Sedang Membaca
Bertukar Humor di Yerusalem
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Bertukar Humor di Yerusalem

Bulan Juli lalu aku mendapat kesempatan berharga berkunjung ke Yerusalem. Tentu saja, al Aqsa yang terletak di Old City itu adalah salah satu tujuan utamaku. Karena aku pergi sendirian, petunjuk jalan utamaku adalah peta.

Kompleks al Aqsa (Haram ash-Sharif atau dikenal juga sebagai Temple Mount) berada di di sisi timur Kota Kuno Yerusalem yang dikelilingi tembok tinggi. Luas Kota Kuno itu kira-kira satu kilometer persegi dan dihuni 40.000-an penduduk yang tersekat-sekat ke dalam kompleks menurut agama atau suku.

Di sana, ada kompleks orang Armenia, ada kompleks Kristen, ada kompleks Yahudi dan yang paling besar adalah kompleks muslim atau “Muslim Quarter”. Dengan lorong-lorong sempit dan rumah bertingkat, kota itu terasa sangat berjejal dan kadang tampak membingungkan.

Meski sudah membawa peta, aku tersesat beberapa kali ketika mencari lokasi masjid al Aqsa. Jalan yang kuikuti ternyata buntu dan tahu-tahu aku sudah berada di atas atap sebuah rumah tua. Memang kubah emas Dome of the Rock sudah tampak dekat, tapi aku harus balik arah. (Baca: Berebut Rumah Tuhan di Yerusalem)

Ketika aku berputar turun, seorang lelaki umur 60an tahun sedang duduk-duduk di bawah tangga. Ia memperhatikanku beberapa lama dengan bibir tersenyum.

Baca juga:  Al-Matsnawi Rumi: Perilhal Gajah dan Reduksi Pengetahuan

“Kamu mau ke mana?” tanyanya ramah sambil berdiri dan mengulurkan tangan mengajakku bersalaman. Ketika kusambut, ia menyebut namanya dan memperkenalkan diri sebagai orang Kristen Armenia. Hari itu adalah Sabtu. Toko-toko tutup sampai lewat tengah hari.

“Namaku Munjid, dari Indonesia. Aku mau ke Al Aqsa.”
“Ahlan, ahlan… Al Aqsa dekat sekali dari sini.”

“Kota tua ini sungguh luar biasa. Anda beruntung tinggal di kota yang indah dan penuh sejarah ini,” aku menimpali.

“Nanti kukasih tahu jalan ke sana. Gampang sekali. Tapi, sekarang mampirlah ke rumahku. Kita minum teh dulu,” ia langsung menuntunku akrab.

“Kamu tahu kenapa dulu orang Yahudi tersesat di gurun pasir sampai empat puluh tahun?”

Aku menggeleng. Sejurus kemudian, dia menjawab pertanyaannya sendiri:

“Mereka itu terlalu sombong untuk bertanya dan tidak mau percaya pada siapapun. Makanya mereka tersesat begitu lama.”

Tawa kami langsung pecah membahana.

“Kamu tahu nggak, kenapa orang-orang Yahudi berhidung besar?”

Aku kembali menggeleng.

“Sebab udara ini gratis,” jawabnya ringan, tapi sarat sindiran. (Baca: Gus Dur dan Topi Yahudi)

Tawa kami pecah lebih keras.

Orang-orang Kristen Armenia ini sudah tinggal lebih dari 17 Abad di Yerusalem. Tapi karena kebijakan pemerintah Israel, posisi mereka kian terdesak dan jumlah mereka makin menyusut kecil. Mirip nasib orang Arab di sana. Tidak heran, mereka punya joke yang sangat stereotipikal mengenai orang Yahudi.

Baca juga:  Kalimah Mutiara dari Malcolm X
Dome of the Rock (Foto: Achmad Munjid)

“Anda tahu, kenapa di masjid kami tidak ada piano seperti di geraja-gereja?” kini aku terpancing untuk menimpali leluconnya.

Gantian dia yang menggelengkan kepala.

“Jangankan piano, sandal yang harus dilepas di depan pintu masjid saja sering hilang.”

Kami pun kembali tertawa keras-keras.

“Di negeri kami ada salah satu suku yang terkenal miskin dan banyak akal. Namanya suku Madura,” aku melanjutkan ke lelucon berikutnya.

“Suatu hari, seorang Ayah dari suku Madura ini berdoa penuh penyesalan. Rupanya salah satu anaknya telah masuk Kristen dan si Ayah ini sangat merasa berdosa. Tuhan pun menanggapi doanya.”

“Bagaimana Tuhan menanggapi doa si Ayah malang itu?” tuan rumahku itu kini bertanya antusias. Seseorang yang lain, mungkin anaknya, datang membawa cangkir-cangkir teh dengan asap yang mengepul dan menebarkan bau harum.

“Ayo, sambil minum,” ia mempersilakan.

Aku menggangguk sambil melanjutkan:

“Tuhan bertanya: anakmu ada berapa?”

“Tujuh,” jawab si Ayah.

“Sudah, nggak usah khawatir,” kata Tuhan.

“Kamu masih punya enam anak yang lain. Kamu tahu nggak, aku cuma punya satu anak dan satu-satunya anakku itu pun telah masuk Kristen. Jadi nasibmu sebetulnya jauh lebih baik.”

Kini kami tertawa sekeras-kerasnya.

Pagi itu kami masih bertukar beberapa lelucon lagi sambil minum teh yang terasa amat sedap dan hangat menuruni kerongkongan.

Baca juga:  Ibu Saya Gila

Lelucon membuat orang dan tempat yang semula asing segera terasa menjadi akrab dan kita bisa bertegur sapa sebagai sesama dengan gembira.

Karena humor, kami seperti bertemu kawan lama
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top