Sejak manusia mulai membangun peradaban, menggunakan perkakas demi menangkap hewan buruan, atau menggunakan alat-alat teknologi pangan demi bercocok tanam, manusia menggunakan dan mendayagunakan benda-benda. Perpindahan dari dua kultur yang sangat jauh berbeda ini memakan korban yang tak sedikit. Eksperimentasi terus saja dilakukan demi efektivitas dan pencarian menuju gaya hidup yang, setidak-tidaknya, didamba—atau cocok dengan kuasa dan hajat hidup.
Saat manusia mulai menetap di dalam suatu hunian dan membentuk suatu wilayah perkampungan dengan kultur agraris, manusia punya alat-alat yang mulai menumpuk, kian hari kian penuh sesak. Sejarawan sains macam Jared Diamond dan Yuval Noah Harari sudah membabar habis persoalan peralihan umat manusia ini dalam beberapa seri bukunya.
Benda-benda ada dalam sejarah panjang umat manusia—yang terus melakukan coba-coba, secara lembaga atau partikelir. Namun, selalu ada harga yang mesti dibayar untuk segala sesuatunya. Setiap penemuan selalu melahirkan dampak yang sering tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Kadang, manusia justru menjadi semata alat—dan subjek yang pasif—dari kecanggihan teknologi paling maju di dunia.
Mustahil manusia pada zaman sekarang hidup tanpa melakukan sentuhan terhadap setiap benda saban hari; dari melipat selimut di pagi hari sampai memakai selimut malam harinya. Sentuhan, yang masih bisa dirasakan oleh indera perasa, selain menandakan bahwa kita adalah makhluk yang masih hidup, menandakan pula otoritas mutlak bagi kita sebagai sang pengguna. Benda-benda yang ada di selingkar kita lazim meminta dan membetot perhatian yang lebih.
Beberapa benda yang tak terurus atau terawat, malah sering menjadi rusak tiada guna dan berakhir hanya sebagai onggokan sampah. Ruang yang ada di rumah mestilah terbebas dari sampah. Urusan estetika ada di urutan nomor wahid. Kenyamanan sebuah ruang turut ditentukan oleh adanya benda-benda. Wajar bila di beberapa ruang, ada vas bunga, lukisan, pigura, senapan, porselen, atau tanduk rusa. Sekian benda yang mengandung nilai seni inilah yang lazim meruangi rumah-rumah keluarga. Sementara itu, benda-benda yang blangkrah, tak berguna dan tak sesuai standard keindahan, tak boleh ada di dalam rumah.
Satu ujung nasib dari benda-benda yang terempas ini adalah diangkut oleh tukang rosok keliling, atau justru malah dilepas sendiri ke markas pengepul rosok, dan sedikit yang dilelang. Sedang di sekretariat rosok pun sebenarnya sudah ada yang memilah-memilih; mana benda yang masih bernilai jual sebagai barang antik, dan mana yang tidak.
Jarang kita melihat benda-benda warisan keluarga yang benar-benar dirawat demi menjaga kenangan dan warisan yang, sifatnya tidak melulu material. Sebenarnya ada beberapa keluarga yang sebaliknya, tapi mungkin sangat minim jumlahnya. Banyak benda yang keluar dari rumah hanya karena persoalan ruang, belum pula sang tuan rumah yang mewarisi benda tersebut, lagi dicekik kemiskinan, hingga tega tidak tega melepaskannya di pasar.
/2/
Satu adegan yang lumayan representatif menggambarkan rasa marah dan sesal pada benda warisan adalah dialog dalam film Gita Cinta dari SMA (2023). Sebuah film yang diangkat dari novel legendaris Eddy D Iskandar ini, yang dibintangi oleh Prilly Latuconsina dan Yesaya Abraham, mengusung latar material di wilayah perdagangan buku Palasari, Bandung.
Galih, satu tokoh utama dalam film ini, yang masih duduk di bangku SMA, punya rutinitas menjaga kios buku warisan abahnya. Kios buku ini sudah lama kondang sebagai pusat jual-beli buku dan kaset bekas. Suatu hari, Galih sempat mengeluh nyaris menggugat pada ibunya atas suratan takdir yang mesti ia titi.
Kita selalu menghargai barang-barang ini, tapi orang tidak pernah menghargai kita. Justru malah dihina. Kenapa abah tidak mencari pekerjaan yang lebih baik sih, Mak? Biar kita kaya raya. Kenapa abah puas dengan toko ini? Dengan hidup seperti ini, Mak?
Sebagai penjaga buku, yang cukup laris dan sering dikunjungi pelanggan, sebenarnya, Galih tak merasa lagi punya harga diri. Hinaan selalu mendarat padanya, aral tak henti-henti melintang, hingga ia tak lagi sanggup berdiri dengan muka tegak. Kediriannya goyah. Hatinya patah.
