rp 385,5 miliar. Demikian juga dengan Dompet Dhuafa, salah satu pioneer lembaga zakat profesional terbesar di Indonesia ini mampu membukukan peningkatan penghimpunan selama periode Januari-September 2020 sebesar 14,9% dengan kisaran angka Rp 260 miliar.

Fakta tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa Indonesia adalah memang negara paling dermawan berdasarkan laporan Charities Aid Foundation (CAF) sebuah lembaga amal di Inggris.

Optimalisasi Edukasi  dan Zakat di Masa Pandemi

Berangkat dari hal di atas, diperlukan strategi yang relevan serta efektif dalam upaya memberikan kesadaran umat Islam di Indonesia terkait urgensi zakat bagi problem-problem sosial terlebih di masa pandemi seperti saat ini.

Baca juga:  Bani Syarqawi: Sebuah Ruling Elite Berbasis Pesantren

Pertama, terkait soal informasi zakat yang belum tersebar merata di semua kalangan masyarakat. Maka ini adalah agenda investasi jangka panjang. Sehingga diperlukan koordinasi dan kolaborasi baik itu pemerintah dan lembaga zakat nasional dengan forum-forum keagamaan di tingkat daerah, kabupaten, kecamatan hingga kelurahan.

Kurang lebih ada 52% masyarakat  tidak mengetahui bahwa zakat mampu digunakan sebagai pengurang pajak. Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2010 bahwa zakat dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Demikian juga dengan UU No.36 Tahun 2008 dijelaskan bahwa zakat yang bersifat wajib dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dan hal itu akan berlaku jika zakat disalurkan melalui LAZ yang diakui oleh pemerintah.

Kedua, sosialisasi aspek kemanfaatan zakat bagi pengentasan kemiskinan harus digencarkan ke masyarakat. Mungkin selama ini hal tersebut sudah dilakukan oleh semua LAZ melalui publikasi majalah, media online dan brosur. Namun bagaimana orang-orang yang belum pernah berzakat yang pastinya akan minim bersentuhan dengan segala terkait LAZ, termasuk pelaporan. Maka sekali lagi hal tersebut dibutuhkan koordinasi dan kolaborasi dengan forum-forum keagamaan di daerah.

Ketiga, hal ini akan sangat berkaitan dengan dua hal yang telah disebutkan sebelumnya. Profesionalisme dan penguatan kelembagaan zakat serta amil akan sangat menentukan sejauh mana syiar-syiar zakat dan implementasi programnya dapat dipercaya oleh umat. Penguatan kelembagaan akan berkaitan erat dengan transparansi dan akuntabilitas yang tujuannya meraih kepercayaan dari muzaki.

Keempat, yaitu urgensi optimalisasi kanal digital dalam mengkempanyekan semua edukasi dan informasi terkait zakat. Era industri 4.0 adalah era disrupsi, maka di masa pandemi covid-19 tawaran zakat digital menjadi hal yang niscaya. Fokus utama pemberian layanan zakat digital bukan hanya mempermudah pembayaran zakat melainkan. Mengapa penggunaan teknologi atau digital itu penting, karena digitalisasi menghasilkan efisiensi waktu dan energi serta tersedianya kemudahan informasi pelaporan yang inklusif (open public). Bukan hanya itu, zakat digital juga menawarkan banyak alternatif cara pembayaran sesuai yang dikehendaki muzaki.

Baca juga:  Khutbah Idul Adha: Hari Raya Kurban di Tengah Pandemi Covid-19

Potensi ekonomi digital di Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan menyentuh angka Rp 1.806,87 triliun. Sedangkan menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), untuk pengguna internet di Indonesia pada rentang 2019-2020 mencapai 196,7 juta pengguna (Kominfo). Artinya ada sekitar 70% lebih penduduk Indonesia sudah menggunakan internet. Dengan kata lain akses terhadap teknologi dan informasi akan semakin besar. Seluruh informasi mayoritas  akan didapat melalui media digital.

Dengan potensi sebesar itu, sesungguhnya peluang yang besar juga bagi lembaga zakat untuk memanfaatkan ceruk pasar digital. Menghadirkan campaign-campaign digital yang berkaitan dengan syiar zakat harus dikemas sebaik mungkin agar mampu menarik muzaki yang digital minded.

Untuk saat ini mungkin generasi milenial lebih layak menjadi pasar zakat digital mengingat sudah sebagian besar mengalami kemapanan secara ekonomi, meski belum sekokoh generasi di atasnya (generasi x). Meningkatnya kondisi keuangan dan ekonomi kelas milenial yang sudah cenderung akrab dengan teknologi harus mampu dimanfaatkan dengan menghadirkan campaign dan edukasi zakat melalui kanal media sosial, website, blog, dan platform e-commerce. Data Baznas pada Tahun 2017 menunjukan bahwa dari 200 ribu muzaki, 40% diantaranya adalah milenial.

Melalui media sosial dan platform digital lainnya, era pandemi menjadi momentum untuk menyentuh kepedulian generasi milenial maupun yang lainnya. Yaitu mereka yang akrab dengan dunia digital dan menginginkan kemudahan akses untuk berzakat, infak dan sedekah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top