Menjadi pewaris dagangan buku dan tumpukan kaset dan piringan hitam dari abahnya, membuat Galih tak bisa menembus sekat dan melakukan mobilitas sosial—seperti meneruskan kisah romansanya dengan Ratna Suminar, yang merupakan keturunan bangsawan dari Jawa (Yogyakarta). Pelarangan ayah Ratna, demikian juga berulang kali mengolok-olok Galih dengan sebutan “anak buku bekas”—seolah pedagang buku bekas hanya satu-satunya “identitas tunggal” yang Galih punya.
Pelan-pelan air mata menetes di pipinya. Ibu Galih, dengan nalar keibuan yang dimilikinya, menguatkan Galih sepenuh hati.
Barang-barang bekas ini bisa membuatmu sekolah dan lulus SMA. Buku-buku ini yang membuat kamu pintar. Musik-musik itu yang membuat hatimu peka dan perhatian dengan sesama. Dan itu warisan dari abah yang sebenarnya buat kamu, Galih.
Sang Ibu tidak tega melihat anak semata wayangnya patah arang. Ia ingin setiap ayunan langkah yang dilalui anaknya cukup lapang, tak membikin sesiapa tumbang. Justru ibunya dengan mantap berujar padanya, sembari sesenggukan, bahwa buku-buku inilah membuatnya pintar, dan musik membuatnya lebih perasa, jiwanya tak gersang. Jalan panjang menjadi pegiat seni, yang Galih pilih di kemudian hari, ditopang oleh referensi bacaan dan musikal yang kaya.
Kondisi psikis Galih yang mulanya meluap-luap, berubah luluh di pelukan ibunya. Adegan ini tidak hanya bisa dibaca sebagai rekonsiliasi takdir dan pemenuhan eksistensi. Namun juga upaya, sebagaimana yang sudah dituturkan ibunya, melestarikan “warisan dari abah yang sebenarnya”.
/3/
Perasaan Galih secara personal yang mengadu nasibnya sebagai saudagar buku bekas pada ibunya, boleh dibilang tidak cuma dirasa olehnya sendiri, tetapi juga orang-orang di luar sana, di dunia nyata.
Majalah Tempo edisi 20 September 2015 sempat menurunkan rubrik intermezo tentang buku-buku para intelektual Indonesia yang tidak terurus oleh keluarga, dengan judul “Nasib Buku Koleksi yang Terlantar”. Sayangnya, beberapa puluh ribu koleksi tersebut justru sudah dilepas di pasar, dengan melegonya ke pasar loak.
Wiratmo Soekito adalah satu nama yang ratusan koleksi bukunya berhasil ditemukan oleh orang yang tahu sosok tersebut, seorang mahapenting dalam pencetusan Manifes Kebudayaan. Siapa yang tidak mengenal perseteruan di tengah pencarian kebudayaan Indonesia pada masa revolusi tak kunjung usai itu?
Jose Rizal Manua, sang penemu buku-buku Wiratmo Soekito di loakan, bertutur, “Semua masih dalam kondisi bagus. Saya membelinya dengan harga Rp. 20-25 ribu. Saya beli borongan, tidak satuan. Saya enggak pilih-pilih lagi karena buku koleksi Pak Wiratmo pasti buku istimewa.”
Koleksi buku Wiratmo Soekito mulanya mau dirawat IKJ. Sebab dia adalah dosen teater di sana. Namun, surat dilayangkan secara resmi oleh pihak perpustakaan kampus, yang meminta keluarga menghibahkan buku yang jumlahnya ribuan, tidak pernah ditanggapi dengan serius—bak gayung tak bersambut.
Mengoleksi buku-buku adalah jalan yang paling masuk akal dalam menempuh jalur intelektual. Tak ada jalan lain. Buku jadi pengesah sebagai sosok yang, meminjam judul buku Iwan Pranoto, “kasmaran berilmu pengetahuan”. Tidak salah jika seorang pembelajar akan mengoleksi buku sebanyak mungkin. Hidup dan mati seolah hanya demi buku. Namun, koleksi buku yang sudah tidak karuan, menjadi masalah saat pemilik buku tersebut wafat, dan tak ada keluarga yang hendak bertungkus lumus dengan warisan-nya.
Sering musyawarah antara pewaris dengan pihak perpustakaan, calon perawat koleksi buku-buku, tidak berjalan mulus. Jalan terjal menuju mufakat bisa terjadi gegara perkara nominal yang tak kunjung sepakat atau babagan administrasi yang kerap ruwet. Kadang, pemuliaan buku-buku sebagai warisan sejarah intelektual seorang cerdik-pandai tidak mendapat tempat yang layak dan masuk dalam hitungan kalkulasi untung dan rugi. Kita makin jarang melihat perpustakaan atau ruang-ruang di Indonesia sebagai penghormatan pada seorang ilmuwan, yang sudah membaktikan diri setulus hati sampai mati.
Beberapa dari Anda yang membaca tulisan ini mungkin mengetahui, atau pernah mendengar tapi lamat-lamat para tokoh yang mempunyai ribuan/jutaan buku, tetapi tidak diteruskan-dirawat oleh buah hati/keturunannya.